My Blog List

Thursday 23 January 2014

Bercinta dengan Kakak Ipar (Bagian 5 – Tamat)

AKU hanya mampu memacu mobilku hingga sekitar satu mil saja sebelum akhirnya harus menepi. Aku sangat gemetaran sampai-sampai tak mampu menyetir. Kuparkir mobilku dan terhenyak, menyandarkan dahiku pada stir mobil. Aku terlonjak saat ponselku berdering. Kuangkat dan terlihat nama Wilson di layarnya. Suaraku gemetar saat menjawab telepon itu. “Halo?” “Hey, Billy, Ini aku. Kau baik-baik saja?” “Um… Yeah, aku tak apa-apa,” kataku berbohong. Hening cukup lama, lalu Wilson bertanya, “Apa itu benar?” “Apanya yang benar?” “Kau telah menggoda Shep?” “Aku… bukan seperti itu, Wilson.” “Semua orang di rumah ketakutan… Mom, Dad, Wendy… dia bilang…” Kudengar Wilson mengisap rokok dan mengembuskannya. Lalu dia melanjutkan, “Dengar. Kau di mana? kita harus bicara.” “Aku… um… di Jalan Grove 5. Parikiran Kroger.” “Oke. Aku sampai di sana sepuluh menit lagi.” Beberapa menit kemudian, Wilson masuk ke dalam mobilku dan duduk di kursi penumpang. Dia menatapku sesaat, lalu memberikan aku pelukan. Aku bisa mencium bau rokok dari tubuhnya. Dia duduk lagi di bangkunya dan mendorong gagang kacamatanya, lalu menarik nafas dalam-dalam. “Kubilang pada mereka, aku butuh udara segar,” katanya. “Hanya bawa sebungkus rokok. Sebaiknya aku cepat kembali.” Aku mengangguk dan menghela nafas. “Aku tak mengerti mengapa Shep bilang begitu pada mereka.” “Shep tidak bilang begitu, agaknya Wendy sudah tahu. Dia benar-benar seperti jalang, berteriak padanya. Demi Tuhan! Shep coba mempertahankan pernikahan mereka dan Wendy malah bertingkah seperti wanita jalang. Kau tahu kan? kayak biasanya. Wendy menyebutnya si brengsek impoten, dan itu seperti menyiram bensin ke api. Wendy menuduh Shep berselingkuh dan Shep bilang dia tak pernah selingkuh selama bersamanya. Lalu dia menuduh Shep tidur denganmu. Kak, tampangnya waktu itu kayak mau muntah, tapi dia tak menyangkal. Dari situ… kami tahu kalau semua itu benar. “Aku tidak menggodanya, Wilson. Sumpah. Aku cinta– maksudku, Aku mencintainya. Dia meninggalkanku. Aku tidak tahu kalau dia kembali pada Wendy.” “Dad mengusir Shep keluar. Sesaat setelah kau pergi. Dan setelah Wendy meninjunya.” “Tuhanku,” sahutku sambil menghela nafas. “Yeah. Tapi aku harus berterima kasih.” “Untuk apa?” “Aku sebenarnya mau bilang sesuatu pada Mom dan Dad. Tadinya mau kubilang hari ini. Tapi kau dan Shep telah… yah, mengacaukannya.” “Trims,” sahutku bingung. “Jadi mau cerita apa? Tolong jangan bilang kalau kau gay.” “Oh, bukan,” katanya sambil tertawa. “Bukan gay. Ada cewek yang kupacari… yah, dia… hamil.” “Oh, wow. Yeah. Aku mengerti kenapa kau tak mau bilang Mom dan Dad.” “Aku akan selipkan berita itu saat Ayah dan Wendy sedang nyerocos soal kau. Tahu kan, misalnya kayak… ‘Semua homo harusnya dibakar di neraka’…. ‘Hey, pacarku hamil’… ‘homo sial itu merusak pernikahanku’. Wilson meniru suara Dad dan Wendy dan aku tak kuasa menahan tawa pada selera humornya yang gila. “Dan setelah Dad memakai senjatanya untuk membunuh Shep, dia bisa gunakan itu saat pernikahanmu.” Kami berdua terbahak dan Wilson menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sambil menghela nafas. “Tuhanku. Aku belum siap punya anak. Mom pasti ingin kami menikah. Tak boleh ada anak haram di keluarga Harper.” “Yeah. Tapi kau harus lakukan yang terbaik menurutmu. Jangan berusaha menyenangkan mereka, karena Tuhan tahu, kau tak akan pernah bisa.” “Yeah, aku tahu. Dan kau juga, Billy. Dia membutuhkanmu.” “Siapa?” “Yaelah! ya si Shep! Aku melihat wajahnya saat kau pergi. Dia merasa bersalah telah menyakitimu. Aku pikir dia mencintaimu. Dia tak pernah melihat Wendy seperti caranya melihatmu.” “Aku tak tahu… dia mencampakkanku… hanya dengan sebuah surat.” “Aduh. Yah, kau harus bicara padanya. Beri dia kesempatan kedua. Dan jika dia mengacau lagi, akan kuambil senjata Dad dan menembaknya demi kau.” Aku tertawa. “Trims, Wils.” “Sama-sama, Kak. Sebaiknya aku pulang. Doakan aku ya?” “Semoga berhasil, Dik. Terima kasih.” Wilson dan aku berpelukan erat. “Aku sayang kau, Billy,” bisiknya. “Tak peduli apapun.” “Aku juga sayang kau. Telepon aku kalau butuh sesuatu.” Aku melepaskan pelukan dan mengacak rambutnya. “Hey! hentikan,” gerutunya sambil menepis tanganku, tapi kemudian Wilson mengangguk dan tersenyum, lalu keluar dari mobil. * * * Kuhabiskan akhir pekan hanya di atas ranjang, menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan. Aku terlalu menganalisa hal ini setengah mati, tapi aku tahu apa yang harus kulakukan walau sudah ngobrol dengan Wilson. Percakapan apapun atau daftar yang kubuat di kepalaku tak akan membawa perbedaan apapun. Ada banyak yang tidak setuju, tapi pada akhirnya hanya satu yang paling penting: Shep. Senin Sore, aku pulang kantor lebih cepat dan pergi menuju parkiran Midtown Auto. Kuambil nafas panjang dan masuk ke dalam. Mac, Bosnya Shep rupanya sedang mengobrol pelan dengan seorang pria yang lebih kecil dekat pintu toko. Mac menyipitkan matanya padaku dan aku malu-malu tersenyum padanya. “Hi. Bolehkah aku bicara dengan Shep?” “Dengar, aku tak butuh kau main drama di tokoku. Kalau kau mau bicara dengan Shep, lakukan itu di luar kerja. Dia selesai 15 menit lagi.” “Maafkan aku… aku hanya…” Suaraku tercekat dan tak berani menatapnya. Aku membuka mulut, namun tak ada satu kata pun yang keluar. Teman Mac meraih tangannya sambil bersandar dan berkata pelan, “Beri dia kesempatan, Andy.” Mac menghela nafas dan keluar dari kounter. Kuberikan senyuman pada pria satunya dan berkata, “Trims.” “Sama-sama. Aku Mike.” “Billy.” Aku melihat Shep mengikuti Mac kembali ke lobi. Shep tampak berantakan. Matanya berkantung. Pakaiannya kusut. Sepertinya dia belum bercukur selama seminggu dan terlihat kusam. “Ayolah,” ujar Mike pada Mac. “Beri mereka privasi.” Dia meraih tangan Mac dan menyeretnya keluar dari kounter. Mereka masuk ke dalam kantor dan menutup pintunya. Shep memasukkan tangannya ke dalam kantung celana dan mengambil nafas dalam-dalam, kemudian berkata, “Hai, Billy.” “Hi, Shep. Apa kabar?” “Baik.” “Benarkah?” Dia mengangkat bahu dan memalingkan wajah. “Kau tinggal di mana?” tanyaku. “Di penginapan di kota.” “Pulanglah, Shep.” Shep menatapku. Matanya mulai berkaca-kaca dan rahangnya bergetar. Aku mengulurkan tanganku padanya. “Bisakah kita mencobanya lagi? Pulanglah, Shep.” Shep seperti mau ambruk dan bahunya bergetar. Aku menghambur dan memeluknya. Dia berpegangan padaku dan memelukku erat-erat. Setelah beberapa saat, emosinya mulai terkontrol. Dia terisak dan kurasakan wajahnya dibenamkan pada bahuku. “Aku tahu kau bukan cuma melap ingusmu di bajuku.” Bahu Shep bergoyang lagi, tapi kali ini karena dia tertawa. Aku memeluknya lebih erat dan mengecup pipinya. Shep terisak keras, kemudian melepas pelukannya hingga aku bisa melihat mata birunya yang cerah menatapku. Dia memegang wajahku dengan dua tangannya. “I love you, Billy.” “I love you, too, Shep.” Jemarinya semakin erat terasa di wajahku. Kemudian dia menunduk lalu menciumku. Lidahnya dia masukkan ke dalam mulutku dan menciumku penuh perasaan. Janggutnya yang kasar menggores kulitku hingga membuatku sedikit terangsang. Kuusap wajahnya dengan jemariku. Kukeluarkan desah pelan dan Shep menggumam lalu menciumku lebih dalam. Suara tepuk tangan dan sorak-sorai menyadarkan kami dan kami berpaling melihat semua orang di bengkel menonton kami melalui jendela kaca. Aku mengusap bibirku dan menyembunyikan wajahku pada dada Shep karena malu. Shep melambaikan tangan pada mereka sambil tertawa, lalu berpaling padaku. “Ayo kita pulang, sayang.” -TAMAT-

No comments:

Post a Comment