My Blog List

Wednesday 22 January 2014

MAS BIMA PAK POLISIKU – Bagian IV

SEJAK peristiwa tak diangkatnya telepon dari Mbak Tika, istri Mas Bima, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Mulai saat itu, setelah Mas Bima pergi dari kost-an ku, aku mulai enggan menghubunginya. Beberapak kali Mas Bima mencoba meneleponku, namun aku malas mengangkatnya. Pesan singkatnya juga malas-malasan kubalas. Sungguh, aku merasa tak enak dengan Mbak Tika. Aku masih menekan-nekan remote televisi tak tahu acara apa yang akan aku tonton. Pikiranku sedang melayang ke mana-mana. Di satu sisi, aku sangat merindukan Mas Bima. Sisi lainnya mengusikku bahwa aku seharusnya tak menghubunginya lagi jika masih sayang dengan Mbak Tika. Tapi.. bagaimana kalau misalnya Mas Bima ternyata mencari ‘tambatan lain’ untuk melabuhkan penisnya. “Aaarrrghh….” aku mengacak-acak rambutku sendiri ogah membayangkan Mas Bima bersama lelaki lain. Cemburu! sangat cemburu. Tak lama terdengar ketukan pintu. Aku melirik jam dinding, sudah hampir jam 11 malam. Siapa yang datang selarut ini? apakah Mas Bima? Dugaanku memang benar. Mas Bima sudah ada di depan kamarku. Memakai kaus hitam ketat dan jaket kulit serta celana seragamnya lengkap dengan ikat pinggang senjatanya dan tak ketinggalan sepatu lars berat hitam miliknya. Aku tak bisa menebak apakah Mas Bima yang tampak gagah ini sedang bertugas atau tidak. “Oh, Mas.. masuk, Mas…” aku mempersilakan masuk Mas Bima dengan kalimat yang sangat tidak antusias. Mas Bima pun merasakan itu. “Kamu kenapa sih, Fin?” tanya Mas Bima. Aku mengangkat bahu tanpa sepatah katapun. “Kamu lagi marah sama saya?” tanya Mas Bima lagi. Aku malas membicarakan masalah ini. Aku pun menyembunyikan wajahku pada bantal. “Mmm..mumm..mummm!” kataku. Suaraku tak terdengar jelas karena wajahku membekap bantal. “Apaan? kalau ngomong yang jelas dong, Fin!” ujar Mas Bima sambil menarik bantal dari wajahku. “Aku enggak mau ketemu Mas Bima lagi…” kataku lirih menahan tangis. “Loh, kenapa? katanya kamu sayang sama Mas?” “Aku.. kejadian kemarin… aku enggak enak sama Mbak Tika, mas..” Mas Bima menghela nafas. Dia tak menjawab. Mas Bima malaha n menarik tanganku hingga aku bangkit dari ranjang. “Yuk! ikut Mas jalan. Kamu kelamaan di kamar kosan kayaknya butuh udara segar,” ajak Mas Bima. “Malas, Mas…” aku berusaha menolak ajakan Mas Bima. “Ambil jaket kamu!” perintah Mas Bima. Akupun bersungut-sungut menuruti keinginannya walau tak ingin pergi. Aku menyadari kalau Mas Bima sedikit kesal. Dari sejak aku mengunci kamarku, Mas Bima berjalan duluan tanpa menungguku menuju tempat parkir. Dia tak bicara apa-apa bahkan tak menatapku saat menyerahkan helm cadangan padaku. Ada sedikit amarah ketika dia menstarter-kaki motor Ninja hitamnya, sehingga saat aku dibonceng oleh Mas Bima, aku enggak merangkul pinggangnya. “Mau ke mana kita, Mas?” teriakku mencoba mengalahkan suara mesin motornya. “Ke gunung! kita butuh udara segar!” sahut Mas Bima. Entah gunung mana yang dia maksud. Aku tak banyak bertanya lagi dan pasrah saja ikut kemana Mas Bima membawaku pergi. Selama hampir sejam, Mas Bima memacu motornya ke daerah yang belum pernah aku kunjungi. Kurasakan jalanan semakin menanjak dan rumah-rumah semakin jarang. Udara dingin mulai menggigit sehingga aku merapatkan jaketku. Mas Bima semakin memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi sehingga mau tak mau aku memeluk pinggannya untuk berpegangan. Tak lama, motor Mas Bima berhenti pada sebuah kedai gubuk di pinggir jalan. Aku mencium bau jagung bakar mentega menguar dari salah satu panggangan yang sedang dikipasi oleh seorang bapak tua. Mas Bima berseru pada bapak tua itu. “Pak! jagung bakar dua, sama kopi.. ng.. kamu mau kopi?” tanya Mas Bima padaku. Aku menggeleng. Aku bukan seorang penikmat kopi, tapi tadi kulihat ada kalimat “bandrek” pada sebuah papan berisi tulisan menu yang disediakan. Jadilah aku memilih bandrek. “Bandreknya satu, pak!” ujar Mas Bima. Si Bapak tua itu mengangguk. Entah mengapa ada wajahnya seperti sedikit cemas. Dari tadi dia mencuri-curi pandang pada Mas Bima. “Yuk!” ajak Mas Bima. Aku mengikutinya yang berjalan masuk ke dalam pondok bambu itu. Rupanya di dalam pondok bambu itu terdapat tempat lesehan memanjang yang langsung berbatasan dengan tebing curam. Dengan bukaan jendela yang juga memanjang, pembeli jagung bakar yang menikmati hidangannya mendapatkan pemandangan menakjubkan: kelap-kelip lampu kota di kejauhan. Aku pun mau tak mau menarik nafas melihat pemandangan indah itu. Ah, Mas Bima.. bisa saja dia mengajakku ke tempat romantis seperti ini. Di dalam tempat lesehan itu ada empat buah meja. Dua di antaranya ditempati oleh sepasang kekasih, dan tiga orang pria pengendara yang sepertinya beristirahat dari perjalanan panjang. Aku benar-benar terpesona oleh pemandangan kota di lembah bukit kejauhan sehingga aku mengabaikan keberadaan Mas Bima selama beberapa saat sampai dia menegurku. “Jadi, kenapa telepon saya enggak pernah kamu angkat?” tanya Mas Bima. Aku pun teralihkan dan menoleh pada Mas Bima dan kembali menunduk murung. “Kemarin itu.. waktu Mbak Tika nelepon, aku bener-bener merasa enggak enak Mas…” ujarku. Mas Bima mendengus sambil tersenyum. “Fin… Mas kasih tahu, ya. Yang namanya berkeluarga itu selalu seperti itu. Kadang ada drama, tertawa, sedih, bahagia, termasuk anak sakit. Harusnya kamu enggak usah ngerasa bersalah sampai segitunya,” jelas Mas Bima sambil terkekeh. “Yatapi tetep aja Mas..” Aku menghentikan ucapanku saat si bapak tua itu masuk dan menyerahkan pesanan kami. “Kenapa sih dia, Mas?” tanyaku penasaran. “Siapa? bapak tadi?” tanya Mas Bima kembali. Aku mengangguk. “Dari tadi ngeliatin Mas terus kayak orang curigaan…” Mas Bima mengangkat bahu. “Enggak tahu tuh Fin.” “Nah, sekarang jadinya gimana? kamu enggak mau ketemu Mas lagi? bener?” tanya Mas Bima mengembalikan topik pembicaraan. Aku menunduk kembali. Sebenarnya aku masih ingin terus bersama Mas Bima, tetapi pertentangan batin ini terus terjadi di otakku. Aku meliriknya. Dia tampak lahap sekali menyantap jagung bakarnya sambil sesekali mengirup kopinya. Mas Bima tampak tenang-tenang saja seolah kejadian kemarin tak memengaruhinya sama sekali. “Mas…” panggilku. “Makan jagungnya Fin, bandreknya juga jangan sampai dingin. Anget-anget di gunung gini enaknya minum selagi panas,” saran Mas Bima. Aku pun membatalkan pertanyaanku dan menyeruput bandrek di hadapanku. Hangat.. Nikmat sekali. “Jadi gimana?” tanya Mas Bima lagi. “Yaudah, kalau Mas Bima enggak keberatan, ya… aku mau terus ketemu Mas…” ujarku sambil berusaha menahan senyum. “Gitu dong, mas kan bakalan kangen sama kamu kalau kamu enggak mau lagi sama Mas,” ledek Mas Bima. Aku tersenyum lebar. Mendadak perutku lapar karena bahagia. Aku pun menyantap jagung bakarku. Enaak… “Ssst.. Fin, sini..” kata Mas Bima memberi kode padaku agar mendekat. “Ada apa Mas?” tanyaku heran. “Mas lagi kepingin nih…” bisik Mas Bima pelan. “Ih! jadi gimana? mau pulang sekarang?” tanyaku. “Enggak usah, di sini aja…” kata Mas Bima. “Hah?” aku heran sambil melihat ke sekeliling. Baru aku sadari, ada beberapa pasang muda-mudi yang masuk ke sebuah pintu di dekat meja lesehan. Aku melongok mencoba mengintip. Rupanya ada beberapa kamar dari bangunan dinding permanen beberapa puluh meter dari pondok itu. “Ada kamar? serius Mas? Aman?” tanyaku khawatir. Mas Bima mengangguk mantap “Mas udah tau tempat kayak apa di sini, yuk, kita keluar dulu,” ajak Mas Bima. Aku pun mengikutinya bangkit dari lesehan menuju halaman luar. “Sori Fin,” bisik Mas Bima. Sebelum aku sadar akan apa yang hendak Mas Bima perbuat, tiba-tiba dia menekan telapak tangannya tepat pada lambungku hingga aku tiba-tiba merasa mual. “Hoeeeeek… apa-apaan sih, Mas?” protesku sambil memegangi perutku yang sakit. Untung saja makanan dan minuman yang tadi kumakan tidak sampai keluar. “Pak! adik saya ini kayaknya masuk angin, kalau saya bawa turun nanti dia bisa tambah parah. Saya pakai kamar satu di sini ya?” sahut Mas Bima pada bapak tua curigaan yang kini semakin tampak khawatir. “Eh, ehm.. ehm… masih ada kamar kosong gak ya?” gumamnya ragu seolah tak rela Mas Bima menyewa kamarnya. “Saya yakin masih ada, dan aman sampai pagi,” sahut Mas Bima sambil bertolak pinggang sehingga menyingkap jaketnya dan memperlihatkan sabuk senjatanya. Melihat itu si bapak tua langsung menghampiri Mas Bima. “Ooh.. ada-ada mas, mari saya antar,” ujarnya gugup sambil berusaha ramah. Mas Bima melirikku dengan senyum licik penuh kemenangan. Aku memalingkan wajah berusaha menyembunyikan tawa. “Mari, saya antar…” ujar si bapak tua. Kamipun mengikutinya dari belakang. Bapak itu mengantar kami pada kamar paling ujung. Mas Bima mengeluarkan dompetnya dan mengambil dua lembar seratus ribuan dan menyerahkannya pada si bapak. “Oooh, santai aja Mas, tenang aja, enggak usah.. enggak usah..” tolak si bapak ketakutan. “Ambil pak. Sekalian bayar jagung bakar tadi,” kata Mas Bima sambil menyodorkan uangnya. “Enggak usah Mas…” tolak si bapak makin memaksa. “Udah ambil…” Mas Bima yang gemas menarik tangan si Bapak dan menyumpalkan uang itu pada genggamannya. “Ma.. makasih Mas…” kata si bapak itu sambil membungkuk-bungkuk. “Jagain motor saya ya!” sahut Mas Bima. Bapak tua itu mengangguk-angguk sambil pergi. Mas Bima mengajakku masuk. Kamar itu letaknya agak tersembunyi dari kamar lain, tapi tampaknya kamar itu paling luas dan paling bagus di antara kamar lainnya. Entah apa penyebabnya, tapi udara di dalam kamar lebih hangat dari udara dingin pegunungan di luar. Ada sebuah ranjang ukuran queen size dengan sprei putih bersih dan sebuah meja berisi dua botol air mineral dan cermin. Aku pun melepas jaketku. Mas Bima menutup pintu dan menguncinya. Kemudian dia menghampiriku dan mencium bibirku dengan bernafsu. Aku serasa meleleh menerima ciumannya. Mas Bima melepas jaketnya dan merangkul pinggangku. “Aku kangen Mas…” bisikku lirih. Mas Bima tak menjawab. Dia menatapku sayu, bibirnya terbuka seolah tak sabar ingin melahapku. Tak lama dia kembali mencium bibirku. Lidahnya dia masukkan ke dalam mulutku dan menggumul lidahku. Aku menarik kausnya sehingga Mas Bima bertelanjang dada. “Mas, badannya makin jadi aja…” gumamku lirih memuji tubuh Mas Bima yang semakin berotot karena rajin berlatih di pusat kebugaran. “Suka?” goda Mas Bima. Aku mengangguk. Tanpa menunggu lama, aku membuka kaus lengan panjangku dan mulai melumat puting Mas Bima yang menonjol berwarna coklat agak gelap itu. “Ouw.. shit…” desis Mas Bima sambil menengadahkan kepalanya ke atas ketika merasa keenakan dengan isapan mulutku. Aku melanjutkan aksiku dan menurunkan risleting celana Mas Bima tanpa melepas sabuknya. Kuturunkan celana dalamnya sehingga penisnya menyembul keluar dari balik risletingnya. Posisi yang agak berbahaya sebenarnya, aku tak ingin penis Mas Bima terjepit risleting, oleh karena itu aku berhati-hati meraihnya. “Isap Fin…” perintah Mas Bima. Tanpa dia suruhpun aku memang berniat melahap penisnya yang mulai tegang itu. Dengan sekali gerakan kulumat penis Mas Bima, kukulum, kuhisap, kugigit lembut beberapa kali. “Aaaah.. Findra…” gumam Mas Bima. Dia pun membuka kaitan celananya dan melepasnya hingga telanjang bulat. “Mas malam ini mau langsung ngentotin kamu Fin…” pintanya. Rupanya Mas Bima ingin langsung ke menu utama tanpa pemanasan berlebihan. Aku mengangguk. Mas Bima merebahkanku ke atas ranjang dan membiarkan kedua kakiku tergantung ke lantai sedangkan pantatku berada tepat di pinggiran ranjang. Mas Bima menarik celana panjangku dan membuat aku telanjang bulat. Dia kemudian menunduk dan menghilang dari pandanganku. Rupanya Mas Bima mengambil botol kecil pelumas dan menuangkan isinya ke telapak tangan. Mas Bima menggosok-gosokan dua telapak tangannya dan menunduk di hadapanku dan mulai meremas-remas dadaku dan memelintir-melintir putingku dengan tangannya yang basah dan dingin oleh pelumas. Aku merinding keenakan sambil mendesah. Mas Bima tak lama melakukan itu. Lalu dia menghilang lagi dari hadapannku karena dia berlutut. Aku merasa tangan Mas Bima mendorong kakiku hingga terangkat dan lubang anusku terekspos. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya pada belahan pantatku. “Mas Bimaaa…” aku memekik sambil menggelinjang saat Mas Bima menjilat anusku dengan lidahnya yang basah. Lubang pantatku langsung berdenyut-denyut menerima rangsangan seperti itu. Perlahan Mas Bima menyapu belahan pantatku dan menekan-nekan ujung lidahnya tepat di lubang anusku hingga aku memekik berkali-kali keenakan. “Mas Bimaaaaa……” ujarku gemetar. Aku mencoba meraih tubuhnya, tapi tangannya yang kokoh tetap memegangi lututku hingga aku tak kuasa melawan perbuatannya. “Oouuwww.. Mas… Mas…” ujarku sambil terus menikmati goyangan lidah pada pantatku sehingga aku menjadi gila dan sangat terangsang hingga pada satu titik anusku seolah meronta dan memohon tak tahan ingin segera diisi oleh batang penis kokoh milik Mas Bima. “Mas… masukin mas.. masukin…” rintihku tak tahan. Mas Bima bangkit dan meletakkan kedua kakiku pada bahunya. Dia menuangkan kembali pelumas dan melumuri penisnya. Tanpa ampun dan tanpa proses perlahan-lahan, Mas Bima menghujamkan penisnya tiba-tiba pada anusku. Mendadak perutku terasa penuh. Penuh terisi batang penis yang langsung membungkam anusku yang sedari tadi seolah menjerit memohon untuk dihajar oleh kontol Mas Bima. “Aaaaaakkh…” erangku sambil berusaha membiasakan diri dengan batang penis Mas Bima pada anusku yang berdenyut-denyut gembira telah dirojok batang sekokoh itu. Mas Bima mulai melakukan gerakan penetrasi dan menusuk pantatku berkali-kali hingga ranjang itu berkeriat-keriut bergerak-gerak seiring dengan tubuhku yang bergerak juga. “Hhh… hhh…. hhhh… kontol mas…” desahku menikmati tusukan penis mas Bima hingga aku tak bisa lagi menyebutkan kata-kata untuk mengungkapkan pujianku. Plok! plok! plok! paha Mas Bima beradu dengan pantatku dan saling memukul hingga menimbulkan bunyi. Kurasakan zakar Mas Bima juga memukul-mukul tepat pada belahan pantatku. Aku terengah-engah saat Mas Bima mengangkat kakiku tinggi-tinggi dan terus menghajar anusku dengan penisnya. “Ahh.. ah.. ah…” erang Mas Bima. Keringat mulai mengucur dari leher dan dadanya hingga membuatnya terlihat makin seksi dan mengilap. “Pantat kamu emang enak banget Fin…” racaunya. Mas Bima kemudian melepas kakiku dan mulai mengocok penisku. Aku melenguh nikmat saat Mas Bima secara simultan dan gerakan yang enak mengocok penisku seiring dengan penetrasi yang dia lakukan. Aku merintih saat Mas Bima meletakkan dua telapak tangannya pada dadaku dan meremasnya berkali-kali. Jarinya sesekali mencubit putingku dan menekannya dengan ibu jari sementara penisnya maasih terus menghajar anusku. Mas Bima membungkuk. jari telunjuknya dia masukkan pada mulutku. Aku kemudian mengulumnya seolah itu adalah penis Mas Bima. “mm.. mmm….” Lalu Mas Bima membungkuk. Dengan tangannya dia membuka mulutku paksa dan wajahnya tepat berada di atasku. Setelah berhasil membuka mulutku, Mas Bima mengerucutkan bibirnya dan meneteskan air liur tepat masuk ke mulutku. Kurasakan ludah Mas Bima menetes pada lidahku dan mengalir hingga ke kerongkonganku. Dengan gemas Mas Bima menjilat bibirku. Entah mengapa perbuatan kinky Mas Bima yang memaksaku mencicipi liurnya membuatku semakin terangsang. Mas Bima pun demikian. Dia menggenggam bahuku dan tanpa ampun gerakan mengentotnya semakin cepat dan ganas. Aku berteriak-teriak kesakitan sekaligus menikmati rojokan penisnya. “Fin.. pantat kamu enak banget… argh..” erang Mas Bima