My Blog List

Saturday 13 March 2010

Petualangan Aji 2, Part11

21

Pertengahan bulan Mei 1998.

Jakarta rusuh. Pemicunya adalah kematian empat mahasiswa Trisakti saat unjuk rasa. Sayang sekali, keempatnya masih muda. Masyarakat marah. Masyarakat muak. Penjarahan dimana-mana. Kebencian pada etnis Cina menjalar. Toko-toko milik si mata sipit diserbu masyarakat. Barang-barang diambili. Beberapa gedung dibakar oleh massa yang marah. Papan bertuliskan “Milik Pribumi” mulai ramai dipajang di toko-toko milik masyarakat non Cina. Kemana keramahtamahan yang dimiliki oleh bangsaku ini. Semua hilang, semua musnah.

Desas-desus tentang perkosaan dan tindak kekerasan pada etnis Cina beredar di kalangan mahasiswa. Cerita Bram sungguh mengejutkanku. Katanya, sepasang pelajar SMU etnis Cina diperkosa beramai-ramai oleh sekawanan pemuda berandalan saat mereka pulang sekolah sore hari. Mobil yang mereka kendarai dicegat oleh lima orang pemuda. Selanjutnya mereka digelandang ke areal pekuburan yang sepi. Semua uang dan perhiasan yang mereka pakai dirampok oleh kelima berandalan itu. Setelah itu sang cowok dipaksa untuk menyaksikan ceweknya digilir bergantian. Tak puas hanya menggilir sang cewek, kelimanya kemudian menggilir juga sang cowok disaksikan oleh sang cewek. Gila. Meskipun aku doyan ngesex dengan cowok, tapi aku tidak menyetujui apabila dilakukan secara paksa dan brutal seperti itu. Reformasi memang perlu segera dilakukan.

Kewibawaan pemerintah sudah hilang. Masyarakat sudah hilang rasa takutnya akibatnya moralpun musnah sehingga menjadi biadab. Ini semua karena kesengsaraan yang dialami sebagai hasil dari ide pembangunan yang diciptakan oleh Suharto dan antek-anteknya.

Tuntutan agar Suharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden makin ramai. Masyarakat semakin geram dengan Suharto. Kemaren di Cairo ia mengatakan pengen mundur. Besoknya dibantah lagi. Kasihan sang Menteri Penerangan Alwi Dahlan. Pakar komunikasi itu seperti orang tolol yang tidak bisa merekam apa yang diucapkan oleh sang raja.

Kemarahan mahasiswa juga semakin memuncak. Perjuangan menjatuhkan Suharto harus dilakukan sekarang. Dialog-dialog yang digagas oleh pemerintah tak lebih dari sekadar upaya Suharto mengulur-ulur waktu. Mahasiswa sudah tidak sabar lagi. Aksi unjuk rasa semakin marak. Caci maki terhadap antek-antek Suharto semakin menjadi. Khususnya pada Harmoko sang Hari-hari Omong Kosong bertaburan dalam setiap orasi mahasiswa. Setiap hari aksi unjuk rasa digelar dengan tujuan memaksa Suharto turun. Tokoh-tokoh nasional yang idealis seperti Amien Rais dan Adnan Buyung Nasution dengan lantang menyuarakan keprihatiannya pada nasib bangsa.

Aku sedang menyusun pakaianku didalam ransel. Karena unjuk rasa semakin sering diadakan, aku dan beberapa teman aktivis semakin sering menginap di kampus. Tiba-tiba pintu kamarku yang tak terkunci dibuka seseorang, Dino masuk ke kamar. Anak ini makin ganteng aja batinku. Tubuhnya juga makin jadi. Saat itu ia hanya memakai kaos putih tanpa lengan memamerkan lengannya yang terbentuk plus celana pemain sepak bola.

Setelah Jakarta rusuh, kebencian pada masyarakat Indonesia di Australia merajalela. Hal ini menyebabkan Bapak Arifin Wijaya menyuruh Dino untuk kembali dulu ke Jakarta sementara waktu. Orang tua Grace dan Kevin juga menyuruh kedua anaknya untuk kembali. Rumah jadi rame sekarang. Bapak Arifin Wijaya juga lebih sering di rumah ngumpul bersama anak-anaknya, suasana Jakarta yang kurang kondusif menyebabkannya malas untuk ke kantor. Sesekali waktu beliau menerima laporan perkembangan perusahaan dari Mas Bayu, pegawai yang sangat dipercayainya. Ah, Mas Bayu, lama juga tidak bertemu dengannya.

“Nginap di kampus lagi Ji?” tanya Dino. Ia duduk diatas ranjang memandangiku. Siang ini aku pulang sebentar ke rumah setelah dua hari menginap di kampus. Banyak pakaian kotor yang harus kutukar dengan pakaian bersih. Meskipun sibuk berjuang aku tidak mau bila orang puyeng berada didekatku karena aroma yang tidak sedap terhirup dari pakaian kotorku.

“Iya Din,” jawabku.

“Sejak aku pulang, kita jarang ketemu ya Ji. Padahal aku kangen kamu,” katanya, tangannya nakal meremas pantatku. Dasar deh anak ini. Siang-siang begini juga.

“Kan masih banyak waktu Din,” jawabku menahan birahi. Remasannya membuatku terangsang juga. Sudah lama sekali memang aku tidak pernah melakukan hubungan sex lagi dengan Dino.

“Kalau udah horny mana bisa ditahan Ji,” katanya. Waduh. Kalau anak manja ini memaksaku juga bisa kacau nih. Bisa-bisa baru malam nanti aku balik ke kampus.

“Sekali aja Ji,” rayunya. Mukanya mulai mendekati mukaku. Bibirnya yang merah mencium-cium tipis pipiku. Nafasnya yang hangat mengghinggapi kulitku.

“Benar sekali aja yah,” kataku memastikan. Aku tak tahan bila dirangsang seperti ini.

“Suer,” jawabnya.

Akhirnya kamipun mengentot sepuas-puasnya diranjangku. Sekali? Mana bisa. Kerinduan yang menghinggap membuat kami lupa diri. Dialah partner sexku pertama kali. Padanyalah kupersembahkan keperjakaanku. Demikian pula sebaliknya si Dino. Rasanya kami seperti bernostalgia. Mengulang kenangan pertama yang penuh gairah. Yang berbeda hanyalah, lobang pantat kami kini sudah sangat mudah diterobos, tidak seperti pertama kali kami melakukannya dulu. Siang itu berulang-ulang kami secara bergantian saling menyetubuhi. Tanpa henti, tak peduli suasana rumah sedang rame. Tempat tidurku berantakan seperti dilanda badai. Kamar kami kunci, sehingga suara kami tidak terdengar dari luar.

“Melepaskan rindu ya?” kata Mas Doni sambil mengedipkan matanya saat kami berdua turun untuk makan malam. Berdua kami nyengir malu. Mas Doni tertawa.

“Dari mana kalian berdua?” kata Pak Arifin Wijaya sambil menyendokkan nasi kedalam mulutnya. Berlima kami duduk mengelilingi meja makan. Makan malam keluarga.

“Main game Pa,” jawab Dino cepat.

“Malam ini kamu masih nginap di kampus lagi Ji?” tanyanya padaku.

“Iya Pak,” jawabku.

“Baguslah itu, orang-orang seperti kalian ini yang sekarang sedang diharapkan oleh negara kita,” sambung Pak Arifin Wijaya. Istrinya tersenyum sayang padaku.

“Iya, kami bangga padamu Ji,” kata Ibu Arifin Wijaya.

“Kalau sama aku dan Mas Doni gak bangga ya Ma?” kata Dino manja.

“Ya bangga juga dong sayang,” kata Ibu Arifin Wijaya. Banyak yang kami bicarakan sambil makan malam. Bapak dan Ibu banyak menasihatiku. Mereka benar-benar sudah menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku merasa sangat bersyukur tinggal ditengah-tengah mereka.

Bersambung.............

No comments:

Post a Comment