My Blog List

Wednesday, 22 January 2014

MERANTAU – Bagian 20 (TAMAT)

“NANDO??!” teriak Ruslan. Dia berusaha mengibaskan uap menyengat yang berasal dari botol obat bius milik Erry yang tadi terjatuh. Ruslan terbatuk-batuk hebat. Itu adalah mekanisme perlindungan tubuhnya dari usaha menghalau zat yang akan membuatnya pingsan. “Ayo cepat keluar, Rus!” ajak Nando. Dia meraih tangan Ruslan dan menariknya keluar kamar Erry. BLAM! pintu kamar Erry tertutup saat Nando membantingnya dari luar. “Mas Erry.. masih di dalam.. apa dia? apa dia…?” tanya Ruslan tak kuasa meneruskan. Dia masih terbatuk-batuk. Nando menggeleng. “Kayaknya enggak apa-apa. Tapi gue yakin dia bakalan pingsan gara-gara menghirup bau obat itu di dalam. Ada apaan sih Rus? kenapa Mas Erry nyerang elo?” Ruslan menggeleng. “Enggak tahu, dia bilang mau jelasin soal album foto itu, ternyata dia mau bius gue. Benar dia yang waktu itu ngancam gue supaya enggak pergi ke rumah ini. Dan dia juga yang bius elo waktu kita berusaha kabur.” “Kita harus pergi dari rumah ini, Rus! ke mana aja! gue ikut elo,” kata Nando sambil mencengkeram bahu Ruslan. “Oke. Tapi bagaimana dengan Oom Alfin? dia ada di mana? gue enggak mau dia cegah kita buat kabur.” “Tadi gue lihat ke kamarnya enggak ada. Kamar Albie juga kosong. Makanya gue curiga dan periksa semua kamar. Pas gue lihat kamar elo ikutan kosong, gue langsung ke kamar Erry. Untung gue dateng di waktu yang tepat.” Ruslan berusaha mencerna setiap perkataan Nando yang terdengar panik dan terburu-buru. “Kalau gitu, mumpung mereka enggak ada di rumah, lebih baik kita beresin barang kita, yang penting-penting kita bawa, lalu pergi dari sini..” usul Ruslan. “Kita ketemu di bawah!” kata Nando sambil melesat ke kamarnya. Ruslan pun bergegas menuju kamarnya. Entah mengapa, firasat bakal mengalami momen di mana dirinya harus melarikan diri dengan segera sudah Ruslan pikirkan. Dia pun sebenarnya selalu dalam kondisi siap lari dari rumah, oleh karena itu semua dokumen penting miliknya selalu dia letakkan dalam ransel. Di kamar, Ruslan memastikan seluruh barang pentingnya telah dimasukkan ke dalam tas. Dia mengganti celana pendeknya dengan jeans dan menyambar jaketnya. Tangannya gemetar. Dia ngeri membayangkan Oom Alfin yang entah ada di mana, atau Erry yang tiba-tiba tersadar bakalan muncul di kamarnya. Ruslan terlonjak kaget karena mendadak seluruh lampu di kamarnya padam. Listrik mati. Satu-satunya penerangan berasal dari jendela kamarnya dari lampu tetangga di kejauhan yang rupanya tidak ikut padam. Dengan gemetar Ruslan mencari-cari ponselnya dan mengaktifkan fitur lampu senter mencoba menerangi kamarnya yang gelap. Ini tidak beres! pikir Ruslan. Biasanya lampu darurat akan segera menyala otomatis bila aliran listrik padam dan langsung diganti oleh daya dari mesin diesel. Tapi lampu tidak kunjung menyala. Dengan berpegangan pada dinding, Ruslan menuju kamar Nando. Nafasnya tak beraturan. Dia tak berani memanggil nama siapapun karena khawatir mengundang Oom Alfin atau Erry datang. Pintu kamar Nando sedikit terbuka. Ruslan mengintip ke dalam dan berusaha memanggilnya pelan. “Ndo… Nando..? elo di mana?” Tak ada jawaban. Ruslan pun masuk ke dalam dan dengan lampu senter dari ponselnya dia mencoba menerangi setiap sudut kamar Nando. Jantung Ruslan serasa mencelos dari tempatnya saat lampu senternya menerangi bagian bawah ranjang Nando. Dari balik ranjang sepasang kaki menjulur keluar dalam posisi terbalik. Ruslan mendekati kaki itu mencoba mengenali siapa pemilik kaki tersebut. “Nando!” teriak Ruslan. Dia langsung berlutut ketika melihat Nando tergeletak tak berdaya di lantai dengan posisi telungkup. Matanya tertuju pada ikat pinggang yang terjerat pada lehernya. “Nando! Nando!” panggil Ruslan. Baru saja dia hendak melepaskan ikat pinggang itu, tiba-tiba terdengar suara berdebam. Seseorang telah membuka pintu kamar Nando. Panik, Ruslan segera mematikan lampu senter pada ponselnya dan merangkak menuju balik lemari. Seseorang datang ke kamar itu. Seseorang yang mungkin baru saja mencelakakan Nando. Terdengar langkah kaki. Kini, Ruslan dan orang itu sama-sama berada dalam kegelapan. Ruslan berdoa agar siapapun itu tidak menemukan dirinya yang sedang bersembunyi dan pergi dari tempat itu segera. Tak lama kemudian terasa hening. Ruslan berusaha bernafas sepelan mungkin. Telinganya dia pasang untuk mendengarkan bunyi sekecil apapun. “Aaaaaaaaaarrgh…!” teriak Ruslan saat seseorang menarik tangannya. Wajahnya diliputi ketakutan saat tubuhnya terangkat dan wajahnya mendekat pada sosok yang dikenalnya. Oom Alfin. BRAK! tubuh Ruslan terpelanting hingga menabrak meja. Oom Alfin telah mendorongnya. Di kegelapan kamar, Ruslan dapat melihat wajahnya yang nampak garang. “Oom..!” sahut Ruslan. Dia memegangi lengannya yang sakit karena membentur meja. “Anak kecil enggak tahu diri!” raung Oom Alfin sambil menyerbu Ruslan. Ruslan yang sigap segera menghindar. Namun ponsel yang dia pegang terpelanting jauh. Tangan Oom Alfin bergerak buas mencoba meraih tubuh Ruslan yang mencoba terus menghindar. Ruslan berhasil menguasai diri dan berlari menuju pintu. Oom Alfin masih menggeram berusaha mengejarnya. Masih memegangi lengannya yang sakit, Ruslan berlari menuju tangga hendak keluar rumah. Tapi Oom Alfin rupanya lebih cepat larinya. Dia berhasil meraih bahu Ruslan dan menahannya tepat di tangga teratas. Ruslan memberontak berusaha melepaskan diri. “Oom! Lepasin!” Dan permintaan Ruslan dikabulkan. Tubuh Ruslan terguling-guling tak beraturan. Dia merasakan nyeri ketika satu persatu bagian tubuhnya membentur ujung tangga. Sikunya, betisnya, pinggangnya, namun yang membuatnya hilang kesadaran adalah saat lehernya membentur anak tangga terakhir. *** Cahaya kemerahan bergerak-geraklah yang membuat Ruslan tersadar. Kulitnya merasakan udara yang cukup panas selain bau benda terbakar yang terhirup hidungnya. Ketika Ruslan membuka matanya perlahan, dia melihat dirinya berada dalam sebuah ruangan yang diterangi cahaya dari puluhan lilin di lantai. Saat Ruslan hendak menggerakkan tangannya, dia tersadar bahwa pergelangan tangannya telah terikat di sebuah ranjang besi tua. Kakinya pun terikat kuat oleh tali tambang hingga aliran darahnya terhambat dan membuat Ruslan merasa kesemutan. “Tolong! Toloong!” teriak Ruslan. Tak ada yang menjawab. Ruslan berusaha melihat sekeliling. Ruangan ini belum pernah dia lihat sebelumnya. Tidak tampak seperti ruang kamar manapun di rumah Oom Alfin. Tubuhnya gemetar ketakutan. Nafasnya tak beraturan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ruslan terkesiap saat pintu ruangan itu terbuka. Oom Alfin muncul membawa sebatang lilin sambil menyeringai. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku serta celana jeans biru gelap. “Udah bangun, manis?” sapa Oom Alfin sambil mendekati Ruslan. Ruslan menggeleng-geleng takut. Tubuhnya berusaha melepaskan diri ketika dilihatnya Oom Alfin mendekatinya. “Sssst.. ssst… tenang ya…” kata Oom Alfin sambil mengusap dahi dan rambut Ruslan yang berkeringat. “Le.. lepasin saya Oom! Oom apa-apaan ini? Oom apain Nando? mana Mas Erry? Mana Albie?” tanya Ruslan ketakutan. “Mereka semua tidak nurut sama Oom.. jadi Oom harus kasih pelajaran…” kata Oom Alfin sambil memejamkan mata. Dagunya yang mulai ditumbuhi janggut dia gesekkan pada pipi Ruslan hingga Ruslan meringis. “Kalau kamu mau Oom baik sama kamu… kamu harus nurut Oom…” desis Oom Alfin. “Sudah lama saya menunggu saat ini… saat kamu jadi milik Oom seutuhnya…” desah Oom Alfin. Kini dia memeluk Ruslan yang tak berdaya sambil tangannya menjamah liar tubuh Ruslan. “Saat Oom lihat kamu kecil dulu, Oom tahu.. kamu akan tumbuh jadi pemuda tampan. Saat itu juga Oom ingin kamu jadi milik Oom… Oom jaga kamu, awasi terus sampai hari di mana akhirnya kamu datang ke rumah ini…” Ruslan mulai menangis. Dia memejamkan mata. Berusaha tak melihat wajah Oom Alfin yang seperti sedang mabuk. “Jangan Oom… ampun…” rengek Ruslan. Oom Alfin malah bangkit dan menyeringai. Dia membuka paksa celana Ruslan dan menurunkannya hingga lutut. Ruslan semakin terisak saat Oom Alfin meremas-remas penisnya dan kemudian menyelipkan jari tengahnya tepat di mulut lubang pantatnya. Ruslan memekik kesakitan saat Oom Alfin menggosok-gosok jarinya seakan berusaha memasukkan jari itu ke dalam pantatnya. “Aaah… gak sabar rasanya nikmatin ini…” gumam Oom Alfin sambil memejamkan mata. Tubuhnya gemetar seperti orang yang sedang terangsang. Dia tak memedulikan Ruslan yang mengaduh kesakitan sambil menangis. Oom Alfin pun menghentikan perbuatannya. Ruslan tersedu. Airmatanya meleleh. “JANGAN NANGIS!” raung Oom Alfin. “Kamu enggak nangis kan? waktu nikmatin itu sama Nando, hah?” Ruslan gemetar. “Tentu saja, momen istimewa ini harus diabadikan. Aaah.. untungnya ada yang bersedia jadi sukarelawan…” kata Oom Alfin sambil menoleh ke pintu. Pintu kamar terbuka. Dari luar masuklah seseorang sambil membawa handy-cam. Wajahnya sangat Ruslan kenali: Nando. **** “Kejutan!” sahut Oom Alfin gembira. Dia menepuk tangannya di udara melihat reaksi Ruslan yang tak menyangka. “Nan.. Nando?” tanya Ruslan. Nando tertawa mengikik. Sikapnya tak lagi seperti Nando yang Ruslan kenal sebelumnya. Rambut ikalnya acak-acakan. Kausnya basah oleh keringat. Matanya bergerak liar sementara mulutnya tak berhenti menyeringai. “Liat pah.. liat… Ruslan kaget.. uu…” kata Nando mengejek. Dia kembali mengikik. “Akting anak kesayangan Papa emang hebat… kamu udah ngejalanin tugas papa bikin Ruslan merasa nyaman berhubungan sesama lelaki. Kerja yang bagus Nan…” puji Oom Alfin tak kalah gila. “Nando kan sayang Papa…” kata Nando. Dia kemudian mencium Oom Alfin dengan penuh nafsu. Oom Alfin membalas ciuman Nando namun matanya tetap menatap ke arah Ruslan dengan buas. “Kalian gila! kalian kan ayah dan anak!” teriak Ruslan. “Oh.. tenang saja, Nando anak kesayangan Papa ini bukan anak papa. Tapi papa enggak nolak punya anak kayak Nando yang bisa muasin papa..” kata Oom Alfin sambil mengecup pipi Nando. “Nando pasang di tripod ya pah? kita contohin dulu ke Ruslan permainan kita, yah? yah?” kata Nando sambil melompat-lompat seperti anak kecil memohon pada Oom Alfin. Oom Alfin mengangguk. Kemudian Nando bergegas memasang handy-cam itu pada sebuah tripod yang tadinya terlipat di dekat ranjang sambil bersiul-siul. Lalu dia menghampiri Oom Alfin dan memeluknya. Oom Alfin merenggut Nando dengan kasar. Dia menarik kaus Nando dan meloloskannya. Dengan bernafsu bibir Oom Alfin melumat bibir Nando. Nando menggeliat berusaha mengimbangi gerakan Oom Alfin yang agresif. Semua itu dilakukan di hadapan Ruslan yang tak berdaya. Setelah Oom Alfin menelanjangi Nando, dia pun membuka kemejanya dan membuka bagian depan celana jeansnya dan membalik tubuh Nando. “Ooh… masukkin pah…” desah Nando. Rupanya Oom Alfin berusaha memasukkan penisnya pada Nando sambil merenggut rambutnya. “Aaah… kontol papah memang enggak ada duanya…” puji Nando seperti mabuk. Dia memejamkan mata sementara Oom Alfin mulai merangsek menggerak-gerakkan pinggulnya menghujamkan penisnya pada pantat Nando. Ruslan memalingkan wajah berusaha tak menyaksikan persetubuhan antara Oom Alfin dan Nando di hadapannya. Rupanya Oom Alfin seperti kesetanan. Nando yang awalanya seperti menikmati permainan kasar Oom Alfin, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa sakit akibat permainan kasar papa tirinya tersebut. “Akh.. sakit pah..” protes Nando. Tubuhnya masih terguncang-guncang oleh gerakan penetrasi Oom Alfin pada anusnya. Oom Alfin menatap Nando penuh kemarahan. Mendadak dia membalik tubuh Nando seolah hendak memeluknya. Tapi mata Ruslan menangkap kilatan sebuah benda yang dikeluarkan dari balik punggung Oom Alfin. Benda berkilat itu mendadak hilang tertutup tubuh Nando. “Uhuk…” tubuh Nando terlonjak. Dari mulutnya meluncur darah segar. Mata Nando membelalak heran ketika disadarinya sebilah pisau telah menusuk perutnya. Nando terhuyung sebelum akhirnya ambruk di lantai. Oom Alfin mengawasi terus Nando hingga dia tak bergerak dengan tatapan dingin sementara di tangannya masih tergenggam pisau berlumur darah. “Itu akibatnya, kalau terlalu menikmati peran. Anak kurang ajar! dia udah berani terlalu jauh sama kamu Rus, makanya Oom harus hukum dia!” kata Oom Alfin sambil menendang tubuh Nando yang terkapar. Ruslan berteriak histeris. Tubuhnya bergerak-gerak memberontak ketakutan melihat peristiwa sadis di hadapannya. “BRENGSEK! PEMBUNUH!! LEPASIN! LEPASIIIINNN!!!” jerit Ruslan. Tangannya terasa perih ketika kulitnya lecet tergesek oleh tali tambang yang mengikatnya. Oom Alfin melempar pisau itu dan memungut kemejanya. Kancing dan risleting celana jeansnya dia betulkan kembali. Tubuh Oom Alfin yang kekar berkeringat tampak mengilap diterpa cahaya lilin. Dengan gusar dia mengelap tubuhnya yang terkena cipratan darah Nando dengan kemejanya, lalu melemparnya sambil mendengus. “Oom rasa kita enggak perlu sukarelawan lagi kan, kalau sudah ada tripod?” kata Oom Alfin santai sambil berusaha membuka ikatan tali di pergelangan kaki Ruslan. Ruslan menangis. “Diam!” raung Oom Alfin saat Ruslan berusaha menendang-nendang dirinya ketika kakinya dilepas. Oom Alfin mengeluarkan sesuatu dari bawah ranjang. Benda itu seperti botol minuman. Kemudian dia memaksa Ruslan membuka mulutnya dan menutup hidungnya. Ruslan menolak dan berusaha memberontak hingga air dari botol itu tumpah ruah pada wajah dan lehernya. Namun tenaga Oom Alfin lebih kuat. Beberapa teguk air dari botol itu akhirnya tertelan Ruslan. Tak lama Ruslan merasa seperti melayang. Tubuhnya terasa ringan. Pandangannya berkunang-kunang walau masih sadar. Dia ingin menggerakkan badannya namun tak bisa. Tubuhnya terasa lemas. “Nah… santai aja anak manis.. ssshh.. sssh…” ujar Oom Alfin kegirangan sambil mengusap-usap kepala Ruslan. Setelah Ruslan semakin tak berdaya. Perlahan Oom Alfin mengangkat kaus Ruslan dan mulai menciumi bibirnya. Ruslan tak kuasa menolak. Air matanya yang meleleh adalah satu-satunya reaksi perlawanan dari dirinya. —- BRAK! suara pintu terbuka keras menghentikan aksi Oom Alfin. Dia menoleh pada sumber suara. Sesosok tubuh menghambur menyerang Oom Alfin sambil berteriak. “Heaaaaaaaaaaaaaa!” raungnya. Ruslan berusaha mengidentifikasi sosok tersebut. Ternyata Erry yang datang. Sekuat tenaga Erry meraih bahu Oom Alfin dan melemparnya hingga membentur dinding. Oom Alfin yang kurang siap menghadapi serangan Erry akhirnya terkapar sambil terbatuk-batuk. “Rus.. Ruslan!” sahut Erry. Dia menghampiri Ruslan berusaha membuka ikatan tali pada pergelangan tangannya. Erry berhenti sejenak saat melihat botol yang berisi cairan yang tadi diminumkan secara paksa pada RUslan oleh Oom Alfin. Setelah Ruslan terlepas, Erry menarik lengan Ruslan dan melingkarkannya pada bahunya. Ruslan yang masih lemas hanya bisa menuruti Erry. Erry kemudian membungkukkan tubuh Ruslan dan menekan perutnya. “Ayo! muntahin!” perintah Erry. “Muntahin!” Dan Ruslan pun memuntahkan isi perutnya tepat di pinggir ranjang. Nafasnya kini lebih teratur. Lama kelamaan kesadarannya mulai pulih. Tapi tetap saja, keringat dingin masih membasahi tubuhnya. Badannya pun masih terasa terlalu lemah untuk digerakkan. “Bisa bergerak?” tanya Erry. Ruslan mengangguk. Hatinya masih tercabik antara ingin mempercayai Erry atau tidak. Ruslan kemudian mencoba merangkak. Dia mendekati Nando. Ada perasaan yang tidak bisa dia abaikan begitu saja melihat Nando terkapar meskipun ternyata sikapnya manipulatif. “Ndo.. Nando…” isak Ruslan sambil mengguncang tubuh Nando yang tak bergerak. “Kamu cepat keluar! biar saya yang urus…” baru saja Erry hendak menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah seperti orang yang kesakitan. Di belakang Erry ada sosok bayangan hitam dan baru jelas terlihat ketika Erry Ambruk di atas tubuh Ruslan. Rupanya Oom Alfin berhasil mengambil pisau yang tadi dia lempar dan menghujamkannya pada punggung Erry. Ruslan berteriak histeris. Dia kemudian berusaha merangkak menjauhi Oom Alfin yang menghambur ke arahnya. Sayangnya, Oom Alfin berhasil meraih kaki Ruslan dan menusukkan pisau itu pada betisnya. Ruslan melolong kesakitan. Darah keluar dari sayatan pisau Oom Alfin pada betis sebelah kanannya. Sekuat tenaga Ruslan berusaha menjauh namun Oom Alfin dengan beringas menarik rambut Ruslan dan mengangkatnya hingga berdiri. Tiba-tiba Oom Alfin kembali limbung. Erry yang berhasil bangkit, memukulkan tripod handycam tepat pada tengkuk Oom Alfin. Ruslan akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Oom Alfin dan melihat keduanya bergumul. “Anak kurang ajar!” raung Oom Alfin sambil berusaha mencekik Erry. Pisaunya untung sudah terlepas dari genggamannya dan buru-buru ditendang Erry hingga jauh. “Cepat keluar!” perintah Erry sambil susah payah melawan cekikan Oom Alfin. Ruslan pun mengumpulkan tenaganya yang tersisa dan merangkak keluar kamar. Rupanya mereka berada di sebuah ruangan di lantai tiga. Ruangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Sekilas dia menoleh melihat pergumulan Erry dan Oom Alfin. Keduanya berjibaku hingga menyenggol beberapa batang lilin dan menyambar sprei pada ranjang hingga apinya membesar. “Mas Erry!” teriak Ruslan ketika Erry dan Oom Alfin bergumul di dekat jendela dan keduanya terjatuh keluar. Ruangan itu segera diliputi asap. Ruslan tak berdaya untuk membawa tubuh Nando dan memilih untuk turun lewat tangga kecil tersembunyi yang langsung menuju kamar Oom Alfin. Dari situ dia terus merangkak bersusah payah dan akhirnya bisa berdiri sambil tertatih menyeret kakinya yang luka. Dari atas ruang kamar Oom Alfin mulai muncul asap hitam. Sepertinya kamar rahasia itu semakin terbakar. Ruslan menyegerakan langkahnya menuju teras. Jika perkiraannya tepat, Erry dan Oom Alfin akan jatuh tepat di halaman dekat garasi. Tenaga Ruslan nyaris habis ketika dia sampai pada tangga terbawah. Matanya sudah memandang pintu luar sementara dari lantai atas asap sudah semakin mengepul. Ruslan tahu, dirinya tak boleh menyerah. Jika dia tertidur, maka dia akan tewas karena terbakar ataupun menghirup asap. Tapi tubuhnya sudah lelah. Godaan menutup mata jauh lebih hebat daripada harus berjuang demi hidup. Apalagi dirinya kini merasa sebatang kara. Entah ayahnya masih hidup atau tidak. Dari sudut matanya kembali meleleh air mata. “Bapak.. maafin Ruslan pak…” gumamnya sebelum matanya terpejam. Tak lama kemudian Ruslan mendengar suara orang banyak berseru. Suara pintu terbuka dan puluhan derap langkah kaki menyerbu masuk rumah. Ruslan merasa seseorang menarik tubuhnya dari lantai, membawanya keluar. Sayup-sayup terdengar suara “hey.. kamu gak apa-apa?” bertanya padanya. Tapi Ruslan tak kuasa menjawab. Pandangannya gelap. Tapi dia merasa lebih tenang. Dirinya selamat… dia selamat… **** “Sepertinya sudah sadar,” gumam seseorang. Ruslan masih enggan membuka mata. Dia berharap dirinya sudah di alam akhirat dan segala hal di dunia sudah dia tinggalkan. Tapi rasanya tak mungkin dia sudah berada di alam itu karena hidungnya mencium bau cairan pensteril tangan. Ruslan membuka matanya. Kakinya masih terasa sakit. Tapi tidak sesakit saat masih berada di rumah oom Alfin. Malahan terasa nyaman karena Ruslan merasakan balutan perban yang membungkus lukanya. Ruslan berpikir sejenak. Dia merasakan bagian tubuhnya yang manakah yang masih terasa sakit. Tampaknya semua sudah bisa digerakkan. Mata Ruslan mengerjap saat seseorang berjubah putih menarik kelopak matanya dan menyorotkan lampu senter tepat di tengah matanya. “Syukur kamu sudah bangun, Rus. Kelihatannya kamu enggak apa-apa. Luka kamu di kaki tidak serius. Ada tulang yang retak tapi dokter bilang akan cepat pulih,” kata seseorang dengan ramah. Ruslan mengenalnya sebagai Daniel. Petugas di lembaga narkotika yang pernah bertemu dengannya. “Bisa kami bicara berdua, dok?” tanya Daniel pada dokter yang sedang berdiri mencatat di sebelah mereka. “Baik. Tapi jangan paksakan. Dia masih butuh istirahat.” kata dokter pria itu. Kemudian dokter itu menutup tirai yang mengelilingi ranjang Ruslan dan pergi. “Saya tahu kamu masih butuh istirahat. Jadi tolong dengarkan cerita saya,” kata Daniel. Dia menyeret sebuah kursi ke dekat kepala Ruslan dan duduk di situ. “Hasil pemeriksaan sampel obat yang kamu kasih, ternyata cocok dengan zat psikotropika terlarang baru yang belum begitu banyak beredar di Indonesia. Saya bekerja sama dengan kepolisian sudah berupaya melacak pengedar yang sepertinya pemain baru. Itu sebabnya, saya tidak mengkonfirmasikan ke kamu soal ini karena kami khawatir kamu akan membocorkan rencana kami menggeledah isi rumah Alfin.” Ruslan menyimak setiap penjelasan yang diberikan Daniel. “Sepertinya kami kurang cepat datang. Entah ada kejadian apa di rumah kamu, Rus. Waktu kami datang dan melihat rumah dalam keadaan gelap, dan ada api serta asap dari lantai paling atas, kita langsung menelepon petugas pemadam kebakaran dan menerobos masuk. Sepertinya ada perkelahian di rumah itu, orang bernama Alfin dan Erry kami temukan tergeletak di teras depan. Begitu pula satpam di rumah itu. Sepertinya ada yang membiusnya di pos hingga tak sadarkan diri..” lanjut Daniel. “A.. apa.. Mas Erry…” tanya Ruslan. Dia sulit menyelesaikan kalimatnya karena tenggorokannya terasa kering. “Erry selamat. Posisi jatuhnya tepat di atas Alfin. Kakinya memang patah, tapi dia selamat. Luka di punggungnya untung bisa dioperasi. Dia dirawat di rumah sakit ini dalam penjagaan ketat. Sedangkan Alfin.. yah.. dia sudah meninggal.” Ruslan meneguk ludah. “Bagaimana dengan Nando? Albie?” tanya Ruslan. “Anak Alfin yang lain? delapan puluh persen rumah Alfin hangus terbakar. Kami memang menemukan sisa pakaian Nando, tapi kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Albie.” Ruslan tertegun. “Erry menolak bicara. Dia bungkam sampai sekarang. Sepertinya saya harus menggunakan kamu untuk membujuk dia bicara. Dia hanya ingin bicara dengan kamu.” **** “Pelan-pelan…” ujar Ruslan. Seorang perawat pria membantunya naik ke sebuah kursi roda. Ruslan memang bisa berjalan dengan bantuan tongkat. Tapi hari ini, hari kedua dia di rumah sakit, dia akan menemui Erry pertama kali sejak kejadian di rumah itu. “Sudah siap?” tanya Daniel. Ruslan mengangguk mantap. Perawat itu lalu mendorong kursi roda Ruslan ke sebuah kamar. Seorang petugas polisi yang duduk di sebuah meja, tepat di depan kamar, berdiri lalu memberi hormat pada Daniel dan membukakan kunci pintu kamar itu. Ruslan melihat Erry sedang berbaring di ranjang. Kakinya terbungkus gips. Wajahnya dihiasi beberapa plester dan ada lebam di wajahnya. Perawat itu mendorong kursi roda Ruslan hingga dekat dengan ranjang Erry. Erry memalingkan wajahnya. Tak ingin melihat Ruslan. “Mas…” panggil Ruslan canggung. Erry membalik wajahnya. Ruslan memberanikan diri menatap mata Erry. Bagaimanapun juga, ada ketenangan dan kelembutan dari tatapan Erry yang membuat Ruslan terkadang merasa nyaman. “Semua udah berakhir mas, enggak perlu lagi ada yang disembunyikan,” kata Ruslan datar. Erry tak bereaksi. Perlahan bibirnya gemetar dan air mata mulai meleleh di pipinya. “Saya… Sayalah yang selama ini harus terus bersikap waras ditengah kegilaan keluarga saya sendiri. Mas Erry capek Rus… capek…” “Jelasin dari awal, Mas… Ruslan mohon…” pinta Ruslan. Erry meneguk ludah dan terdiam sesaat. “Saya kenal orangtua kamu, Rus. Kamu adalah kakak Nando…” Erry memulai ceritanya. Ruslan terperanjat. “Hah? Nan.. Nando adik saya?? tapi.. tapi..” Entah kejutan apalagi yang Ruslan dengar. Tapi tubuhnya langsung merasa lemas. Masih berusaha mencerna penjelasan dari Erry. “Mau saya lanjutkan?” tanya Erry. Ruslan mengangguk. Dia berusaha menguasai dirinya. “Papa.. papa kenal dengan orangtua kamu Rus. Mereka sama-sama muda, ambisius, orang-orang yang mencoba menjadi pengusaha sukses…” “Mama saya sudah meninggal waktu itu. Saya tahu, papa mempunyai niat jahat kepada keluarga kalian. Waktu itu kamu baru berusia satu tahun. Kamu dan Nando hanya selisih satu tahun lebih karena setelah melahirkan kamu, Mama… maksud saya mama kamu sudah hamil lagi kedua kalinya… Nando.” “Papa kalian yang lebih sukses membuat iri Papa. Dia menjebak orangtua kamu, Rus.. jebakan yang entah apa itu bisa membuat mereka ketakutan dan menurut sama Papa. Papa berhasil membuat orangtua kalian bercerai lalu Papa menikahi mama kalian. Sedangkan kamu, Rus… kamu dibawa oleh bapak kamu ke kampung dan meninggalkan ibu kamu yang dinikahi Papa dalam keadaan hamil.” “Tapi.. tapi saya punya ibu, Mas! dia meninggal pas saya umur 10 tahun!” protes Ruslan. “Itu bukan ibu kamu… Bapak kamu di kampung menikah lagi. Tidak ada yang tahu, karena bapak kamu menikah diam-diam dan memberitahu semua orang di desa kamu kalau perempuan itu ibu kamu. Kamu beruntung Rus, ada ibu pengganti yang sayang sama kamu…” Ruslan tertegun. “Mama kamu tertekan. Dia dengan terpaksa menjadi istri Papa. Saya merasa tidak enak. Dia pun seperti menjaga jarak dengan saya. Apalagi sewaktu Nando lahir. Papa seperti ogah-ogahan menerima dia sebagai anaknya. Tapi keadaan berubah saat Nando beranjak remaja…” Erry memain-mainkan jemarinya, lalu melanjutkan. “Mama kalian yang semakin terpaksa tinggal dirumah, menyerahkan urusan usaha pada Papa. Apalagi sejak kelahiran Albie. Anak hasil hubungan mama kalian dan papa. Sepertinya mama semakin sulit melepaskan diri dari Papa.” Ruslan mulai terisak. “Oh, jangan khawatir. Mama kamu masih sering mengkhawatirkan kamu, Rus. Satu hal yang dia inginkan adalah berkumpul kembali dengan kalian semua. Tapi tetap saja, ada Albie yang menjadi penghambat. Dan ancaman itu masih terus berlanjut…” “Menjelang Nando remaja, gelagat papa yang menyukai sesama jenis mulai terlihat. Dia tiba-tiba begitu peduli pada Nando. Memanjakannya seolah dia anak kandungnya sendiri. Kelihatannya sih normal. Tapi mama kalian mulai curiga. Dan puncaknya, saat Nando berusia 16 tahun, Mama kalian melihat sendiri Papa sedang bersetubuh dengan Nando… entah sudah yang ke berapa kalinya… Mama kalian terguncang dan kalap. Dia menyerang Papa. Sejak saat itu, Mama kalian dibawa pergi entah kemana. Nando tak sedikitpun membela mamanya sendiri. Dia sama gilanya dengan papa dan menikmati setiap perhatian Papa…” “Saat itulah saya baru tahu kalau Papa juga mengincar kamu, Rus… saya menemukan album foto itu. Rupanya papa menyuruh seseorang untuk terus mengawasi kamu. Belakangan dia meminta saya untuk menggantikan orang itu. Jadilah saya secara berkala datang ke desa kamu, mengawasi kamu, membuntuti kamu… Dalam hati saya tidak setuju dengan kegilaan Papa. Saya sedikit demi sedikit bersimpati sama kamu, Rus… saya enggak mau nasib kamu seperti Nando. Tapi di lain pihak, saya juga tidak bisa melawan Papa karena dia sangat kejam…” Ruslan menghela nafas. “Semua rencana yang dibuat papa… agar kamu terbiasa dengan hubungan sesama lelaki… ah… gila.. gila..! dan saya enggak bisa berbuat apa-apa buat mencegahnya…” “Mas udah berusaha kan? waktu saya mau berangkat…” kata Ruslan mengingatkan. Erry mengangguk. Dia tertawa malu sambil menutup wajahnya. “Saya enggak tahu lagi bagaimana cara mencegah kamu pergi, Rus..” Ruslan terdiam. “Jadi mas tahu di mana orangtua saya sekarang?” tanya Ruslan dingin. Ketika Erry hendak membuka mulut. Ruslan memberikan isyarat pada Erry lewat matanya dan menggeleng keras. Erry batal bicara. Erry kemudian mengawasi tubuh Ruslan. Dia pun menggerakkan bibirnya tanpa suara seolah menanyakan ‘Direkam?” Ruslan mengangguk. Erry memberikan isyarat pada Ruslan untuk mendekat padanya. Dia membisikkan sesuatu pada telinga Ruslan dan mata Ruslan mulai berkaca-kaca. “Saya enggak tahu Rus.. benar-benar enggak tahu…” kata Erry lantang. Ruslan masih menangis. Bibirnya bergerak tanpa suara seolah mengatakan “terima kasih…” dan Erry pun membalasnya dengan anggukan sambil menangis. *** Erry sepertinya harus berurusan dengan hukum. Dia membantu Oom Alfin melancarkan bisnis sampingan mereka sebagai pengedar narkoba zat baru. Dan tampaknya dia akan dihukum dalam waktu yang cukup lama. Ruslan gembira karena kini dia tahu di mana orangtuanya berada. Tentu saja Ruslan tak memberitahukan polisi mengenai keberadaan orangtuanya dari informasi yang diberikan Erry. Dia tak ingin keluarganya kembali terseret kasus keluarga Oom Alfin. Ruslan hanya ingin hidup tenang. Setelah keadaan mulai stabil, Ruslan mencari alamat yang diberikan Erry. Betapa gembiranya Ruslan ketika bertemu kembali dengan ayahnya. Rupanya ibunda Ruslan dititipkan pada sebuah panti milik pemerintah khusus penyandang cacat. Entah bagaimana Oom Alfin bisa memasukkannya ke situ. Kondisi ibunda Ruslan dalam keadaan baik walau mentalnya cukup terganggu sejak keluar dari rumah Oom Alfin. Bapak Ruslan selama ini menyewa sebuah rumah dekat panti tersebut, jauh dari kehidupan dan komunikasi yang disyaratkan oleh Oom Alfin. Dia hanya bisa berdoa agar anaknya baik-baik saja. Bapak menangis mendengar cerita Ruslan. Dia lega semuanya baik-baik saja walau keberadaan Nando dan Albie tak diketahui. Di suatu tempat. Tampak seorang pemuda lusuh berjalan tertatih sambil memegangi perutnya dengan tangannya yang penuh luka bakar. Lengannya yang satu menuntun seorang anak lelaki yang terus menerus menangis. Keduanya duduk di balik sebuah gedung tinggi menjulang. Beralaskan koran. “Diaaaaamm…” geram pemuda itu. Namun anak kecil itu tak mau diam. “Kak.. aku lapar kaak…” rengek anak kecil itu. “Iya.. sabar.. kakak lagi cari makan dulu.” kata pemuda itu mencoba menenangkan. “Kak.. mana papa? Mana Mas Erry? huhuhuhu.. Albie pengen pulang…” tangisnya. “Rumah kita udah hangus Bie!” lengking pemuda itu. Dia terus menerus berusaha menyembunyikan wajahnya. “Kenapa…? kenapa…?” tangis anak bernama Albie itu. “Semua gara-gara orang itu… kamu ingat baik-baik namanya. RUSLAN… Dia yang membuat kita begini…” gumam pemuda itu penuh kemarahan. Dia kemudian mengeluarkan sebuah benda dari buntalan lusuh di sebelahnya. Sepotong cermin buram. Di situ terpantul wajah mengerikan seorang pemuda penuh kemarahan dengan luka bakar hampir memenuhi separuh wajahnya. Kemudian dia menoleh pada Albie. Bocah itu masih terus menerus menangis. “Aah.. Albie tahu? Albie mirip sekali dengan kak Nando waktu kecil…” katanya sambil mengangkat dagu bocah tersebut. Tangis Albie mulai mereda. “Suatu hari… suatu hari nanti… Kakak bakal tunjukkan orang yang bernama Ruslan itu ke kamu. Terserah Albie mau diapakan orang yang udah bikin keluarga kita hancur… ngerti?” Albie mengangguk meskipun dia belum begitu paham maksud kakaknya. “Tapi belum saatnya… belum saatnya…” kata Nando sambil terkekeh. **** EPILOG: Sepuluh tahun sudah berlalu. Ruslan baru saja merayakan ulangtahunnya yang ke 30. Dengan diiringi tepuk tangan seluruh karyawannya, dia meniup lilin pada kue ulangtahun dengan semangat. Ruslan semakin dewasa. Tubuhnya tegap, gagah dan kharismatik. Dia merintis usaha advertisingnya dari nol hingga menjadi perusahaan dengan puluhan klien besar dan berpengaruh sekarang ini. Ruslan kini sudah menikah dan dikaruniai seorang putri berumur satu setengah tahun. Sejak kejadian traumatis itu, Ruslan tak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sesama pria. Dia yakin seratus persen dirinya bukanlah homoseksual. Walaupun terkadang, dia masih membayangkan Nando dan hubungannya dengan pemuda yang ternyata adiknya sendiri itu. Bagaimanapun, Nandolah yang mengenalkannya pada identitas seksualitas dan pengeksplorasiannya waktu itu. Hubungan seksual pertama kali pastilah akan berkesan selamanya. Tak peduli itu dengan lawan jenis, atau sebaliknya. Jika teringat Nando, rasa sakit itu masih tetap muncul di hatinya. “Terima kasih semuanya… terima kasih untuk seluruh tim saya atas kejutan ulangtahunnya… tapi maaf, acara makan-makannya saya tunda besok…” kata Ruslan sambil tersenyum. Gerutuan belasan orang di ruangan itu terdengar bersahutan. “Saya sudah janji makan malam dengan istri saya.. kalian mau saya enggak masuk lalu kantor ini tutup kalau saya batalin janji gara-gara istri ngambek?” kata Ruslan. Seluruh staf Ruslan terbahak. “Oke.. tolong bagikan kuenya ya.. saya harus pulang sekarang. Sampai besok pagi semuanya.. tetap kreatif!” serunya sambil mengepalkan tangan. “Terus kreatif!” sahut seluruh stafnya bersamaan sambil mengepalkan tangannya juga. Ruslan mengangguk senang. Dia kemudian mengambil jasnya dan memakainya sambil berjalan menuju lift. Langkahnya terganggu saat seorang wanita muda bertubuh gemuk menghentikan langkahnya. “Pak.. Pak Ruslan…” tahannya. “Ada apa, Fi? saya harus pulang sekarang..” “Iya pak.. tapi anak itu sudah nunggu bapak dari siang, saya bilang bapak ada rapat di luar, lalu keganggu juga sama acara tiup lilin..” “Anak yang mau magang di sini?” tanya Ruslan. “Iya pak. Baru kuliah tingkat tiga. Sangat pintar. Dosennya sendiri yang rekomendasiin ke saya. Waktu kita bilang di perusahaan ini terbuka buat anak muda yang ingin belajar, dia kelihatan antusias…” Ruslan menghela nafas. Dia sebenarnya ingin cepat pulang. Tapi kasihan juga anak itu menunggu. Dia mendesah sambil melirik jam tangannya. “Oke. Saya temui sebentar. Di mana dia?” tanya Ruslan. “Ada di ruang meeting pak,” tunjuk wanita bernama Fifi itu. “Oke. Terima kasih.” kata Ruslan. Dia berdeham dan membetulkan jasnya sebelum masuk ruangan. Ketika Ruslan membuka pintu, ada seorang pria duduk memunggunginya. Ruslan pun menyapanya, “Selamat sore,” Pemuda itu bangkit dan berbalik menyambut Ruslan. Kali ini Ruslan bisa melihat wajahnya. Tampan, berkacamata, rambut pendeknya yang lurus tersisir rapi dengan belahan di pinggir. Dia tersenyum pada Ruslan sambil membalas salamnya. Tapi yang membuat Ruslan menahan nafas adalah saat dia menyadari betapa miripnya pemuda itu dengan Nando saat seumurnya. Jika saja kacamata itu dilepas dan rambutnya agak ikal, Ruslan bersumpah bahwa pemuda itu adalah Nando yang tak bertambah usianya sedikitpun. Jantung Ruslan berdegup kencang. Lidahnya kelu. Tenggorokannya tercekat. Hampir saja dia menyebut nama Nando di depan pemuda itu. “Maaf pak? bapak sakit?” tanya pemuda itu khawatir saat melihat Ruslan yang berdiri mematung. “Eng.. enggak.. enggak..” kata Ruslan “Oh, Perkenalkan, nama saya Aldebaran Ristianto, saya yang waktu itu berminat sekali mengikuti program magang di tempat bapak,” kata pemuda itu sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Ruslan yang masih terpana membalas uluran tangan pemuda itu dengan canggung. “Pak? bapak enggak kenapa-napa?” tanyanya. “Ah.. ini aneh.. maaf, tapi kamu mirip sekali dengan orang yang saya kenal dulu…” kata Ruslan. Pemuda itu terdiam dan menunduk. Dia tiba-tiba tersenyum dan melepas kacamatanya. “Bapak tahu? saya juga punya perasaan yang sama…” katanya. Kemudian pemuda itu mendekati Ruslan dan merangkul lehernya. Ruslan tak bisa bergerak dan menolak saat pemuda itu mencium bibirnya dengan lembut… -T A M A T-

No comments:

Post a Comment