Wednesday, 22 January 2014
MERANTAU – Bagian 16
OOM ALFIN menghentikan mobilnya dan menyuruh Ruslan turun. Mereka tiba di rumah Oom Alfin sekitar jam sebelas pagi. Ruslan turun dari Jeep milik Erry yang dipakai oleh Oom Alfin menjemputnya ke desa dengan malas. Tangannya mendekap ranselnya erat-erat. Sejenak dia melirik ke arah pintu gerbang dan mengawasi satpam yang baru dia lihat pertama kali itu menutup gerbang. Rumah itu lagi. Suara berdebam pintu gerbang yang menutup seolah menjadi tanda bahwa Ruslan sudah terkunci dalam penjara indah milik Oom Alfin untuk selamanya.
Ruslan melihat Erry berdiri di pintu, berpakaian kerja lengkap. Ruslan tak bisa menebak ekspresi wajahnya yang datar. Sekali waktu Ruslan berusaha menatap mata Erry namun dia seolah menghindari tatapan Ruslan.
“Kamu mau berangkat ke kantor, Er?” tanya Oom Alfin.
“Iya, pah. Saya nunggu papa sama Ruslan datang dulu,” jawab Erry.
“Ada meeting penting hari ini?” tanya Oom Alfin sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
Erry menggeleng sambil membenarkan letak kacamatanya, “Enggak ada pah, semua sudah saya reschedule untuk besok.” Erry mengikuti Papanya di belakang sementara Ruslan berjalan agak jauh dari mereka. Yang membuat Ruslan kesal adalah tingkah Erry yang seolah-olah menganggapnya tak ada di situ.
Sebenarnya Ruslan baru menyadari. Sikap Erry terhadap Oom Alfin terlalu kaku untuk sebuah hubungan antara ayah dan anak. Mereka lebih mirip seperti atasan dan bawahan.
“Nando kemana?” tanya Oom Alfin.
“Berangkat kuliah pah,” jawab Erry.
Ruslan bernafas lega. Syukurlah, berarti Nando baik-baik saja. Bayangan Nando yang Ruslan temukan dalam keadaan pingsan sesaat sebelum dirinya kabur memang membuatnya khawatir.
“Istirahat dulu di kamar Rus, Oom sama Erry mau pergi ke kantor,” ujar Oom Alfin tanpa mau memandang Ruslan. Entah mengapa perintah Oom Alfin terdengar oleh Ruslan seperti ‘Jangan coba-coba untuk kabur lagi’.
Ruslan pun mengangguk dan naik ke kamarnya. Kamar sel penjaranya di rumah ini. Ruslan merebahkan tubuhnya di ranjang setelah menjatuhkan ranselnya. Dia berpikir bahwa dirinya harus bertahan di rumah ini untuk mengetahui di mana ayahnya berada. Pikirannya melayang kemana-mana. Mencoba menyatukan potongan-potongan petunjuk yang bisa dia ingat untuk melengkapi puzzle misteri hilangnya ayahnya dan juga kawannya.
Tunggu sebentar. Ruslan bangkit dari tidurnya seperti teringat sesuatu. Bagaimana… Bagaimana caranya Oom Alfin tahu skandal dirinya dan Nando? apakah dia diam-diam mengintip dari pintu kamar yang tidak terkunci? ataukah seperti dirinya dulu saat melihat kebersamaan Nando dan Satpam bernama Fajar itu dari balkon luar kamar?
Ruslan menengadah ke langit-langit kamarnya. Berusaha mencari benda mencurigakan seperti kamera tersembunyi misalnya? toh kemarin saat hendak kabur dia sempat melihat layar televisi yang menayangkan gambar hasil tangkapan kamera CCTV dari berbagai sudut walaupun Ruslan sama sekali belum pernah melihat jelas kamera pengawas itu selain yang berada di pintu utama.
Kemudian Ruslan berjalan mengelilingi kamarnya. Dirinya bahkan membungkuk-bungkuk mencari-cari sesuatu benda yang bisa dijadikan petunjuk. Saat memeriksa bagian bawah mejanya, dia menemukan kabel hitam yang menempel dengan kabel listrik lampu duduk. Kabel itu membuat Ruslan heran karena sepertinya tak terhubung dengan alat listrik manapun. Kemudian Ruslan berusaha menariknya untuk mengetahui ujung pangkal kabel tersebut dan… ‘PRAK!!’ terlihat sobekan wallpaper memanjang di belakang ranjang Ruslan dan kabel hitam itu menyembul keluar, memanjang hingga langit-langit.
Pada langit-langit berwarna putih itu, Ruslan hampir tak melihat apapun kecuali sebuah lubang kecil. Namun kalau diperhatikan dengan jelas, dari lubang itu terlihat kelap-kelip samar berwarna merah. Ruslan harus memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas. Dia pun nekat menarik kabel itu lebih keras dan sebuah benda kotak kecil berwarna hitam pun terjatuh di lantai. Bentuknya seperti kamera pengawas namun lebih kecil dengan lensa menyembul dan lampu indikator berwarna merah yang berkelap-kelip.
Ruslan menghela nafas dengan perasaan berang. Ini dia! rupanya Oom Alfin menaruh kamera pengawas diam-diam pada kamar ini. Ruslan kemudian meraih bangku meja belajarnya yang kakinya terbuat dari besi yang cukup berat, kemudian dengan sekali hantam, dia menghancurkan kamera kecil itu dengan kaki kursi tersebut. Tak puas sekali, Ruslan memukulkan kursi itu berkali-kali hingga kamera tersebut hancur.
Mata Ruslan kembali berputar ke setiap sudut kamarnya. Dia mengorek-ngorek mencari kabel sejenis namun hasilnya nihil. Dia kemudian teringat satu hal lagi. Apakah mungkin… pikirnya. Ruslan pun bergegas menuju kamar mandinya. Dan tanpa perlu susah payah, dia sudah menemukan kabel hitam sejenis yang menempel di sisi toiletris. Ruslan pun menarik kabel itu hingga kamera yang tersembunyi terjatuh dari sudut langit-langit dan membuat ujung langit-langit itu rusak. Ruslan beranjak ke kamarnya, mengambil kursi yang sama dan menggunakannya lagi untuk menghancurkan kamera tersebut.
****
“Masuk…” sahut Ruslan datar saat pintu kamarnya diketuk.
Dari balik pintu muncullah satpam yang dia lihat tadi membuka pintu gerbang saat dia datang. Tingkahnya canggung sekali.
“Eh, ehm.. Siang mas,” ujarnya salah tingkah.
Ruslan tak menjawab. Dia yang sedang duduk di kursi memang menunggu orang ini datang sejak beberapa menit yang lalu. Dia yakin, bila ada yang mengawasi seluruh rumah ini dengan kamera, pastilah dia mengetahui kalau kamera di kamar ini telah dirusak olehnya dan cepat atau lambat dia akan mendatangi kamar ini untuk memeriksanya.
“Cari ini?” tanya Ruslan sambil melempar dua buah kamera kecil yang telah hancur tepat di dekat kaki satpam itu.
Satpam itu terdiam dan berdiri kaku.
“Jadi kamu yang mengawasi semua rumah ini? atas perintah siapa? Oom Alfin?” tanya Ruslan.
Satpam itu berkata. “Maaf mas, saya tidak bisa menjawab.”
Ruslan bangkit dengan rasa marah. Walau tubuhnya lebih kecil dari satpam itu, dia mendorongnya dan mencengkeram kerahnya.
“Jawab! kamu juga menikmati ya pertunjukan mesum di kamar ini? siapa lagi yang lihat? hah?” Ujar RUslan geram.
Satpam itu rupanya tak berdiam diri terhadap serangan Ruslan. Dia balas mendorong Ruslan dan meninju rahangnya. Ruslan terjengkang ke lantai. Pipinya terasa perih. Setelah bisa menguasai diri, dirinya bangkit dan balas menyerang satpam itu sambil berteriak. “Dengar ya! saya sudah enggak peduli lagi saya mati atau tidak! bilang sama Oom Alfin! laporkan saja! kalau dia mau bunuh saya, bunuh saya sekalian!” kata Ruslan kalap sambil meninju rahang satpam itu berkali-kali.
“Mas Ruslan! Mas! Mas! kenapa berkelahi?” jeritan Bi Leni yang datang mendengar keributan Ruslan dan satpam di kamar menyadarkan Ruslan. Dibantu dengan tukang kebun yang juga ikut naik, mereka berdua dipisahkan. Ruslan cukup puas melihat memar-memar di wajah satpam itu sebelum dia pergi keluar kamarnya. Nafas Ruslan terengah-engah sambil memegangi rahangnya yang masih terasa sakit.
“Mas! Mas Ruslan kenapa?” tanya Bi Leni sambil menenangkan Ruslan. Ruslan tak menjawab. Dia pun menyuruh Bi Leni dan tukang kebun itu keluar dari kamarnya. Ruslan pun menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas ranjang.
****
Malamnya saat makan malam, Ruslan terpaksa ikut makan di meja bersama keluarga Oom Alfin. Dirinya lebih banyak diam sambil menyantap makanannya. Nando duduk di seberangnya. Wajahnya terlihat ketus dan tak ramah. Tapi dia terlihat sehat dan itu membuat Ruslan lega. Dia tidak berani menyapa anak itu. Sesekali dia menoleh ke arah Ruslan dan memberikan tatapan penuh kebencian padanya.
“Saya dengar tadi ada perkelahian di rumah ini, benar?” tanya Oom Alfin.
Ruslan tak menjawab.
“Saya cuma mau bilang. Setiap perbuatan selalu ada konsekuensinya. Jangan menganggap tindakan manja dan kekanak-kanakan bisa ditolerir di rumah ini,” lanjut Oom Alfin. Ruslan tahu, ucapannya itu ditujukan padanya.
Tiba-tiba Ruslan melihat Nando menunduk. Nafasnya terdengar jelas seperti menahan emosi. Tangannya memegang sendok dan garpu dengan gemetar. Tak lama Nando membanting sendok dan garpunya lalu berteriak sambil menyerang Ruslan.
“Aaaaarrggh..” teriak Nando. Tangannya bergerak liar mencoba meraih Ruslan yang secara reflek bangkit dari kursinya karena terkejut dengan tingkah Nando.
Sayang, Ruslan tak bisa menghindar saat Nando menubruknya dan menindihnya di atas lantai sambil menarik-narik kausnya.
“Nan..! Nando!” ujar Ruslan panik.
“Gue benci! kenapa lo harus datang ke rumah ini, hah??” geram Nando. Matanya membelalak liar. Tangannya mengguncang-guncang bahu Ruslan sehingga tubuhnya membentur-bentur lantai.
Erry dan Oom Alfin kemudian bangkit berusaha menarik Nando yang seperti kesetanan meronta-ronta. Albie yang duduk di meja melihat semua itu menangis ketakutan.
“Kamu masuk ke kamar!” perintah Oom Alfin pada Ruslan. Nando masih berteriak-teriak galak mengancam Ruslan.
Ruslan pun menuruti Oom Alfin dan bergegas ke kamarnya. Saat menutup pintu kamar, Ruslan merasa sedih. Dia tidak mengenali Nando seperti sebelumnya. Ada apa dengan anak itu? pikirnya. Sesaat kemudian, ketika hendak duduk di bangku, Ruslan merasakan ada sebuah benda di kantung celana pendeknya. Dia menarik keluar benda itu. Ternyata secarik kertas yang terlipat. Ada tulisan di dalamnya dan Ruslan pun membacanya.
“Bagus kan akting gue Rus? Sori.. rumah ini enggak aman. Kamera di mana-mana, penyadap di mana-mana, bahkan telepon kita pun disadap. Kita ketemu di kampus besok. Gue akan jelasin semuanya..”
Ruslan terhenyak. Ada apa lagi ini? pikirnya bingung.
*bersambung*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment