My Blog List

Wednesday 22 January 2014

Merantau – Bagian 8

RUSLAN terkesiap saat mendapati tubuhnya seperti tak bisa bergerak. Dia menoleh ke kanan dan kiri tubuhnya. Kedua tangannya terikat ke pinggiran ranjang. Ruslan berusaha menarik tangannya yang terikat kain itu agar terlepas, namun sia-sia. Dia melihat ke bawah. Tubuhnya yang berbaring terlentang di ranjang hanya mengenakan celana boxer saja. Apa-apaan ini? pikirnya kalut. Kamar siapa ini? Ruslan tak mengenali kamar itu karena tampak berbeda dengan kamar tidurnya. Ruslan meringis saat berusaha hendak bangun namun tak berdaya karena ikatan itu. Usahanya melepaskan diri terhenti saat seseorang membuka pintu kamar itu. Matanya langsung menoleh ke arah pintu. Ternyata Nando yang masuk. Dia memakai pakaian yang sama saat Ruslan melihatnya di kamar bersama satpam itu. Ruslan melihat Nando tersenyum. Senyum yang seperti menertawakan dirinya yang tak berdaya sekaligus senang. “Nando? Lo mau apa?” tanya Ruslan khawatir saat Nando naik ke atas ranjang. Nando tak menjawab. Dia tetap tersenyum sambil menatap puas Ruslan. Ruslan berusaha mengelak saat Nando perlahan menurunkan celana boxernya. Kakinya berusaha dia hentakkan namun sia-sia. “Udahlah Rus, santai aja… biar gue urus punya lo yang lagi tegang ini,” kata Nando. Ruslan tak menyangka bahwa dalam situasi seperti ini penisnya malah tegang dan mengeras. Apa-apaan ini? pikirnya heran. “Nando! jangan Nan! lepasin!” protes Ruslan saat Nando menggenggam penisnya dan mulai mengusapnya. Nando tak menggubris protes RUslan. Dia malah semakin bersemangat “menyiksa” Ruslan dan penisnya. “Arrrrrrggghhh….” erang Ruslan mencoba melawan saat Nando mencoba mengulum penisnya. Seluruh tubuh Ruslan menegang mencoba menolak setiap usaha Nando mengintimidasinya. Kedua tangannya mengepal keras hingga ikatan kain yang melilit pergelangannya membuatnya sakit. Ruslan merengek dan meringis memohon Nando untuk berhenti. Kakinya sampai merasa sakit karena dia membuatnya tegang. Tapi anehnya, otaknya seperti bertolak belakang dengan keinginannya menolak perlakuan Nando. Ruslan merasakan sensasi aneh pada penisnya. Dia merasakan enak seperti saat dirinya melakukan ritual masturbasi. Bahkan lebih nikmat. Penisnya terus memberikan reaksi yang berlawanan dengan keinginannya menolak setiap servis yang diberikan Nando. Ruslan hanya bisa pasrah melihat penisnya yang basah dan terasa hangat keluar masuk mulut Nando sementara pemuda tampan itu bersemangat sekali sama seperti yang dilihat Ruslan saat Nando melakukannya pada satpam rumahnya. “Hmmmmmfff…” Ruslan mengejang dan memalingkan wajahnya. Dia tahu kalau sesaat lagi dia akan mencapai klimaks dan mengeluarkan cairan spermanya. Ingin rasanya berteriak pada Nando agar menyingkir dari penisnya yang sesaat lagi akan “meletus” itu. Tapi Nando masih terus bersemangat mengulum penis Ruslan hingga akhirnya Ruslan tak tahan lagi. Kedua kakinya meregang dan bergetar saat dirinya ejakulasi. “Nggg…” erangnya. Dia merasakan cairan spermanya memancar berkali-kali, meleleh hangat pada penisnya. Sampai