Sunday, 19 January 2014
8 Mata 2 Cerita
“Jalanan macet?”, tanya Hendra ketika membukakan pintu kamar hotelnya untuk Rizki.
Rizki hanya menghempaskan pelan daun pintu di belakangnya setelah dia masuk, mengunci pintu, dan mencium Hendra, ciuman dalam dan lembut yang penuh rindu. Jawaban atas pertanyaan tadi.
Hendra, pun sudah tak peduli lagi dengan jawaban Rizki yang bahkan tak sempat terucap. Lebih memilih untuk membalas pagutan bibir yang lembut itu. Menjalarkan rindu yang dia simpan dari 3 minggu yang lalu. Pagutan-pagutan kecil yang kemudian makin beringas. Lidah saling meliuk, berusaha menjuarai satu sama lain.
Tangan masing-masing tak mau kalah. Berusaha saling membebaskan kancing lawan, menggerayangi tubuh, membuka lilitan kain agar kulit dada mereka menyatu, seolah tanpa kain itu deburan dada mereka bisa menyatu.
Hendra hanya bisa melenguh panjang ketika dia sudah terbaring, dengan dada yang terremas kuat, dan kepala Rizki yang menyapu lembut perutnya, untuk kemudian sibuk dengan sabuk kulit warna coklat yang dikenakannya.
Kamar kecil empat kali lima di puncak bukit di tengah perkebunan teh yang dingin, tak seorang pun tahu bahwa di dalamnya sedang berkobar api yang sama-sama membara. Mengalahkan hawa dingin yang merebak, melongsorkan rindu yang memuncak.
Cinta dan nafsu sedang berderak-derak…
………
“Maaf, tadi aku terlambat”, Kata Rizki, memeluk kekasihnya yang masih terkulai kelelahan dengan perjuangan cinta lima menit barusan. Menggigit kecil telinganya sedangkan tangannya tak berhenti mengusap dada Hendra. Antara menyapu air keringat dan air lainnya.
“Aku hanya khawatir kau tak datang. Tiga minggu sudah terasa begitu menyiksa tanpamu”, jawab Hendra. Makin merapatkan diri pada Rizki meski sudah tak berjarak.
“Kau bisa memegang kata-kataku jika itu sudah terucap, sayang”, jawab Rizki, mempererat pelukannya.
Puncak hari itu, kamar hotel kecil itu, tak lagi dingin…
……….
“Apa yang kau bilang pada istrimu untuk datang kesini?”, tanya Hendra ketika hari beranjak sore. Ketika mereka sudah sama-sama sangat lelah dengan kegiatan mereka yang hanya berkutat di kamar kecil itu.
“Outbond dengan rekan-rekan sekantor”, jawab Rizki, ringan sambil mengepak tas-nya yang isinya sudah berceceran ke segala penjuru kamar.
“Kadang merasa lelah juga kalau aku harus selalu saja mencari alasan ketika aku ingin bertemu denganmu. Kau tak pernah memikirkannya?!”, gumam Hendra, sambil duduk di kusen jendela lebar yang sudah dibuka, menikmati sebatang rokok sambil menetralkan hawa di dalam kamar itu. Membuang pengap dan penat juga di hati dan pikirannya.
Rizki menghentikan aktifitasnya. Sejenak memandangi Hendra dengan pandangan yang seolah-olah mampu mengatakan bahwa dia bosan dengan pembicaraan semacam itu. Obrolan yang ujung-ujungnya pun diakhiri dengan omongan angkuh darinya untuk tak perlu dipikir berat hubungan mereka yang seperti itu.
Dia melanjutkan lagi mengepak barang, lebih memilih diam. Dia tahu jawaban bukanlah yang dicari Hendra saat ini.
“Nanti mau turun bareng aku atau bagaimana?”, tanya Rizki setelah dia kelar mengepak barang-barangnya. Ikut duduk di kusen yang sama, berhadapan dengan Hendra, menyalakan sebatang rokok.
“Tak berminat menjawab pertanyaanku barusan?”, tanya Hendra, memandang Rizki hanya dengan ujung mata. Kepalanya tetap menghadap lembah yang hijau dengan perkebunan teh.
“Obrolan yang selalu sama dan berakhir dengan pertengkaran kecil kita untuk tiga minggu ke depan? Tidak!”, jawab Hendra, ringan tanpa beban.
Diam menaungi mereka, lagi. Kepulan asap dari rokok masing-masing yang menjadi juru cerita dalam diam.
“Aku bawa mobil sendiri. Aku harus menjemput anakku dulu di tempat kakek neneknya”, Hendra memecah kesunyian.
“Kita pulang sekarang saja kalau begitu. Ini sudah terlalu sore”, Kata Rizki, beranjak setelah meletakkan puntung rokok sekenanya pada asbak yang terletak di meja teras bawah mereka.
“Really, you never think how this situation will be?”, gumam Hendra sekali lagi. Beranjak namun pandangan matanya masih pada lembah kebun teh yang padahal sedang indah ditimpa cahaya senja.
Hendra membuang nafas. Menutup jendela di depan mereka, lalu memeluk Rizki, erat.
“Aku tak mampu kalau harus menjanjikanmu dunia yang lebih besar dari dunia kecil yang kita miliki sekarang ini. Jika kita bisa sama-sama merasakan bahagia meski dengan keadaan seperti ini, kenapa kau harus terus-terusan terbebani dengan pikiran itu?”, bisik Rizki, mengusap punggung Hendra dengan tangan kanan sementara tangan kiri mengelus lembut rambut ikal lelaki di pelukannya itu.
Rizki tak menjawabnya. Hanya mempererat pelukannya tanpa tahu harus berkata apa.
Tiga puluh lima kilometer dari kamar itu…
“Aku pulang dulu, sayang. Sebentar lagi anakku dan bapaknya pulang dari rumah kakeknya. Aku harus berada di rumah kalau tidak mau ada masalah”, Linda pamit, sambil merapikan gaun yang baru saja dipakainya.
“Iya, hati-hati ya, sayang. Aku juga harus berbenah karena sebentar lagi suamiku pulang dari acara outbond dengan orang-orang kantornya”, jawab Astrid sambil membuka tirai dan daun jendela. Mengeluarkan sisa-sisa hawa panas yang sepuluh menit yang lalu masih menguar memenuhi ruangan empat kali empat itu.
Satu kecupan lembut mengakhiri pertemuan mereka. Pertemuan yang tanpa mereka sadari juga dilatari dengan kisah lain yang sama tabunya. Dua rumah tangga, dengan dua cerita cinta yang sama-sama disembunyikan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment