My Blog List

Wednesday 22 January 2014

MAS BIMA, PAK POLISIKU

AKU mengenal mas Bima hanya karena dia adalah suami dari kakak sepupuku mbak Tika. Saat mereka menikah dua tahun lalu, aku sudah mengagumi mas Bima yang polisi itu karena kegagahan dan ketampanannya. Tentu saja aku hanya berani mengagumi karena diriku yang pemalu ini tak berani kenal lebih dekat dengan mas Bima. Padahal aku dengan mbak Tika walaupun hanya sepupu, dia sudah seperti kakakku sendiri yang memang anak tunggal ini. Sayang, selepas menikahi mas Bima, mbak Tika harus ikut suaminya keluar kota sehingga aku jarang bertemu dengannya. Paling-paling jika ada keluarga yang menikah atau di hari raya, mbak Tika dan suaminya barulah datang ke kotaku. Bodohnya, momen-momen itu tak kumanfaatkan untuk lebih mengenal Mas Bima yang kukagumi. Tak pernah akan kulupakan momen pertama mbak Tika mengenalkan mas Bima ke keluargaku . Mbak Tika sudah menganggap kedua orangtuaku seperti orangtuanya sendiri, itulah sebabnya, untuk menghormati mereka, Mbak Tika seperti harus meminta pendapat dari papa dan mama mengenai calon suaminya. Aku diam saja saat menjabat tangan Mas Bima yang tampak gagah dengan tubuh tinggi atletisnya. Pasti dia menganggapku sombong karena tak mau menatap wajahnya. Padahal bukan karena itu, aku sebenarnya malu dan tak ingin terlihat tersipu. Pernah suatu ketika, enam bulan setelah mereka menikah, kami semua menghadiri pernikahan seorang sepupu. Lagi-lagi aku tidak memiliki keberanian untuk mengobrol lebih lama. Malahan aku sengaja menghindar karena tak ingin Mas Bima mendeteksi kegugupanku. “Fin!” suara Mas Bima yang menepuk pundakku mengejutkanku yang sedang duduk di pojok ruang resepsi. Dia kelihatan sangat tampan dengan batik kehijauan yang membalut tubuhnya. “Eh, Mas…” sahutku pelan. Tenggorokanku terasa kering sehingga aku harus berdeham sedikit meredakan salah tingkahku. “Kapan lulus, Fin?” tanya mas Bima sambil tersenyum. Dia menarik sebuah kursi lipat dan duduk dekat di sebelahku. “Aku baru kelas XI mas, sebentar lagi naik kelas XII” jawabku. “Ooo… rokok?” tawar Mas Bima. Rupanya dia bosan bersama tamu-tamu lain dan memilih untuk menghindar. Aku menggeleng sambil tersenyum. “Enggak ngerokok? ya sudah…” Mas Bima memasukkan kembali kotak rokoknya ke saku baju dan batal merokok. Aku tidak tahan berada dekat dengan Mas Bima selama ini. Aku bisa merasakan wajahku memanas yang artinya sudah mulai memerah. Jantungku berdegup dan sedari tadi kakiku bergerak-gerak tak nyaman berganti-ganti posisi. “Fin, mas mau…” Ucapan Mas Bima terpotong karena tiba-tiba saja aku beranjak pergi tanpa berkata apa-apa saat semakin menyadari wajahku semakin memanas. Aku menutup wajah kesal, karena pasti mas Bima menganggapku benar-benar membencinya. Aku yakin, Mas Bima pasti memandangku dengan heran. *** Sudah hampir setahun sejak peristiwa itu. Mbak Tika tidak pernah lagi datang, bahkan lebaran terakhir pun dia batal berkunjung ke rumahku karena kandungannya bermasalah sehingga keguguran. Paling-paling sesekali kami hanya saling berkomunikasi melalui situs jejaring sosial, yang diam-diam aku manfaatkan juga untuk melihat-lihat foto mas Bima di akun milik Mbak Tika. Aku tak punya keberanian menambahkan Mas Bima sebagai teman di facebook. Selain karena sungkan, tampaknya dia tak pernah aktif berinteraksi di situs itu walaupun sudah memiliki akun. Sepupuku sebentar lagi menikah. Aku, Papa dan Mama sedang menuju rumah pamanku yang juga rumah nenekku. Aku tidak berharap bertemu Mbak Tika dan Mas Bima di sana, tapi yah.. aku salah. Ternyata mereka sudah lebih dulu ada di sana. “Findraaaaaa..” pekik Mbak Tika sambil datang memelukku. Aku membiarkan dirinya mengacak-acak rambutku yang sudah susah payah kutata dengan wax. “Gak ketemu sebentar aja, makin cakep sama makin tinggi aja adik Mbak yang satu ini!” ujarnya dengan nada seperti berbicara kepada anak usia tujuh tahun. “Wiii… udah berisi ya sekarang? makin keren deh…” kata Mbak Tika sambil meremas-remas lengan atasku yang memang makin berotot sejak aku rutin berolah raga di sekolah. Aku melirik ke meja makan. Ada Mas Bima di sana, dia hanya tersenyum menyaksikan tingkah istrinya. Dia makin tampan. Badannya juga makin kekar berisi. Saat matanya beralih menatapku, cepat-cepat aku alihkan pandanganku ke arah Mbak Tika. Setelah basa-basi sebentar dengan Nenek dan keluargaku yang lain, aku beranjak keluar mencari udara segar. Udara di sini sangat sejuk, berbeda dengan kotaku yang panas dan berpolusi. Setelah duduk di tangga teras rumah yang sedikit berlumut dan lembab, aku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata sehingga tak sadar saat aku membuka mataku, Mas Bima sudah duduk di sebelah. “Enak ya, di sini?” tanya Mas Bima sambil memandangi pucuk-pucuk pohon besar di kejauhan. Aku tak menjawab. Suara serangga malam yang bersahutan menjadi latar keheningan di antara kami berdua. “Aku ngerokok ya?” tanya Mas Bima. Kali ini dia tidak peduli kalau aku tidak merokok. Dia menyalakan sebatang dan mengisapnya dalam-dalam. Sebagian asapnya terpapar ke wajahku, namun aku diam saja. “Maaf ya…” kata Mas Bima. “Ke… kenapa minta maaf mas?” tanyaku heran. “Mas bersalah udah ngambil mbak kamu cepat-cepat, padahal kamu kayaknya masih membutuhkan figur kakak di masa-masa remaja kayak gini…” lanjut Mas Bima. “Eh… enggak gitu juga kali, mas..” elakku sambil tertawa getir. “Mas berusaha cari tahu kenapa kamu bersikap dingin sama Mas… padahal aku berusaha lebih dekat sama kamu. Jadi ya, mas berkesimpulan semua karena mas menikahi Mbak kamu terlalu cepat,” kata Mas Bima lagi sambil menatap kosong lurus ke depan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Sepertinya aku biarkan saja dia berpikir demikian. Kemudian aku berusaha mencairkan suasana. “Boleh minta rokoknya, mas?” tanyaku. “Bukannya kamu gak ngerokok?” tanya Mas Bima balik. Tapi dia tetap mengeluarkan kotak rokok dari saku kemejanya dan menawarkan padaku. Aku menelan ludah. Walau sedikit ragu, kuberanikan diriku untuk mengambil batang rokok yang sudah dinyalakan dari tangan Mas Bima. Mas Bima terheran-heran, namun dia membiarkan aku mengambil rokoknya dan mengisapnya dalam-dalam. Ah…. dadaku berdesir membayangkan diriku berciuman dengan mas Bima saat bibirku menempel pada filter rokoknya yang sebelumnya menempel di bibirnya. Aku yang tak biasa merokok langsung terbatuk-batuk. Mas Bima tertawa, lalu mengambil rokok itu dari tanganku dan membuangnya. “Udah, gak usah sok tahu.. syukuri aja kamu gak ngerokok, Fin! Mas mau berhenti aja susahnya minta ampun,” kata Mas Bima. Aku tersenyum malu. “Damai?” tanya Mas Bima sambil mengulurkan tangannya. Aku tak menjawab. Kujabat tangannya sambil tersenyum. “Yuk, masuk!” ajak Mas Bima sambil bangkit dan beranjak ke pintu. Dan aku pun mengikutinya. **** “Wah! dua cowok ganteng kesayangan Mbak abis dari luar ternyata? Mbak mau kasih tau, karena kamar di sini sudah penuh, Mbak tidur sama nenek ya? papa sama mama kamu di kamar atas, jadi kamu terpaksa tidur sama Mas Bima malam ini. Gapapa kan?” kata Mbak Tika sesaat setelah kami berdua muncul di ruang keluarga. Wajahku terasa memanas saat membayangkan harus seranjang dengan Mas Bima. Cepat-cepat kukuasai keadaan dan bersikap biasa saja. “Aku sih gak keberatan, asal Findra tahan sama suara ngorok aku,” kata Mas Bima sambil terkekeh. “Cuma semalam aja kan? tahan lah.. aku pasang earphone denger musik aja…” sahutku. Mbak Tika tertawa. “Sudah.. sudah.. sana tidur! udah lewat tengah malam. Besok pagi kan harus siap-siap ke tempat resepsi!” usir Mbak Tika. Setelah kami semua berpamitan, aku dan Mas Bima menuju kamar kami tepat di dekat ruang tamu. Kami sama-sama tak berbicara saat masuk ke kamar. Di kamar itu hanya ada satu ranjang kayu tua yang cukup besar. “Mau tidur di sebelah mana?” tanya Mas Bima. Saat dia membuka kemejanya, aku mengalihkan pandanganku. “Aku dipojok mas, dekat jendela,” usulku. Mas Bima kini hanya mengenakan singlet dan celana training pendek. Aku melirik ke arah selangkangannya, tampak samar tercetak penis yang tertutup dibaliknya dengan ukuran yang lumayan. Aku melepas kemeja dan celana panjangku sehingga tinggal menggunakan kaus lengan buntung dan celana bokser saja. Tanpa berlama-lama memandang Mas Bima, aku memanjat ke atas ranjang dan menutup tubuhku dengan selimut kain. Aku membalik badanku menghadap jendela membelakangi Mas Bima. Mas Bima rupanya tak langsung naik ke ranjang. Dia menekan-nekan tombol remote pendingin udara yang tampaknya tak berfungsi. “Hufh! kok di dalam sini panas ya?” katanya. “Mau kubuka jendelanya aja, Mas?” tawarku sambil membalik badan. “Iya, boleh, tolong Fin!” pintanya sambil mengibas-ngibaskan kausnya. Aku menuruti keinginannya dan bangkit untuk membuka jendela kamar. Kurasakan angin sejuk sedikit mengaliri kamar, namun tampaknya hal itu tak cukup bagi Mas Bima. Mendadak dia melepas kausnya dan melemparnya ke kursi. Ya Tuhan! aku tak pernah melihat Mas Bima tanpa atasan. Kali ini terekam jelas di otakku tubuhnya yang kekar, puting kecoklatannya yang mencuat serta perutnya yang rata. Ya Tuhan! bagaimana aku bisa tidur malam ini? membayangkan tubuh itu tepat berada di sampingku sepanjang malam. “Tidur dulu, Fin!” ujarnya sambil merebahkan diri di ranjang dan menarik selimut kain yang sama hingga ke bawah dadanya. Aku tak menjawab, sambil meneguk ludah sekali, aku kembali ke posisiku membelakanginya namun mata ini tetap terebelalak tak bisa terpejam. Setelah beberapa lama, saat aku mulai mendengar dengkuran Mas Bima, aku akhirnya bisa bersantai… mataku sedikit demi sedikit mulai terasa berat hingga akhinya tertidur. Bluk! sebuah benda cukup berat menimpa pinggangku hingga aku terbangun. Sepertinya baru sebentar aku terlelap. Aku melirik ke arah pinggangku. Rupanya tanpa sadar tangan Mas Bima yang sedikit berbulu itu menimpa pinggangku seperti posisi merangkul. Aku berdebar-debar. Suara dengkuran Mas Bima masih terdengar walau tak senyaring tadi. Hembusan nafasnya terasa sedikit di tengkuk aku. Sialan! mungkin dia kebiasaan memeluk Mbak Tika saat tidur, jadinya tanpa sadar dia memelukku. Tubuhku menjadi kaku, tak berani bergerak. Sebagian karena tak ingin membuat Mas Bima terbangun sehingga dia tersadar dan tak lagi merangkulku. Kurasakan telapak tangan Mas Bima yang tadinya terjuntai lemas kini bergerak-gerak sedikit. Dengkurannya masih terdengar. Jari-jarinya mulai bergerak-gerak mencoba menelusup ke balik kausku. Aku menahan nafas dan tubuhku menjadi lebih kaku. “Mmmmm… ummm….” Mas Bima mengeluarkan gumaman tak jelas saat tanpa sadar lengannya menggosok-gosok perutku dan mengusap-usap dadaku. Ya Tuhaaaaann!! pekik aku dalam hati. Hatiku terbagi antara menikmati kejadian ini sekaligus merasa bersalah karena hal ini tak benar! Tapi nafsu kepada Mas Bima mengalahkan akal sehatku. Kunikmati usapan tangan Mas Bima yang kini semakin nakal meraba putingku dan memainkannya dengan ujung-ujung jarinya. Kupejamkan mata sambil menggigit bibir.. Oh, Tuhan.. ini tak benar… Mas Bima adalah suami kakak sepupuku.. tapi.. tapi… ooh… nikmat sekali… kurasakan penisku mengeras akibat terangsang. Kubuka mataku saat kusadari dengkuran Mas Bima berhenti. Tangannya masih memain-mainkan putingku. Kupalingkan wajahku. Betapa terkejutnya aku saat melihat Mas Bima ternyata sudah terbangun. Matanya sayu memandangku. “Mas…” kataku lirih. “Jangan…” aku mencoba menolak. Tampaknya Mas Bima tahu bahwa penolakanku tak sungguh-sungguh. Tangannya bergeser dan masuk ke dalam celana bokserku seraya meraih batang penisku yang sudah menegang dan menggenggamnya. “Mas…” desisku. Tubuhku bergetar saat Mas Bima mulai mengocok penisku perlahan dalam genggamannya yang solid namun tak menyakitkan itu. “Nggg… ngh… ngh…” hanya suara tertahan itu yang keluar dari mulutku mencoba untuk tak bersuara terlalu keras. Aku masih menatap mata Mas Bima yang sayu namun nafasnya terasa makin berat dan cepat. Mimpi apa aku semalam? pria yang kupuja selama ini sekarang sedang merangsang penisku dengan kocokan mautnya. Ingin rasanya membalas apa yang dilakukan Mas Bima, namun aku terlalu takut melakukannya. *** Setelah cukup lama aku mendesah-desah menikmati genggaman naik-turun tangan Mas Bima pada penisku, dia kemudian menghentikan gerakannya. Syukurlah, aku juga tak ingin sampai ‘keluar’ dulu walau sepertinya tak akan bisa kutahan lagi apabila Mas Bima melakukan itu sedikit lebih lama. Tangannya yang sesaat tadi berada dalam celana bokserku, kini meraih tanganku dan perlahan mengarahkannya pada selangkangan Mas Bima. Tatapannya masih sayu memandangku, namun aku paham keinginannya. Jantungku berdegup kencang saat menyadari diriku akan memegang penis Mas Bima untuk pertama kalinya, penis yang hanya sanggup aku impikan bentuk, warna dan ukurannya itu… Perlahan kubiarkan tanganku masuk ke dalam celana training pendeknya, mencari tahu tekstur dan ukuran penis yang sempat tercetak jelas dari balik celananya karena sudah ikut menegang bersamaan dengan penisku. Oh Tuhaaaaan…. ujarku dalam hati. Aku menahan nafas saat menggenggam penis Mas Bima. Benar-benar seperti yang kubayangkan, bahkan lebih… Penis yang panjang, berdiameter cukup tebal dengan tonjolan urat itu benar-benar membuatku gila! aku mencoba menikmati setiap detik momen saat Mas Bima mendesah-desah ketika mengocok penisnya yang kukeluarkan dari celananya agar lebih leluasa. Mas Bima meraih kepalaku dan mengusapnya. Aku menatap wajahnya. Matanya masih tampak sayu. Dengan lirih dia berkata, “hisap Fin…” pintanya. Aku menuruti keinginan Mas Bima. Kudekatkan kepalaku pada batang penisnya dan mulai mengulumnya walau pada awalnya terasa susah karena ukurannya. Mas Bima mengerang. Dia menutup wajahnya dengan bantal untuk mengurangi kebisingan sehingga dadanya terlihat naik turun dan ketiaknya terlihat jelas. Seksi sekali… Kulanjutkan dengan makin rakus mengulum, menjilat, menggigit batang penis dan buah zakarnya. Kukerahkan semua kemampuanku untuk bisa membuat Mas Bima merasa enak dan nikmat. Sayup-sayup dari balik bantal kudengar pekikan Mas Bima yang tertahan. Tubuhnya meliuk-liuk liar. Aku menghentikan gerakanku, dan menciumi perut Mas Bima, naik ke atas hingga akhirnya kumainkan kedua putingnya dengan lidahku. Mas Bima membuka bantal yang menutup wajahnya. Dia tampak terkesima saat aku membuatnya enak dengan isapan mulutku pada putingnya. “Nakal kamu Fin…” protes Mas Bima. Aku nyengir. Tiba-tiba Mas Bima merubah posisi badannya. Dengan sekali gerakan, lengannya yang kuat memaksa tubuhku rebah di atas ranjang hingga kami bertukar posisi, Mas Bima lah yang ada di atasku sekarang. Tanpa aba-aba, Mas Bima mulai menciumi dan menjilati leherku hingga aku memekik tertahan. “sssssh…. ssssshhh….” Mas Bima buru-buru menutup mulutku dengan telapak tangannya, khawatir suaraku membangunkan isi rumah. Aku mengatur nafas agar lebih tenang. Aku menahan nafas berusaha tak bersuara kencang walau sulit karena cumbuan Mas Bima benar-benar membuatku seperti melayang ke langit ke-7. Aku nyaris berteriak saat mulut Mas Bima mulai mengisap, menggigit dan melumat putingku. Lagi-lagi Mas Bima terpaksa membekap mulutku agar suaraku teredam. Cukup lama Mas Bima melakukan itu hingga tubuhku meronta-ronta liar dan Mas Bima sedikit kewalahan menahan tubuhku dengan lengan satunya. Tangan Mas Bima yang menutup mulutku kini berusaha memasukkan jari telunjuk dan tengahnya ke dalam mulutku. Aku menyambut jari Mas Bima dan mengulumnya seolah-olah sedang mengulum penisnya hingga basah. Aku masih terus merintih menikmati cumbuan Mas Bima. Setelah cukup lama Mas Bima membiarkan dua jarinya dikulum olehku, dia menariknya dan menggosok-gosokkan jari basah itu tepat di lubang pantatku. “Mas…?” tanyaku khawatir. Terus terang, walau sering membayangkan bagaimana rasanya anusku dimasuki sebatang penis, aku belum pernah berani melakukannya. Dan kini sepertinya Mas Bima tertarik dengan daerah pribadiku yang belum pernah dijamah oleh siapapun. Aku bersedia bila Mas Bima menjadi yang pertama untukku, namun di sisi lain aku khawatir dengan kemungkinan rasa sakit yang ada. “Mas..? aku.. aku.. belum pernah…” kataku mencoba menjelaskan. Mas Bima tak menjawab, dia malah menyeringai gembira seperti orang yang senang mendapati durian-durian berjatuhan di kebun. Dia tak menjawab. Dia terus memijat lubang anusku dengan jarinya. Aku dapat perawan, nih! mungkin begitu yang ada dalam pikiran Mas Bima sekarang. Tapi itulah kenyataannya. Perlahan Mas Bima memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang anusku. Aku mendesis kesakitan. Pantatku berdenyut-denyut seolah protes ingin menyingkirkan benda asing yang berusaha masuk ke dalamnya. “Mas…” rintihku. Aku merasakan air mata mengalir sedikit di ujung mataku. “Ssssshh… ssshh….” desis Mas Bima berusaha meyakinkanku agar tetap tenang dan tak bersuara. Dengan lembut dia memberiku semangat dengan mendaratkan kecupan-kecupan di pipi dan leherku. Aku menahan nafas merasakan jari Mas Bima semakin masuk ke dalam. Rasanya pedih dan sedikit panas walau sudah terlubrikasi oleh ludahku sendiri. “Hmmmppp…” erangku. Ketika Mas Bima merasa sudah cukup dalam membiarkan jari tengahnya masuk di lubang anusku, dia menghentikan gerakannya. Setelah aku merasa mulai terbiasa dan nafasku kembali teratur, Mas Bima mulai menggerakkan jarinya maju dan mundur. Lagi-lagi aku memekik pelan karena terasa pedih. Anehnya, ujung jemari Mas Bima memijat suatu bagian di kedalaman yang membuatku berdesir karena terasa enak. Aku menatap wajahnya heran, rasa pedih itu telah berkurang. Otot-otot dinding anusku pun mulai rileks tak lagi meronta. Mas Bima kembali menyeringai seolah dia tahu kalau dia telah melakukan hal yang benar. Dia melanjutkan gerakannya hingga, Ya ampun! tanpa disentuh penisku kembali menegang akibat sensasi yang kurasakan dari gerakan tangan Mas Bima. Setelah agak lama Mas Bima melakukan itu dengan satu jarinya, dia kembali berusaha memasukkan satu jarinya lagi. Kembali aku memekik, namun usaha kedua Mas Bima tak sesulit pertama. Sensasi dua jari yang terasa penuh di lubang anusku, memijat-mijat titik yang membuatku nikmat dua kali lipat pula. “Ahh… Mas…” ujarku ingin memuji tindakannya, namun hanya desahan yang keluar. “Mas Bima…..” kataku lirih sambil menatapnya sayu. Aku tahu kalau dia tahu apa yang kuinginkan. Aku sudah siap. Tak ada lagi yang kuinginkan saat itu kecuali penis Mas Bima yang masuk menggantikan dua jarinya. Dan Mas Bima pun mengerti, dia menyeringai kembali dan mencabut perlahan dua jarinya dari lubang anusku. “Basahin dulu Fin…” ujar Mas Bima. Dia bergeser hingga posisinya berbaring telentang. Aku mengerti yang dia maksud. Kembali kugunakan mulutku untuk mengulum kemaluan Mas Bima yang masih tegang itu. Namun kali ini kupastikan air liurku cukup banyak melapisinya agar tak membuatku sakit nanti. Setelah Mas Bima merasa cukup, dia kembali merebahkan aku. Diangkatnya satu kakiku melingkari pinggangnya yang ramping. “Aku masukkin ya, Fin?” pinta Mas Bima. Aku menjawabnya dengan anggukan. “Hmmmff…” dua jari Mas Bima tidaklah sebesar batang penisnya. Aku kembali harus membiasakan diri. Namun keinginan untuk memuaskan pria yang kukagumi, membuatnya merasakan kenikmatan memerawani diriku, membuatku terus berusaha tenang dan rileks. “Akh… Mas…” pekikku tertahan saat kepala penisnya berhasil menerobos masuk lubang anusku. Kembali otot-otot dinding anusku berdenyut-denyut hebat, memprotes benda lebih besar yang berusaha masuk kedalammnya. **** “Ssssssshh….” lagi-lagi Mas Bima berusaha membuatku diam. Aku menggigit bibir keras-keras berharap penis Mas Bima dengan mudah masuk keseluruhannya. Mas Bima menciumi pipiku sementara tangannya memain-mainkan putingku. “Nggggghhh……” erangku sambil mencengkeram kuat-kuat lengan Mas Bima yang berotot. Rupanya Mas Bima sudah tak lagi memedulikan diriku yang merintih kesakitan. Semuanya dia pusatkan pada keinginannya meraih kepuasan sendiri. Kulihat matanya terpejam menikmati proses saat-saat batang penisnya menerobos lubang anusku. Kudengar dia mendesah pelan “Uh… sempit..” Perjuangan itu akhirnya berhasil juga. Pantatku terasa penuh oleh batang penis Mas Bima. Dia sendiri sedang berusaha mengatur nafasnya sambil menikmati denyutan-denyutan liar dinding anusku yang terasa meremas-remas penisnya. Lalu Mas Bima mulai menggenjot batang penisnya keluar masuk. Aku hanya bisa memekik menahan pedih sekaligus merasakan sensasi aneh namun nikmat ketika hentakan pinggul Mas Bima membuat aku serasa melayang ke angkasa. Setiap kali Mas Bima menghentakkan pinggulnya, mataku serasa melihat kilatan cahaya, zap! zap! zap! tubuhku serasa tersetrum listrik, bedanya, yang kurasakan sensasinya adalah bercampur rasa nikmat. “Aah… aah…. ” tanpa sadar mulutku mengeluarkan erangan yang cukup membuat Mas Bima khawatir terdengar seisi rumah. Dengan tangannya dia berusaha kembali membekap mulutku. Aku meronta-ronta karena sulit bernafas. “Hmmff… mmmfff…” jeritku tertahan merasakan goyangan pinggul mas Bima yang semakin panas. “Ahh… pantat perawan emang paling enak… sempit…” racau Mas Bima sambil memejamkan mata dan terus menggenjot penisnya. “Mas Bima…” ujarku sambil menatapnya sayu. Aku ingin mengatakan padanya bahwa sodokan penisnya di pantatku terasa nikmat sekali sekarang. Namun kata-kata itu urung keluar dari mulutku. “Kenapa Fin? enak?” seringai Mas Bima. Aku mengangguk. “Iya Mas… terus mas… kontol mas Bima…” aku tak menyelesaikan kalimatku. Seringai Mas Bima makin lebar tanda kemenangan. Kuusap peluh dari dahi Mas Bima. Kuangkat kepalaku dan menjilati puting Mas Bima yang sedikit basah oleh keringatnya. “Umm… umm..” gumamku sambil terus mengisap puting Mas Bima. “Aaah…” desah Mas Bima. Kombinasi antara penis yang diremas-remas pantatku dan hisapan mulutku pada putingnya membuatnya semakin bergairah. Aku lingkarkan kedua kakiku pada pinggangnya dan mengaitkannya erat agar setiap tusukan penis Mas Bima semakin dalam kunikmati. Gerakan pinggulnya yang semakin cepat rupanya berhasil menghujamkan penisnya tepat pada titik kenikmatanku di prostat. Sebagai reaksinya, penisku yang sudah tegang kini berdenyut-denyut ingin mengeluarkan cairan sperma tanpa harus kusentuh. Aku takjub mengetahui bahwa seks anal bisa membuatku orgasme tanpa melibatkan kocokan tangan. “Oh.. oh… oh…” erangku seiring penisku yang semakin mengeras. “Mas Bima….. aku.. aku mau keluar…” desisku sambil meringis mengalungkan tanganku pada lehernya yang kokoh. Beberapa detik kemudian peluru cair panas menyembur beberapa kali dari penisku. Cairan itu membasahi dada dan perutku serta sebagian mengenai dada dan perut Mas Bima. “Ooooouuuhhh….” erangku sambil meliukkan badan tanpa sadar. Seluruh tubuhku berkontraksi. Dan efek ejakulasi itu menjalar pada anusku yang otot-ototnya ikut berkontraksi maksimal sehingga memberikan remasan dan pijatan yang tiada tara pada penis Mas Bima yang ada di dalamnya. “Oh.. Oh.. Fin! Fin!” pekik Mas Bima, matanya memutih, tubuhnya gemetar. Rupanya sensasi pijatan otot anusku yang mencengkeram penis Mas Bima saat aku ejakulasi membuatnya tak tahan lagi. Kedua lengannya mencengkeram bahuku. Tubuhnya bergetar hebat, dan dengan hujaman terakhir dan paling dalam, penisnya berdenyut-denyut dan memuntahkan lava putih di dalam saluran rektumku hingga terasa hangat mengalir. “Oooooooh….” erangnya. Semprotan demi semprotan sperma keluar dari batang penisnya hingga ususku terasa makin penuh. Mas Bima menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku. Nafasnya tersengal-sengal. Punggung dan bahunya terlihat mengilap oleh tetesan keringat. Aku mengusap-usap tubuh Mas Bima berusaha meredakan sisa-sisa permainan panas kami. Perlahan penis Mas Bima mulai melunak dan keluar dengan sendirinya dari lubang anusku. Tubuh Mas Bima bergulir ke sisi tubuhku dan dia langsung tertidur. Perlahan aku beringsut turun dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tahu ini salah, tapi aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Setelah kembali ke ranjang, aku mengecup pipi Mas Bima yang terlelap dan ikut tertidur. -Bersambung-

No comments:

Post a Comment