akhirnya Ruslan terbangun dari tidurnya, berkeringat dan terbatuk-batuk karena kehabisan nafas. Tapi bukan mimpinya yang membuat Ruslan terkejut. Dia reflek melompat dari atas ranjang sambil menarik selimutnya hingga dirinya nyaris terjatuh saat menyadari ada seseorang yang duduk di pinggir ranjangnya. Nafas Ruslan memburu. Dia menutupi tubuhnya dengan selimut seolah itu bisa menjadi perisai baginya untuk melawan penjahat. Dia berdiri di sisi ranjangnya yang lain sambil berusaha melihat dengan jelas siapa yang ada di kamarnya yang gelap. “O..Om Alfin?” tanya Ruslan. Suaranya meninggi nyaris seperti mencicit. “Iya, Rus.. ini Oom..” Kata Oom Alfin tenang sambil bangkit dari duduknya. “Oom lagi ngapain di kamar ini?” tanya Ruslan. Mendadak dia muak dengan seluruh penghuni rumah ini. Tadinya Ruslan hendak melempar selimut yang dia pegang, namun hal itu urung dia lakukan ketika menyadari celana boxernya basah dan lengket oleh cairan spermanya, sementara penisnya pun masih dalam keadaan tegang. Dia tak ingin Oom Alfin mengetahuinya. “Oom mau apa?” tanya Ruslan curiga. Oom Alfin tak menjawab. Dia terus melangkah mendekati Ruslan. “Oom?” tanya Ruslan lagi. Kali ini nadanya seolah memperingatkan agar oom Alfin tak semakin mendekatinya. Sebelah kaki Ruslan mundur selangkah. Selimutnya tetap dia biarkan menutupi bagian depan tubuhnya. Berdiri di bagian gelap kamar, wajah dan mata Oom Alfin nyaris tak terlihat oleh Ruslan. Ayah Nando itu memakai kaus dan celana pendek selutut serta sandal karet. Oom Alfin tak berkata apa-apa selama beberapa saat. Lalu dia mengulurkan tangannya dan menyerahkan sebuah benda. Ponsel Ruslan! “Dari tadi handphone kamu bunyi pas Oom lewat kamar kamu. Oom jadi khawatir karena kamu gak angkat teleponnya. Tapi begitu Oom lihat, sudah berhenti. Nih, kamu lihat dulu telepon dari siapa,” kata Oom Alfin menjelaskan. Tangannya yang memegang ponsel pinjaman dari Erry itu masih terulur ke arah Ruslan. Masih sedikit curiga Ruslan mengambil ponselnya dari tangan Oom Alfin. Dia melihat notifikasi panggilan telepon tak terjawab. Dari Bapak! segera Ruslan menghubungi balik nomor ayahnya itu sementara Oom Alfin berdiri mengawasinya. Ah! Ruslan kesal sekali begitu nomor ayahnya kembali tak bisa dihubungi. Dia menekan tombol ponselnya dengan tak sabar. “Kenapa Rus?” tanya Oom Alfin. “Bapak… dari kemarin aku enggak bisa nelepon beliau, Oom…” keluh Ruslan. “Nomornya enggak aktif?” tanya Oom Alfin. Ruslan mengangguk. “Mungkin… mungkin karena…” gumam Oom Alfin. Dia kemudian duduk kembali di ranjang Ruslan. Wajahnya seperti serius berpikir. “Kenapa, Oom?” tanya Ruslan. “Kemarin juga Oom hanya bisa hubungi Camat di desa kamu lewat telepon kabel, Rus. Katanya jaringan operator telepon di sana lagi bermasalah. Kadang hidup, kadang mati total.” lanjut Oom Alfin. Ruslan menghela nafas. Dia bisa merasa sedikit lega mendengar penjelasan Oom Alfin. “Kalau kamu mau, nanti Oom suruh orang lihat keadaan bapak kamu di rumah,” tawar Oom Alfin. “Eh, enggak usah repot-repot Oom! mungkin saya-nya aja yang manja, baru pisah sebentar udah khawatir begini. Buktinya Bapak masih telepon kan tadi?” kata Ruslan menghibur dirinya sendiri. Oom Alfin mengangguk. “Ya sudah, tapi Oom nanti tetap pantau keadaan bapak kamu. Ada orang saya di sana yang lagi ngawasin proyek kerjasama dengan camat. Kamu tenang-tenang aja,” “Iya.. makasih Oom,” kata Ruslan. “Oke, kamu lanjut tidur lagi sana, Oom juga mau istirahat,” Kata Oom Alfin bangkit dari duduknya. Dia menepuk bahu Ruslan sekali sambil tersenyum dan berjalan ke pintu. “Selamat istirahat, Oom,” sahut Ruslan. Oom Alfin membalas dengan anggukan. Setelah Oom Alfin menutup pintu kamar, Ruslan melempar selimutnya ke ranjang. Dia kembali berpikir tentang kejadian di kamar Nando dan bergidik ngeri mengapa hal itu sampai memengaruhi otaknya sehingga dia bermimpi basah dengannya. Dia melihat celana boxernya yang basah dan berniat untuk membersihkan diri sebelum tidur. Di kamar mandi, di bawah guyuran shower air hangat, Ruslan tak bisa berhenti berpikir. Apa yang akan dilakukan Oom Alfin seandainya dia tahu kalau anaknya seorang homoseksual? Ah! kenapa juga aku harus bermimpi basah bersama seorang pria? kutuknya dalam hati. Setelah berganti pakaian dengan kaus tanpa lengan dan celana pendek kering, Ruslan membaringkan lagi tubuhnya di atas ranjang. Ruslan menatap sebentar layar ponselnya untuk mengecek apakah Bapak meneleponnya lagi. Kemudian dia mengatur alarm bangun pagi, dan menyelipkan ponselnya ke bawah bantal. Tak lama Ruslan pun tertidur pulas. Yang Ruslan tidak sadari adalah, ketika dia tertidur seorang pria berdiri di pinggir ranjangnya. Diam mematung memandangi Ruslan. **** Tak seperti kemarin, Ruslan bangun pagi dan ikut sarapan bersama keluarga Oom Alfin, minus Nando. Ruslan agak lega Nando tak ikut sarapan pagi itu. Dia khawatir tak bisa menutupi kegelisahannya apabila bertemu pemuda seumurannya itu karena telah mengetahui skandalnya dengan satpam Rumahnya sendiri. Itulah sebabnya, Ruslan menjadi tak banyak bicara di meja makan. Sesekali dia tersenyum membalas godaan Albie padanya. Sedangkan Erry dan Oom Alfin makan dengan serius. Ketika Bi Leni meletakkan kopi di dekat Oom Alfin, Pria itu bertanya padanya. “Mana Nando?” “Mas Nando udah berangkat pagi-pagi sekali, pak… tadi sih sempat saya buatkan roti sama susu sebelum dia berangkat,” kata Bi Leni. “Gimana sih, anak itu? harusnya dia temani saya antar Ruslan ke kampus buat daftarin dia kuliah,” gerutu Oom Alfin. “Eh, saya bisa urus sendiri kok Oom. Kemarin Nando udah kasih tahu saya cara pendaftaran di kampus. Katanya sih ada beberapa tes juga, rencananya hari ini semua dokumen dan berkas persyaratan mau saya bawa,” ujar Ruslan. Oom Alfin tersenyum. “Iya Rus. Tapi Oom juga memang mau ke kampus Nando. Kebetulan ada yang mau Oom bicarakan mengenai sumbangan dengan pimpinan Universitas,” jelasnya. Sumbangan? mendengar penjelasan Oom Alfin saja sudah membuat Ruslan mengambil kesimpulan bahwa Oom Alfin sepertinya cukup berpengaruh di kampus. Tapi Ruslan memilih untuk tak berkomentar. “Er, tolong wakilkan Papa dulu di meeting proyek jam 11. Kalau perlu ajak mereka makan siang dulu, nanti Papa nyusul setelah beres urusan di kampus,” pinta Oom Alfin pada Erry. Erry yang masih menghabiskan sarapannya mengangguk “Oke, Pah!” “Kamu pelajari dulu aja tawaran sama presentasi mereka, buat catatan dan kasih info buat Papa supaya ada gambaran buat ambil keputusan,” lanjut Oom Alfin lagi. Erry mengangguk. Pria itu tampak gagah dengan pakaian kerjanya. Ruslan baru kali ini melihat Erry berpakaian layaknya seorang eksekutif muda. Rasanya tak salah bila dirinya menjadi orang kepercayaan papanya sendiri. Tanpa sadar Ruslan memerhatikan Erry cukup lama hingga dia menoleh ke arah Ruslan dan tersenyum padanya. Ruslan buru-buru memalingkan wajah pada sarapannya. “Aku berangkat duluan ya?” kata Erry sambil bangkit dari kursi setelah menghabiskan kopinya. “Ya, hati-hati di jalan,” kata Oom Alfin tanpa menoleh padanya. Erry mengangguk dan tersenyum pada Ruslan. “Hati-hati di jalan, Mas!” sahut Ruslan. “Dadah Mas Erry,” kata Albie sambil melambaikan tangannya pada Erry. “Jangan nakal di sekolah, ya!” kata Erry pada Albie. Albie mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Ruslan terkekeh. “Kamu siap-siap ya, Rus! kita berangkat ke kampus. Supir sebentar lagi datang,” kata Oom Alfin. “Iya Oom,” kata Ruslan. Kemudian Oom Alfin beranjak dari kursi meninggalkan Ruslan dan Albie di meja makan. “Kamu berangkat ke sekolah sama siapa, Bie?” tanya Ruslan. “Aku ikut jemputan, Mas! nanti mobilnya datang. Lucu loh mas mobilnya! kuning kayak pisang,” kata Albie sambil nyengir. “Wah! asik dong? banyak ya yang ikut?” tanya Ruslan. Albie mengangguk mantap. Tak lama terdengar suara klakson mobil tiga kali yang asalnya dari luar pagar. Beberapa saat kemudian Bi Leni datang ke ruang makan. “Ayo, Mas Albie! jemputannya udah datang tuh!” kata Bi Leni. Albie turun dari kursinya sambil menyambar tas ranselnya. Dia menarik tangan Ruslan memaksanya ikut ke halaman. “Ayo lihat Mas! mobilnya lucu deh!” “Eh, oh.. iya.. iya..” kata Ruslan tak kuasa menolak permintaan Albie. Sebenarnya dia malas ke depan karena tak ingin bertemu Fajar si satpam. Dia dan Nando adalah orang yang tak ingin ditemuinya dalam waktu dekat ini. Sedikit berlari menyusul Albie, Ruslan melirik ke arah pos satpam. Rupanya yang jaga di situ bukanlah Fajar. Satpam yang baru dilihatnya itu membukakan pagar untuk Albie. Di luar memang ada sebuah mobil minibus Volkswagen kuning muda dan putih di bagian bawahnya. Beberapa anak seumuran Albie memakai seragam sekolah berada di dalamnya. Tampak supirnya yang berusia setengah baya di belakang kemudi. “Albie berangkat dulu ya, Mas!” kata Albie sambil meraih tangan Ruslan dan menempelkannya di kening. “Iya, Bie! hati-hati ya!” kata Ruslan sambil membetulkan tali ransel Albie di bahunya. Albie melambaikan tangannya pada Ruslan dan naik mobil jemputan. Ruslan pun mengawasi mobil itu sampai hilang di tikungan jalan, lalu dia kembali masuk ke rumah. “Pagi Mas!” sapa satpam itu ramah. Dia mengangguk sambil tersenyum dan menggeser pagar rumah Oom Alfin. Satpam baru itu lebih tua dari Fajar dan lebih kurus. Dan Ruslan harus akui, dia tak semenarik Fajar. Dia memakai pakaian seragam hitam-hitam yang sama, di bagian dadanya tertempel nama ‘Sahbani’. “Gantian jaga, pak?” tanya Ruslan. Dia sebenarnya ingin menyelidiki jadwal Fajar. “Iya, Mas! biasa… dirolling. Biasanya saya gantian jaga sama Fajar dan Adi, tapi kayaknya Fajar mulai hari ini dipindah ke tempat lain. Saya belum tahu penggantinya,” terangnya. “Oh, ya?” tanya Ruslan santai. Berusaha tak terdengar seperti menyelidik. Kebetulan sekali satpam itu tak lagi bertugas di rumah ini, gumam Ruslan dalam hati. Kemudian Ruslan kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Ketika dia turun, Oom Alfin sudah berdiri di bawah dan memanggilnya. “Ayo, Rus! berangkat. Sopirnya udah nunggu kita di depan,” ajak Oom Alfin. Keduanya berjalan ke teras di mana sebuah mobil Mercedez Benz hitam telah terparkir di dekat pintu keluar. Seorang supir berusia empat puluhan tampak di belakang setir mengangguk pada Oom Alfin. Sementara satpam bernama Sahbani itu berdiri di sebelah pintu belakang mobil yang terbuka. Oom Alfin dan Ruslan kemudoan masuk ke belakang mobil dan satpam itu menutup pintunya. “Sudah semua dokumen kamu bawa Rus?” tanya Oom Alfin mengingatkan. “Sudah Oom!” jawab Ruslan mantap sambil menepuk ransel barunya yang dibelikan Nando kemarin. “Jalan pak!” perintah Oom Alfin pada supir. Dan mobil pun melaju meninggalkan rumah. **** Entah apa yang dibicarakan oleh Oom Alfin dengan pimpinan kampus sehingga Ruslan tak perlu mengikuti serangkaian tes masuk. Ruslan menunggu di luar kantor setelah sebelumnya dia dikenalkan oleh Oom Alfin. Pembicaraan mereka tampaknya cukup seru. Terdengar suara tawa terbahak keduanya di dalam. Lima belas menit kemudian Oom Alfin keluar ditemani pria berkumis dan berbadan besar kira-kira berusia lima puluhan. “Kita pamit dulu, ya?” kata Oom Alfin sambil menjabat tangan pria itu. “Baik pak, terima kasih buat semuanya. Nah, Ruslan, jadilah mahasiswa yang rajin dan jaga nama baik almamater kita, ya?” kata pria itu sambil menepuk bahu Ruslan. “Dengar itu, Rus,” kata Oom Alfin sambil tersenyum lebar. Ruslan mengangguk. “Baik, pak!” “Kalau saya lihat dari prestasi akademiknya di SMA, saya tidak ragu kalau Ruslan bakal sukses seperti Oom dan kakak sepupunya di kampus ini, Hahahaha..” kata pria itu lagi. Kemudian Oom Alfin dan Ruslan berpamitan. Dia sempat mendengar pria itu dan Oom Alfin menyebut-nyebut nama Erry dan memujinya sebagai salah satu lulusan terbaik kampus ini. Oh! betapa berat beban yang harus dipikul oleh Ruslan. Dia langsung terbayang jika Nando yang selalu melawan ayahnya berusaha membangkang dan kuliah asal-asalan di kampus ini, betapa kesalnya Oom Alfin apabila nama baik keluarganya tercoreng oleh kenakalan Nando. Tapi Ruslan masih bersyukur. Semester baru masih akan dimulai beberapa minggu lagi. Dirinya tak perlu pusing dulu memikirkan segala macam mata kuliah dan tugas-tugasnya yang sekiranya akan menumpuk. Setelah supir mengantar Ruslan sampai di rumah, Oom Alfin meneruskan perjalanannya ke kantor. Ruslan berniat kembali ke kamarnya dan mungkin akan jalan-jalan dengan motornya sehingga dia tak perlu ada di rumah dan harus bertemu dengan Nando. Ruslan mendadak benci dengan Nando, karena dialah dirinya menjadi terbayang-bayang sampai memimpikannya. Ugh! kesal rasanya jika memikirkan mimpi itu sehingga dirinya sendiri mempertanyakan orientasi seksualnya. Tapi Ruslan berusaha menyangkal mati-matian dan menganggap itu hanyalah efek dari penglihatan sebelum dirinya tertidur. Ruslan salah. Saat dia hendak masuk, skuter antik milik Nando yang telah dimodifikasi sedemikian rupa itu sudah terparkir di garasi. Ruslan tahu skuter itu milik Nando karena semalam saat mereka pulang, Nando sudah memberitahunya. Ketika hendak melewati kamar Nando, terdengar suara musik dari pengeras suara. Pemilik kamar pasti ada di dalamnya, pikir Ruslan. Oleh karena itu dia berusaha tak membuat suara saat melewati kamarnya agar keberadaannya tak diketahui Nando. Terlambat. Saat Ruslan melewati pintu kamarnya, Nando mendadak keluar kamar dan memergokinya. “Eh! ada my brother… gimana kampus? udah daftar? sori ya, tadi gue males nganterin kalian berdua, hehehe…” kata Nando sambil memegang botol air mineral. Dia hanya memakai kaus dan celana pendek seperti biasanya. “Eh, ehm, lancar Ndo, gue diterima,” kata Ruslan singkat. Sungguh! dia tak ingin berlama-lama bersama Nando. Walapun kemarin keduanya begitu akrab, Ruslan sekarang merasa risih berada dekat dengan anak itu. “Ah! ayo dong cerita… yuk! di kamar gue aja! gue mau sekalian tunjukkin speaker baru komputer gue,” ajak Nando sambil merangkul bahu Ruslan. “Ng…” Ruslan berusaha menolak, namun ajakan Nando seperti menghipnotis dirinya. Kamar Nando saat itu cukup berantakan. Sepasang pengeras suara yang kemarin tak ada saat Ruslan ke kamar ini sudah terpasang pada laptop Nando yang tergeletak di lantai. “Tuh, lihat! bagus kan? suaranya mantap, meeen!” kata Nando sambil menjatuhkan dirinya ke atas ranjang. Ruslan menoleh ke arah televisi yang gambarnya tak bergerak. Di layarnya ada gambar sepasang pria dan wanita yang telanjang sedang berciuman. “Lo lagi ngapain, Ndo?” tanya Ruslan. “Nonton bokep. Speakernya sengaja gue kerasin supaya jadi kamulflase,” ujar Nando santai. “Hah? bokep?” tanya Ruslan tak percaya. Dia juga sedang menebak-nebak apakah Nando tahu kalau Ruslan mengetahui perbuatannya dengan satpam rumah itu? apakah Nando benar-benar menangkap basah dirinya sedang mengintip tadi malam? tetapi tampaknya tak ada perubahan sikap dari pemuda tampan itu terhadapnya. “Iya. Kenapa emang? belum pernah nonton film porno yaa?? dasar anak kampung!” ledek Nando sambil tertawa. Dia melempar sebuah bantal ke arah Ruslan. “Kata siapa?” kata Ruslan tersinggung. “Nah, makanya my brother, mari kita tonton sebelum orang rumah pulang,” ujar Nando sambil memeluk bantal dan berbaring telungkup menghadap televisi. Tangannya kemudian menekan tombol remote dan adegan di televisi pun berlanjut. Ruslan berdiri di samping ranjang Nando. Tak tahu harus berbuat apa.

No comments:

Post a Comment