berkali-kali. “Mas… aku mau keluar…” rintihku ketika tak tahan lagi untuk mencapai klimaks. Tak lama penisku memancarkan cairan putih kental yang membasahi perut dan dadaku. Mas Bima rupanya belum selesai. Dia membalik badanku hingga aku memunggunginya. Tanpa menunggu lama, dia kembali menyodok anusku dan menghajarnya kembali dengan cepat. Tangan Mas Bima memegangi punggungku sementara tangan satunya menarik rambutku ke belakang. Kasar sekaligus seksi. “Akh…” aku memekik saat Mas Bima menjambak rambutku dan menarik kepalaku ke belakang. “Aaaaaaaaarrrrrggh….” erang Mas Bima saat dengan bernafsu dia menghujamkan penisnya berkali-kali hingga aku lemas menggapai-gapai sprei dan pinggiran ranjang untuk berpegangan. Mas Bima mencondongkan tubuhnya dan menciumi punggungku yang sudah basah oleh keringat. Wajahhnya dia dekatkan pada kepalaku. “Kamu hebat banget Fin.. kalau kamu cewek pasti Mas udah bisa bikin kamu hamil…” bisiknya. “Terus Mas… terus… lebih kenceng…” ujarku lirih memberinya semangat. “Mas keluarin di dalam?” tawarnya sambil terus menggoyangkan pinggangnya. Tangannya merangkul dadaku dan meremas-remasnya. “Aku enggak mau hamil, Mas… keluarin di mulut aja..” ujarku nakal. “Yakin?” Mas Bima bertanya sambil mencium pipiku dan menjilat telingaku. Aku mengangguk. “Ouw…!! aku udah mau keluar Fin….” desah Mas Bima. Aku pun segera beringsut membuat penis Mas Bima keluar dari pantatku dan badanku membalik lalu melorot ke bawah ranjang hingga wajahku kini berada di hadapan penis Mas Bima yang orangnya sedang berdiri. Tanpa berlama-lama, kulahap penis Mas Bima yang mengilap oleh pelumas itu. Dengan kasar Mas Bima menggunakan jari-jarinya meremas dan menarik rambutku dan menahan kepalaku supaya tetap melahap penisnya. Mas Bima gemetar. Dia mendorong pinggangnya dengan hentakan keras. Sekali, dua kali, dan hentakan ketiga kurasakan degan bibirku penisnya berdenyut-denyut. “Hmmmmff! Hmmfff!! Hmmmff!” aku memekik tak jelas sambil meronta sedikit ketika tembakan demi tembakan cairan sperma Mas Bima memukul pangkal tenggorokanku, hangat dan mengalir ke dalam perutku. “Aaaaahh! AAAAHHH!!” erang Mas Bima yang sedang mencapai klimaks. Tubuhnya terlihat gemetar selama beberapa saat. Ketika dirinya telah selesai menunaikan tugasnya mengeluarkan isi penisnya hingga tetes terakhir. Perlahan dia mengeluarkan penisnya dari mulutku dan menjatuhkan tubuh kekarnya di atas ranjang sambil terengah-engah. Aku beringsut dan berbaring di sebelahnya sambil memeluk tubuhnya yang berkeringat. Aku menciumi lembut dadanya beberapa kali “Mas Bima emang hebat,” aku memujinya. Mas Bima tersenyum. Dia menarik tubuhku dan memelukku sambil memberikan kecupan sayang dan terima kasih pada pipiku. “Kamu juga hebat, bikin Mas bener-bener puas,” pujinya. Aku tersenyum malu. Kumainkan jari-jariku pada dada bidangnya sambil sesekali memainkan putingnya. “Fin…?” tanyanya. “Ya, Mas?” “Mas ada kabar kurang bagus,” kata Mas Bima sambil mengusap rambutku. “Kabar apa mas?” tanyaku penasaran. Mas Bima tak menjawab. Dia menatap mataku sedih. (BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment