My Blog List

Thursday 23 January 2014

Bercinta dengan Kakak Ipar (Bagian 4)

AKU bangun keesokan paginya saat Shep terbangun sambil menggerutu. Tanpa bersuara dia beranjak ke kamar mandi dan aku menyusulnya bangun. Kuseka kacamataku dan memakainya. Kupakai kaus dan celana pendek lalu pergi ke dapur. Saat melewati kamar mandi, aku bisa mendengar suara Shep sedang kencing. Aku membuat seteko kopi dan membuka kulkas. Kubungkukkan badanku dan melihat-lihat apa yang bisa kubuat untuk sarapan. “Hei…” Aku mendongak saat Shep berjalan di dapur hanya mengenakan celana pendek, seperti biasanya. Wajahnya tampak malu-malu. Matanya terlihat gugup, tak tahu harus melihat ke arah mana. “Pagi,” sapaku. “Aku mau masak omlet untuk sarapan.” “Oh, tak usah repot-repot,” jawabnya. Matanya akhirnya berani menatapku. “Tak merepotkan, kok.” “Yah… kalau kau memang mau.” Aku mengaduk-aduk isi kulkas dan menemukan beberapa potong jamur. Kuambil telur dan bahan lainnya, dan bertanya pada Shep bagaimana omlet yang dia inginkan. Dia menghampiriku dan berdiri di sebelahku. “Jangan pakai paprika hijau,” ujarnya sambil mengerutkan hidung. “Bahan lain sepertinya enak. Ekstra keju?” Aku menatapnya dan tersenyum. “Baiklah. Tambah ekstra keju.” Kami berdua tersenyum dan saling menatap. Aku sebenarnya ingin dia menciumku. Aku ingin Shep merangkulku dan bilang bahwa apa yang terjadi di antara kami sungguh berarti baginya. Dia meletakkan tangannya di bahuku dan meremasnya, lalu mengangguk padaku. Aku pikir itu sudah cukup untuk saat ini. Shep menuangkan secangkir kopi dan duduk di meja. Kami mengobrol ringan selama aku memasak. “Aku ingin jalan-jalan,” Ujar Shep saat dia menaruh piringnya di tempat cuci. “Aku ingin jalan-jalan sebentar dengan si Merah. Keluar rumah…” “Oke.” Shep mengangguk dan keluar. Aku menaruh wajan di tempat cuci dan mulai membersihkannya. Pikiranku melayang-layang saat kugosok berulang-ulang bagian yang sama wajan itu dengan spons. Apakah Shep berusaha menghindariku? apa yang dia pikirkan tentang kejadian semalam? apakah dia hendak berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa? apakah kejadian semalam akan terulang? Tuhan, aku ingin kejadian semalam terulang lagi. Aku menduga-duga bagaimana kalau aku yang lebih dulu memulai. Apakah aku harus membiarkan dirinya yang memulai? Bagaimana kalau dia tidak memulai duluan? “Billy.” Aku terlonjak dan berputar melihat Shep sudah berdiri di pintu. “Maaf,” gumamnya, menahan diri untuk tak tersenyum. “Tak bermaksud membuatmu takut.” Aku menghela nafas. “Aku tadi melamun… gak dengar kamu masuk.” “Kau mau ikut? jalan-jalan denganku?” “Yeah? baiklah. Aku ikut.” Shep mengangguk. “Aku mandi dulu sebentar.” Setelah aku mandi, aku lihat Shep di ruang tamu. Dia mengenakan kaus lengan buntung yang memperlihatkan tangannya yang besar dan bertato. Dia juga memakai celana pendek selutut dan kaus kaki putih serta sepatu boot kerjanya. Sial, dia keren sekali. Mataku sekilas melihat ke arah selangkangannya dan penisku kembali menegang ketika mengingat kejadian semalam. Shep merangkul bahuku. “Sudah siap?” tanyanya. Dia tersenyum ceria dan aku tak kuasa untuk tak membalas senyumannya. Shep menyalakan mesin truk nya dan memutar radio saat kami keluar dari tempat parkir. Lagu Rock Klasik. “Mau ke mana kita?” tanyaku. “Gak ada tujuan,” ujarnya. “Aku suka berkendara. Membantuku menjernihkan pikiran… dan rileks. Kurasa kita berdua butuh relaksasi sekarang.” Aku terkekeh dengan gugup. “Yeah.” Kami berkendara dalam diam selama beberapa saat. Namun kesunyian itu membuatku nyaman. Kami mendengarkan radio dan menggoyangkan kepala kami dan menghentakkan kaki seiring musik. Setelah berjam-jam berkendara tanpa tujuan, Shep keluar dari jalan raya dan melalui jalan tanah berdebu. Tampaknya dia tahu arah tujuan kita. “Kau tahu kemana kita akan pergi” tanyaku. “Yeah. Aku pernah ke sini beberapa kali.” Jalanan itu berakhir di tepian sebuah sungai kecil. Shep mengikuti jalan di sisi sungai sampai jalanan itu berakhir di sebuah pembangkit listrik lama. Shep memutar truknya mengarah ke tempat kita datang. Dia memarkirkan truk dan mematikan mesinnya, sementara radionya dia biarkan hidup. Shep membuka sabuk pengaman begitu pula denganku. Aku menelan ludah dengan gugup sambil mengamati aliran sungai. Mataku menangkap bayangan pohon yang rebah di sisi seberang sungai dan melihat air sungai melewatinya. Jantungku berdetak kencang dan aku merasakan panas di wajahku. Kuseka keringat di dahi dengan punggung tanganku. Shep terkekeh, dan mulai tertawa terbahak-bahak. Aku melihatnya seolah-olah dia menjadi gila. “Apa yang lucu?” “Kau.” “Aku?” “Yeah. Tampangmu gugup sekali. Duduk di situ seolah-olah aku membawamu ke sini untuk kubunuh atau apa.” Shep semakin terbahak. “Tidak lucu,” kataku, berusaha terdengar kesal, tapi aku mulai ikut tertawa. “Dasar brengsek,” ujarku sambil tertawa. Kutinju bahunya dengan lenganku dan dia semakin keras tertawa. Dia meraih tanganku dan menggelitik pinggangku hingga aku berteriak. Aku tertawa melolong saat Shep menggelitikku. Dia mendorongku dan tubuhnya menindihku. Aku tertawa sampai terasa sakit. “Stop!” Teriakku. “Aku menyerah!” Shep berhenti menggelitik aku, tapi dia tetap menindihku. Kakiku terbuka lebar dan dia berada diantaranya. Dada kami naik turun beriringan mencoba mengatur nafas. “Shep,” bisikku. “Aku-” Shep menggerutu dan mulai menciumku. Gigi kami bertabrakan, namun kami tak peduli. Dengan bernafsu dia menciumku seolah ingin memakanku. Kugerakkan tanganku di punggungnya dan mendekapnya sehingga dia berada tepat di atasku. Tubuhnya yang besar terasa hangat saat menindihku di bangku mobil. Kulingkarkan kakiku di pinggangnya erat-erat. Shep melepas kacamataku dan melemparnya ke atas dasbor. Dia menjilat, mengisap dan menggigit leherku. Janggutnya yang kasar menggosok kulitku yang sensitif hingga aku menggelinjang. Dia mengisap kuat-kuat leherku, hingga aku melenguh sambil melengkungkan tubuhku dan mendekapnya lebih erat. “Mmm,” gumam Shep di telingaku sambil menjilat cupangan yang baru saja dia buat. “Sekarang kau punya dua cupang yang sama di kanan dan kiri.” Aku gemetar dan berkata pelan. “Shep. Fvck me.” Tangan Shep bergerak ke celana pendek milikku dan membuka ikat pinggannya dan menurunkannya hingga mata kaki dan menariknya hingga lepas. Dia mengangkatku dan membuatku duduk di pangkuannya sementara dia duduk di bangku mobil. Penisnya yang besar menekan belahan pantatku. Aku meraih wajahnya dan mulai menciumnya kuat-kuat sementara kutekan penisnya dengan pantatku. Shep melingkarkan lengannya di pinggangku dan mendekapku erat sementara dia mencondongkan badannya dan membuka laci dasbor dan mengambil sebotol kecil pelumas. Kuangkat alis sambil menatapnya. “Sudah siap rupanya,” kataku sambil menggelitik dagunya. “Kau kan tak pernah tahu,” ujarnya sambil tersenyum. Dia menuangkan cairan bening itu di jarinya. Lalu mencari-cari lubang anusku. Jemarinya mengoles cairan pelumas di situ. “Masih sakit?” tanyanya pelan. Aku menggeleng. “Tidak.” Dia memasukkan dua jarinya padaku hingga membuatku melenguh. Shep mencumbu leherku, mengisap dan menggigitnya sementara dua jarinya menerobos lubang anusku. Dia mendorongku sedikit sehingga leluasa membuka ikat pinggangnya. Dia membuka celananya dan menurunkannya hingga tengah paha. Penisnya menyembul menekan perutnya. Keras sekali. Kulupnya tertarik hingga terlihat kepala penisnya yang tegang. Kuraih penis Shep dan memegangnya supaya berdiri sementara Shep mengoleskan pelumas di seluruh batangnya. Aku mengocok penis Shep naik turun beberapa kali dan kemudian bergerak hingga kepala penisnya tepat berada diujung lubang anusku. Kulepas penis Shep dan menaruh lenganku di bahunya. Tangan Shep mencengkeram pinggangku dan aku mulai menurunkan badanku. Aku mendesis nikmat saat kepala penis Shep menekan lubang anusku dan mulai masuk melewati cincin anusku yang sensitif. Shep memejamkan matanya. Wajahnya seolah berkonsentrasi seakan berusaha tak terburu-buru memasuki aku. Aku menghentikan gerakan beberapa saat, kemudian melanjutkan hingga batang penis Shep masuk seluruhnya. Aku menatap mata Shep saat aku mengangkat badanku dan menurunkannya kembali. Kepala penisnya menggosok prostatku hingga menghasilkan kenikmatan yang mengalir di seluruh tubuhku. Aku mulai bergerak naik turun dengan cepat. Jemari Shep mencengkeram pinggangku. Kami bergerak sementara mata kami saling menatap. Mata biru Shep menjadi gelap oleh nafsu. Tubuhku nyaris lunglai dan gemetar mencoba menahan diri dalam irama penyatuan kami. “Shep!” Shep menggeram. “Goyang pantatmu Bill…” Aku berusaha semampuku untuk tetap menatap Shep saat tubuhku bergerak naik turun. Tapi di menit terakhir, aku tak tahan lagi. Tubuhku membeku dan menjadi kaku. Kurasakan jemari Shep menghujam pinggangku saat dia menekan pinggangnya kuat-kuat sehingga penisnya masuk semakin dalam. “Shep! aku mau kel–!” aku mengerang keras saat penisku memuncratkan sperma. Cairan panas itu tumpah ke mana-mana di anatara tubuhku dan di seluruh kaus Shep. “Billy, aku mau keluar! aku keluar, SAYANG!” Shep menarikku ke bawah dengan hentakkan terakhir. Dia menggeram kencang dan kurasakan penisnya yang besar itu menembakkan amunisi peluru cair di dalam tubuhku. Tubuh Shep gemetar dan kurasakan cairan panas itu mengalir di dalam tubuhku, dan membasahi penisnya. Tubuhku lemas tak bertulang dan jatuh di atas tubuh Shep sementara kepalaku bersandar pada bahunya. Kedua lengannya mendekapku erat. Kupejamkan mata saat kurasakan bibirnya mencium dahiku. Kami duduk di posisi itu selama beberapa saat. Penisnya melunak dan akhirnya keluar dari tubuhku. Kurasakan sesuatu menggelitik di pahaku dan kucoba menahan cairan sperma Shep agar tak keluar. Aku menghela nafas dan mencium ringan lehernya. “Kau bawa semua taklukanmu ke sini?” Tanyaku sambil menggosok hidungku di dagunya yang ditumbuhi bulu. Ya Tuhan, aku suka sekali dengan rambut-rambut halus di wajahnya. “Ah tidak juga,” katanya. “Tapi pernah ada satu orang…” Dia melirikku sekilas dan aku tahu dia sedang membicarakan Wendy, kakakku. “Bagus,” gumamku. “Sebelum kita menikah. Dia terlalu kaku sekarang untuk melakukan hal seperti ini. Bukan berarti dia tidak memberi jatah. Sudah delapan bulan aku belum bercin–” “Baiklah,” potongku. Aku merasa tak nyaman sekarang. Aku tak ingin membicarakan Wendy. Aku ingin berpura-pura bahwa Shep hanyalah milikku. Aku mendesah dan duduk di sebelahnya. “Bukan berarti kepingin,” dia berkata sambil mengangkat bahu. Wajahnya terlihat seperti sedang berpikir keras, lalu berpaling padaku dengan ekspresi serius di wajahnya. “Menurutmu aku bisa mengajak adikmu Wilson ke sini lain kali?” Mulutku ternganga ngeri saat melihat Shep berkata dengan serius. Sudut bibirnya menekuk dan tak bisa menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak. “Dasar brengsek,” aku tertawa sambil mendorong dadanya. “Kurasa cukup buatku mendapatkan dua dari tiga anak keluarga Harper,” ujarnya sambil tertawa. Aku menampar tangannya. “Sialan! Enggak banget, tahu!” Shep lalu menciumku dengan lidahnya dan aku berusaha menjepitnya dengan gigiku. Saat tawa kami terhenti, aku bersandar dan menciumnya dengan lembut dan perlahan bersamaan dengan munculnya pikiranku di kepala: Aku mencintaimu, Sheppard Bannister. * * * Ketika kami tiba di rumah, kami bergantian menyegarkan diri di kamar mandi, lalu aku pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Shep muncul dengan mengenakan singlet dan celana boxer. Dia mengambil sebotol bir dari kulkas dan duduk di salah satu kursi di meja makan. “Masak apa?” tanyanya, lalu dia meneguk birnya banyak-banyak. “Aku masak steak daging dan tortilla… kau suka?” “Benarkah? kedengarannya lezat. Kau punya keripik dan sambal juga kan?” “Yup.” Aku beranjak ke tempat bumbu dan menuangkan minyak zaitun pada daging dan membumbuinya, lalu kumasukkan kembali ke dalam kulkas. “Kita harus membiarkannya di kulkas sejam supaya bumbunya meresap,” ujarku sambil mencuci tangan. Shep bangkit dari tempat duduk dan mengikutiku sampai ke ruang tamu. Aku menghempaskan diri ke sofa. Shep menghabiskan birnya sampai tetes terakhir, dan meletakkan botol kosong itu di meja. Aku mengawasi Shep menggaruk penisnya. Batangnya tampak menegang di balik celana boxer. Aku menatapnya dan dia balik menatapku. Shep menjilat bibirnya. “Sejam, katamu?” tanyanya. Aku mengangguk dan berkata nyaris mencicit, “Yeah.” Shep berdiri dan berjalan mendekat padaku hingga dia berdiri di antara dua lututku. Aku menatapnya lewat poni rambut yang menutup mataku. “Kau manis sekali,” bisiknya sambil meraih daguku di tangannya. Dia mengusap bagian bawah bibirku dengan ibu jarinya. Shep mengerang. Suaranya terdengar berat dalam nafasnya saat dia bertanya, “Kau tahu apa yang kuinginkan, Billy? kau menginginkannya juga, kan?” Kukeluarkan nafas berat dan meletakkan tanganku pada paha Shep. Ku naikkan tanganku hingga selangkangannya. Tak sabar, ku rengkuh celana boxer Shep dan meloloskannya hingga mata kaki. Shep menendang celananya jauh-jauh dan melebarkan kakinya. Tangan kirinya dia letakkan di pinggang, sedangkan tangan satunya digunakan untuk memegang belakang kepalaku. Kugenggam penis Shep yang sudah setengah keras itu dan mulai mengocoknya perlahan, maju mundur dari pangkal hingga ujungnya. Aku mencondongkan badanku dan menyecapkan lidahku pada kepala penisnya yang basah, dan menekan lidahku pada bagian sensitifnya. Kucium dan kujilati seluruh batangnya hingga lama kelamaan penis Shep semakin menegang membidik langit-langit. Aku mendesah pelan dan beringsut hingga berlutut saat Shep menambah tekanan di belakang leherku. Penisnya meluncur masuk di antara bibirku hingga kepalanya menyentuh pangkal tenggorokanku. Kugenggam dengan telapak tanganku dan kuhisap kuat-kuat saat kutarik penisnya keluar. “Ya tuhan, enak sekali,” erangnya. “Hisap, sayang. Suck my cock…” Aku mendesah dan bergumam di sekeliling batang penisnya. Kukulum dan kukocok penis Shep hingga air liurku menetes cukup banyak dan mengalir lewat daguku hingga kantung zakarnya yang berbulu. Kutarik dan kubersihkan liur yang menetes di situ, saat kukocok dengan tanganku. Shep menarik kaus singletnya dan mencampakkannya ke lantai. Dia mengerang dan mengencangkan genggamannya pada belakang kepalaku. Kuhisap salah satu zakarnya seperti sedang menikmati permen dengan lidahku. Kulakukan hal yang sama pada buah zakarnnya yang lain. Kusapukan lidahku naik turun pada urat yang menonjol di bagian bawah batangnya. Lalu kumasukkan lagi seluruhnya hingga hidungku terbenam pada bulu kemaluannya. “Oh, FVCK!” Shep meringis. Kucengkeram pahanya kuat-kuat dan mulai mengulum batang penis Shep dari pangkal hingga ujungnya berulang-ulang. Mendengar reaksi erangan nikmat Shep, aku harus berterima kasih pada si brengsek Payne yang telah mengajariku teknik oral secara benar. Shep mulai gemetar. Lututnya melemas dan nafasnya semakin memburu. Kukeluarkan batang penis Shep yang telah basah itu dan meniupnya. “Fvck, jangan berhenti,” erangnya, terdengar seperti rengekan. Kubungkus ujung kepalanya dengan lidahku dan kembali menyusuri urat-uratnya yang menonjol. “Billy, kumohon… aku harus keluar. Please, baby…” “Aku suka k*ntolmu, Shep,” Aku mendesah saat mencumbu penis Shep dengan lidah dan bibirku hingga pangkalnya. “Besar sekali. Sempurna.” “Itu punyamu, sayang. Kapan saja kau mau. Buatlah aku keluar…” Kuraih kembali batangnya dan kuarahkan ke mulutku. Kukulum lebih cepat naik dan turun, seperti sedang meniup suling. Kuputar dengan lidahku sambil terus kuhisap. Pinggul Shep memompa penisnya maju mundur di mulutku. “Oh, fvck, ini dia… aku mau keluar. Jangan berhenti, sayang! oh fvck, jangan berhenti!” Shep mengerang panjang dan tangannya mencengkeram kepalaku kuat-kuat. Dia memompa penisnya ke dalam mulutku dan dapat kurasakan batangnya berdenyut-denyut di lidahku. Penis itu melontarkan banyak cairan hangat di dalam mulutku. Ku mendesah saat semprotan kedua menembak langit-langit mulutku. Kutelan lagi dan lagi semampuku saat Shep mengosongkan isi buah zakarnya ke dalam mulutku. Shep mendesis dan mundur beberapa langkah ketika batangnya menjadi terasa sangat sensitif. Kuhempaskan tubuhku di atas sofa dan membuka celana pendekku sendiri. Kugenggam penisku dan mulai mengocoknya sambil menatap nanar tubuh jantan Shep. Shep berlutut di antara kedua kakiku. Dia menepis tanganku dan menggenggam penisku. “Shep, kumohon,” desahku saat kugoyangkan pinggulku ke arahnya. Shep mengocok penisku dalam irama yang stabil, tak terlalu cepat dan tak terlalu pelan pula. Kudorong diriku mendekat padanya supaya aku dapat menyentuhnya. Kuraba bahu dan lengannya dengan tanganku. Aku bisa merasakan otot bisepnya yang mengeras dengan jariku. Dia memukul-mukulkan kepala penisku di tengah dadanya, dan menggosok-gosoknya pada bulu dadanya. Itu sudah. Aku tak dapat menahannya lagi walau aku ingin. “OH, TUHAN!” aku meringis dan mulai menyemprotkan cairan spermaku ke tubuhnya. Aku terhempas kembali di atas sofa dan menatap Shep, yang juga menatapku lebar-lebar. Di dadanya penuh cairan spermaku, begitu pula di bawah dagunya, dan juga bahunya. Cairan kental putih itu terperangkap pada bulu dadanya dan membuatnya terlihat sangat seksi. “Ya ampun, Billy. Aku harus mandi,” ujarnya kemudian tertawa. Kugunakan jari telunjukku untuk mencolek cairan kental yang terperangkap di dadany. Shep meraih pergelangan tanganku dan mengarahkannya pada mulutku. Masih menatapnya, kujilati jariku hingga bersih. Kuambil cairan kental di bahunya dan mengarahkan jariku ke bibirnya. Lidahnya dikeluarkan dan dijilatnya jariku. Aku tertawa saat Shep mengangkatku dari sofa. Dia menggiringku ke kamar mandi. Aku nyengir saat menyadari kalau Shep ingin mandi bersamaku. Kami berdua mandi cukup lama. Saat mandi, kami seringkali berciuman ringan dan saling menyentuh saat membersihkan satu sama lain. Setelah mengeringkan diri, kami berlari menuju tempat tidur dan melompat ke ranjang. Kami berdua berbaring berhadapan. Shep menciumku lembut saat tangannya meraba seluruh tubuhku. Salah satu tangannya meraih pantatku. “Pantatmu luar biasa,” bisiknya sambil menciumi leherku dengan lembut sementara telapak tangannya meremas-remas pantatku. “Kau bisa memilikinya kapanpun kau mau,” aku balas berbisik. “Kau membuat penawaran seperti itu dan aku akan memintanya tiap saat,” geramnya sambil mencumbu leherku. Janggutnya menggores kulitku. Pasti akan ada ruam di situ, tapi aku tak peduli. “Itu milikmu Shep. Aku milikmu. Kapanpun kau mau.” Wajahku memanas saat membuat pengakuai itu. Kucurahkan semua perasaanku padanya. Shep menarik tubuhnya dan menatapku. Matanya sungguh indah. Aku tak mampu berpaling. “Kau sungguh menginginkanku seperti ini, Billy?” “Iya.” aku berkata pelan. “Apa kau… menginginkanku?” “Iya,” sahutnya pelan sambil meraba daguku. “Untuk saat ini.” “Aku juga… sudah lama. Aku tak menyangka… tak pernah membayangkan kalau kau… kalau kita bisa bersama.” “Aku pandai berpura-pura,” akunya pelan. “Pintar berbohong. Tapi aku tak bisa lagi melakukannya.” * * * Beberapa bulan kemudian sungguh luar biasa. Shep dan aku hidup bahagia bersama. Dia tak lagi tidur di kamar tamu. Barang-barangnya sudah berpindah ke kamarku. Ranjangku cukup besar untuk kami berdua. Dia masih nongkrong bareng teman-teman kerjanya di hari Jumat. Aku mengusulkan untuk bertemu mereka sekali, tapi Shep agak khawatir, jadi aku tak memaksanya. Di hari-hari lainnya, Shep milikku seorang. Aku tahu Shep akan mengakui jati dirinya jika ia telah siap. Nafsu seksual Shep berada pada level tertinggi. Kami bercinta hampir tiap malam tanpa gagal. Di pagi harinya sebelum dia berangkat kerja, aku memberinya servis oral. Dia bilang suka sekali oral seks di pagi hari. Pertama kalinya Shep balas melakukan seks oral padaku, aku pikir aku telah mati dan berada di surga. Aku hanya mampu bertahan satu menit dan dia menghentikannya sebelum aku keluar di mulutnya, tapi itu tetaplah servis oral paling nikmat yang pernah kurasakan. Belum pernah aku sebahagia dan senyaman ini dengan hidupku. Hal buruk apa yang akan terjadi? * * * “Baunya enak,” kata Shep saat dia berjalan di belakangku dan melongok lewat bahuku. “Trims,” balasku sambil mengaduk saus di wajan. Aku mengambil dua bongkah roti dan mengeluarkan isinya untuk kugunakan sebagai mangkuk. Setelah Shep membersihkan lengannya di wastafel dengan sabun khusus beraroma jeruk miliknya, dia mengeringkan tangannya dengan handuk. Kemudian dia mengambil roti dan memakannya. Shep mengambil bir dari kulkas dan kemudian mengempaskan pantatnya di salah satu kursi di meja makan. Karena dia baru saja pulang kerja, dia masih memakai kemeja kerja dan celana bengkelnya. Aku bisa merasakan sesuatu yang salah. Biasanya dia memberiku ciuman saat tiba di rumah dan bercerita padaku kesehariannya di tempat kerja. Dia hanya duduk di kursi, menatap kosong, sambil meminum birnya. Kuambil keju, irisan bawang, saus masam dan cabai rawit dari kulkas dan mengaturnya di meja makan. Aku bersandar di meja dan melihatnya sedang melamun. “Kau tak apa-apa?” “Hah?” mata Shep terfokus padaku dan dia menggelengkan kepalanya. “Oh. Ya, aku baik-baik saja. Oh. Aku dapat telepon dari pengacaraku. Surat-surat akan ditandatangani besok. Perceraian kami sudah hampir final.” “Oh. Itu bagus, kan?” “Yeah.” Dia menghabiskan minumannya dan bangkit. “Aku mandi dulu.” Malam itu saat kami hendak tidur, Shep masih pendiam dan murung. Aku berusaha tak menekannya. Aku ingin bicara padanya, tapi tak tahu harus berkata apa. Kami beringsut ke ranjang dan aku memeluknya. Shep menciumku sekilas di bibir. “Kau mau membicarakan masalahmu?” tanyaku. Shep menghela nafas panjang. “Aku… aku merasa seperti pecundang.” “Kau bukan pecundang, Shep.” “Pernikahanku gagal. Orangtuaku sangat marah. Aku tak bisa membahagiakan ayahku. Ini hanya memberi mereka alasan untuk merongrongku. Aku muak.” Shep berbalik dan menatap langit-langit. “Lalu ada kita,” ujarnya setelah beberapa saat. “Bagaimana caranya memberitahu mereka kalau aku… berpacaran dengan pria?” “Aku tahu pasti berat untukmu memberitahukan mereka kalau kau, uh, biseksual, tapi–” “Aku GAY, Billy. Bukan biseks.” “Oh.” “Lalu bagaimana dengan keluargamu? hah? apa yang akan mereka katakan saat mengetahui kalau aku adalah pacarmu?” “Aku tak tahu. Aku takut setengah mati membayangkannya. Aku tak tahu ayah akan berbuat apa. Dan juga Wendy.” Shep terisak. “Yah, betul. Apakah.. apakah semua ini setimpal, Billy? rasa sakit dan terluka? bukan cuma kita. Tapi kedua keluarga kita.” “Iya,” bisikku. “Kau berharga, Shep. Kita berdua. Bukankah begitu?” “Aku tak tahu.” Mataku basah oleh air mata. Aku bergulir agar Shep bisa melihat wajahku. “Semua ini setimpal, Shep. Selama kita saling memiliki, semuanya akan baik-baik saja.” Aku mencintaimu, Shep. Shep memejamkan matanya. Saat dia membukanya, matanya basah oleh air mata yang nyaris tumpah. Dia tak membalas pernyataanku, tapi saat aku menatapnya, aku tahu dia juga mencintaiku, bahkan bila dia belum bisa mengatakannya. Shep mendorongku hingga telentang. Dia menindihku dan menciumku penuh gairah. Aku meraih botol pelumas dan menuangkannya di tanganku lalu menggosokkannya di belahan pantatku. Kuraih penis Shep dan kulumuri dengan cairan bening pelumas diseluruh batangnya. AKu mengangkat lututku dan kuarahkan penisnya ke lubang anusku. Saat penisnya berada di ujung lubang, Shep mendorongnya masuk hingga zakarnya menghempas pantatku. Kuangkat kakiku tingg-tinggi dan mengaitkannya di pinggang Shep. “Bercintalah denganku, Shep,” bisikku. Shep menunduk lalu menciumku. “Aku membutuhkanmu, Billy.” Kami bercinta dengan perlahan. Pinggulnya bergoyang dan berputar, mengkombinasikan gerakan panjang dan dalam dengan hentakan-hentakan pendek. Kami berciuman sangat dalam. Shep mengisap kuat leherku, meninggalkan bilur gelap yang tak akan bisa kusembunyikan. Shep menggendong kepalaku di lengannya, sambil bertumpu pada sikunya. Dia menatap mataku. Perasaan yang tercermin di matanya membuatku berlinang air mata. Aku merasa rapuh. Aku tahu dari caranya menatapku diapun tahu. Dia tahu kalau aku mencintainya. Kalimat itu sudah berada di ujung lidahku. Ingin kuteriakkan kalimat itu. Saat Shep membimbingku perlahan hingga menuju puncak kenikmatan, aku hampir mengatakannya. Tapi saat kubuka mulut, yang keluar hanyalah teriakan tertahan. Kulengkungkan tubuhku ke arahnya sambil kuhempaskan kepalaku ke belakang. Shep menggigit leherku saat dia berteriak kencang. Kurasakan dia keluar di dalam tubuhku. Walau baru saja keluar cukup banyak, penis Shep masih teras keras di dalam tubuhku. Perlahan dia maju mundurkan penisnya hingga aku tahu dia pasti akan keluar lagi. Kudorong tubuh Shep hingga telentang sementara aku memanjat tubuhnya dan mengambil alih permainan. Kunaikturunkan tubuhku, hingga suara tubuh kami yang memukul-mukul seolah menggema ke seluruh ruangan. Kutunggangi Shep sampai dia keluar kedua kalinya di dalam tubuhku. Shep meneriakkan namaku saat mengosongkan amunisi peluru cairnya di dalam perutku. Aku terjatuh lemas di atas dadanya. Lengannya mengusap-usap punggungku. Saat kusandarkan pipiku di dadanya yang berbulu, aku sadar pinggangku memar bekas genggaman jemarinya. Aku kemudian bergulir ke sisinya. Kami berbaring tanpa berkata sepatah katapun. Aku tak tahu berapa lama kami berbaring seperti itu, tapi akhirnya kami berdua tertidur. Aku merasa letih saat bangun keesokan paginya. Aku bangkit dari ranjang dan kurasakan sakit sedikit di pantatku, mengingatkanku pada penis besar Shep. Sengsara membawa nikmat. Setelah aku ke kamar mandi, aku mengintip kamar tamu, dapur, lalu ruang tamu. Shep sudah menghilang dan membuatku merasa heran. Dia bukanlah orang yang bisa bangun pagi dan biasanya aku harus menyeretnya bangun dari ranjang dengan bantuan kopi. Aku pun terkejut dia bisa bangun dari tempat tidur dan bersiap kerja tanpa kedengaran olehku. Pasti aku benar-benar terlelap. Mungkin Shep terlalu khawatir karena harus bertemu pengacaranya siang ini. Aku menyibukkan diri saat kerja. Aku berusaha menahan kantuk semampuku, khawatir tertidur di atas meja. Segera setelah aku masuk ke apartemen, aku merasa ada yang hilang. Kulihat sekeliling. Tak ada barang yang berpindah ataupun hilang. Aku melangkah ke kamar dan segera kulihat selembar kertas kuning di atas meja. Kutarik nafas dalam-dalam dan memungutnya. Aku berkonsentrasi membaca kata-kata tulisan tangan Shep yang seperti ceker ayam itu. Billy, Maaf, aku tak bisa meneruskan lagi. Tolong jangan membenciku. Shep Aku terisak dan nafasku tercekat sambil kuremas catatan itu. Pandanganku buram karena marah dan air mata karena perasaanku yang terluka membasahi wajahku. Kuhempaskan tubuhku ke atas ranjang dan menggulung di atasnya hingga sepanjang malam. * * * Aku memarkirkan kendaraanku di pelataran toko Midtown Auto jam 9 pagi.Kuawasi truk merah Shep di belakang terparkir bersama mobil-mobil pegawai lainnya, jadi aku yakin dia ada di sini. Aku menyipitkan mataku melihat truk merah itu. Aku membayangkan membakar truk itu hingga tersenyum sendiri. Aku membanting pintu mobil dan memburu langkahku menuju gedung. Aku mendekati lobi pelanggan, dan pria tinggi besar dengan kumis tapal kuda menyapaku dengan senyum ramah. “Hai. Ada yang bisa kami bantu?” “Aku ingin bicara dengan Shep Bannister, tolong.” kataku, berusaha terdengar santai sambil kuputar dan kuremas kertas kuning yang ada di tanganku. Aku melihat melalui jendela lebar yang memantulkan lantai toko. Pria itu berpaling dan berkata pada seorang pria besar di belakangnya. “Dirk? tolong panggil Shep.” “Baik, Mac.” Raksasa berjanggut yang bernama Dirk itu keluar dari kounter toko. Mac berpaling padaku dan memberiku senyuman yang aku yakin dimaksudkan untuk menenangkanku. “Bisa kuambilkan kopi atau minuman?” “Tidak usah,” aku mendengus saat berusaha melirik ke jendela besar di belakangngya. Mac mendorong sebuah kursi untukku dan dia salah satu tangannya memegang lenganku. Aku menepis tangannya dan mundur sambil menatapnya seolah berkata, Jangan sentuh aku. Suara yang kukenal berasal dari pintu belakang bertanya, “Kau memanggilku, bos?” Aku melihat Shep berjalan menuju lobi bersama Dirk. Dia mengusap lengannya yang kotor dengan lap. Saat dia menatapku, Wajahnya memucat dan matanya membelalak. Aku berjalan ke arahnya dan menjejalkan kertas yang ku bawa ke dadanya. “Surat?!” teriakku. “Billy, tenang–” “Jangan suruh aku untuk tenang! Kau meninggalkanku… dengan sebuah surat? Cuma segitukah aku di matamu?” Shep mengalihkan pandangannya pada Mac, yang berusaha menarik Dirk keluar ruangan. “Maaf,” kataku sinis. “Aku lupa. Kau tak ingin orang lain tahu–” “Billy!” Shep berkata nyaring. “Sudah cukup.” “Dasar pengecut! aku benci kau!” Aku tak tahan lagi. Air mata mulai membasahi pipiku. Aku mendorong Shep saat menghambur keluar dan berlari menuju mobilku. Kunyalakan mesinnya dan pulang ke rumah. Aku habiskan sepanjang malam itu dengan menangis sampai air mataku kering. * * * Putus dengan Shep rasanya lebih sakit daripada saat putus dengan Dave dan Payne jika digabung. Tapi aku pernah berhasil melaluinya, dan aku juga pasti akan melalui hal ini. Aku mencoba melupakannya dua minggu ke depannya, sedikit demi sedikit aku merasa lebih baik. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah pergi ke acara Thanksgiving di rumah orangtuaku. Tak banyak yang bisa kusyukuri. Kucoba menelepon Mom dan bilang padanya kalau aku sedang sakit, tapi Mom tak terima alasanku. Saat aku melangkah lewat pintu depan, aku langsung merasakan tekanan. Orang pertama yang kulihat adalah Dad. Wajahnya merah dan menatapku dengan kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mom berdiri di sebelahnya terisak sambil memegang tisu. Adikku WIlson berdiri di dekat mereka, matanya dia edarkan ke seluruh ruangan tanpa mau melihatku. Jantungku terlompat saat aku melihatnya. Shep. Berdiri di sebelah Wendy. Shep menatapku dan kulihat mata birunya berkaca-kaca. Tak pernah terpikir olehku Shep akan kembali ke pelukan Wendy. Lututku melemah dan aku berusaha tak terpancing emosi. Hal terakhir yang kukatakan padanya adalah “Aku benci kau” tapi itu bohong. Aku tak membencinya. Aku mencintainya. Dada Wendy naik turun dan dia mendengus. Dia menghampiriku, mengangkat tangannya dan menampar wajahku keras-keras. Tamparannya cukup keras untuk membuatku terdorong ke dinding. Aku mengusap wajahku berusaha menghilangkan perih karena tamparan itu. Aku melihat mereka semua dalam keterkejutan. Wendy menusuk dadaku. “Kau. Menjijikkan!” Aku menatap Mom dan Dad. “Keluar dari rumahku,” kata Dad. “Sekarang.” Aku melangkah mundur keluar rumah. Hal terakhir yang kulihat sebelum berpaling dan lari keluar adalah Shep. Seharusnya aku lebam bersamanya. Tapi pandangannya yang penuh penderitaan dan air mata yang mengalir di wajahnya, dia berhasil menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping. * * *

No comments:

Post a Comment