My Blog List

Wednesday 22 January 2014

MERANTAU – Bagian 18

“JALAN di pantai enggak ngajak-ngajak” kata Nando yang ternyata sudah berada di sebelah Ruslan. Wajahnya terlihat baru bangun tidur, rambutnya yang sudah acak-acakan, makin berkibar terkena angin. Dia telah mengenakan kausnya kembali. “Sori, Ndo… gue butuh waktu ama tempat untuk mikir. Mikirin semua kejadian yang kita alamin ini,” kata Ruslan. Dia berjalan menjauhi bibir pantai dan menghempaskan pantatnya pada hamparan pasir. Nando mengikuti di sebelahnya. Nando menunduk. Ruslan menatapnya. Menunggu Nando menceritakan semuanya tentang Oom Alfin seperti janjinya tadi. Nando menarik nafas panjang. “Oom Alfin itu… menikahi Mama waktu gue masih kecil. Gue enggak ingat lagi kapan mereka menikah. Bahkan enggak ada satupun foto pernikahan mereka selain surat nikah yang pernah gue lihat waktu bongkar dokumen pribadi Papa.. maksud gue Oom Alfin.” kata Nando. “Kalau dilihat dari tanggal mereka menikah, waktu itu umur gue sekitar dua tahun. Gue udah terbiasa manggil dia Papa sejak kecil. Entahlah, mungkin gue anak haram atau apa, tapi yang jelas gue enggak pernah tahu siapa papa gue sebenernya. Gue juga enggak pernah nanya sama Mama karena takut bikin dia sedih walau gue sebenernya berhak…” lanjutnya sedikit emosi. Ruslan mengalihkan matanya dan menatap matahari yang walau masih bersinar terang namun sudah mulai tergelincir menuju cakrawala. “Kalau Erry? berarti dia bukan kakak kandung elo?” tanya Ruslan sambil mencoba menarik kesimpulan. Nando menggeleng. “Erry anak Oom Alfin dari pernikahan dia sebelumnya. Katanya mama kandung Mas Erry sudah meninggal. Sikapnya yang pendiam dan terlalu mandiri sejak masih kecil membuat dia cepat dewasa. Hubungannya dengan Mama juga kaku. Sampai Mama pergi, gue masih mendengar kecanggungan dalam nada Mas Erry setiap kali memanggil sebutan Mama ke nyokap gue,” kata Nando. Dari cerita Nando, Ruslan sedikit mengerti mengenai hubungan antar personal di keluarga Oom Alfin. “Sebenarnya… kalau mau kejam, Papa, eh, Oom Alfin itu menjadi seperti sekarang karena Mama…” dengus Nando. “Loh, kenapa?” tanya Ruslan. “Mama lah yang awalnya memiliki banyak usaha. Bisa dibilang, dia itu wonder woman. Kemudian dia ketemu Papa. Pria menawan, cerdas, ambisius, namun miskin. Selanjutnya Mama sepertinya ingin lebih banyak di rumah mengurus anaknya. Sedikit demi sedikit dia menyerahkan tugas mengurus perusahaan pada Papa. Tapi sepertinya itu keputusan salah…” ujar Nando. “Apa Oom Alfin mengambil semua kekayaan nyokap elo, Nan?” tanya Ruslan teringat cerita-cerita di film. Nando menggeleng. “Enggak.. enggak.. justru perusahaan Mama semakin berkembang di tangan Oom Alfin. Tapi rupanya Mama kesepian karena Oom Alfin semakin sibuk. Pernah gue denger Mama bertengkar hingga meminta cerai. Namun sepertinya Oom Alfin tidak mau. Keinginan Mama untuk bercerai akhirnya surut ketika Mama hamil…” “Albie?” tanya Ruslan. Nando mengangguk. “Setelah Albie lahir, Mama semakin terlihat tak bahagia. Albie itu seperti senjata Oom Alfin agar Mama tak meminta cerai. Mungkin saat itu… Mungkin saat itulah Mama bertemu orang lain dan berselingkuh seperti yang mereka bilang, dan akhirnya tega meninggalkan anak-anaknya pergi,” Nando tercekat kemudian terisak. Ruslan merangkul bahu Nando dan berusaha menenangkannya. “Udah.. udah… enggak usah dilanjutin ceritanya,” ujar Ruslan. “Kayaknya kita harus pulang, Ndo… Kalau bener mereka mengawasi kita pasti mereka mulai curiga,” kata Ruslan. “Hei… sejak kapan malah elo yang jadi penakut gini?” kata Nando terkekeh. “Hehehe.. iya ya? yaudah.. kita balik ke pondok aja dulu,” ajak Ruslan sambil bangkit dan menarik lengan Nando. **** Sesampainya di pondok, Ruslan dan Nando saling mendorong dan bercanda seperti anak kecil memperebutkan kamar mandi untuk mandi duluan. Mereka tertawa seolah lupa akan masalah yang mereka hadapi. “Rus, yakin enggak mau masuk? kalau di rumah udah susah loh,” goda Nando yang berhasil mendepak Ruslan dari pintu kamar mandi dan melongok dari balik pintu. Ruslan pun menurut sambil tertawa. Dia menyerbu kamar Mandi sambil berteriak seperti Tarzan setelah membuka pakaiannya. “Auoooooo…” teriak Ruslan sambil menepuk-nepuk dadanya dan menyeruak masuk menggangu Nando yang sedang asyik menikmati guyuran air shower. Nando tertawa geli saat Ruslan menggelitik pinggangnya. Keduanya akhirnya berpandangan lalu berciuman. Ruslan mengusap rambut Nando yang basah. “Kita ini apa? pacaran? masa pacaran sama-sama cowok?” tanyanya pada Nando. “Kita ini brother Rus.. Brother yang mesra.. hahahah… udahlah, enggak usah dipikirin, enjoy aja…” kata Nando. Keduanya kemudian melanjutkan mandi dan keluar kamar dengan hanya mengenakan handuk. Ketika Nando membongkar isi tasnya mencari baju ganti, tanpa sengaja botol obat miliknya yang berisi pil-pil hijau itu ikut menggelinding keluar. Nando yang terkejut berusaha mengambil botol itu kembali, namun gerakan Ruslan lebih cepat. Ruslan memungut botol itu dan bertanya gusar, “Elo masih minum ini?” “Kembaliin…!” seru Nando sambil berusaha merebut botol obat itu dari tangan Ruslan. Ruslan menghindar sehingga Nando tak bisa meraihnya. “Kenapa masih minum obat ini?” seru Ruslan. Nando terdiam sesaat. “Obat itu bikin gue ngerasa lebih baik…” kata Nando. “Tapi gue enggak yakin kalau ini obat depresi elo, Nan!” Ruslan membalik badannya dan berusaha membuka tutup botolnya. “Eh, mau diapain itu?” teriak Nando ketika melihat Ruslan berjalan menuju toilet. “Jangan dibuang! jangan dibuang!” teriak Nando sambil terus berusaha merebut botol yang sudah terbuka itu dari tangan Ruslan. Ruslan berusaha menghalangi Nando merebut kembali botolnya. Beberapa butir pil sudah mulai berjatuhan ke dalam toilet namun Nando akhirnya berhasil merebutnya. “Please, Rus! gue gak mau berakhir di rumah sakit kayak kemarin…” pinta Nando yang menutup kembali botol obat itu dengan gemetar. Ruslan menghela nafas. “Oke… tapi janji sama gue, elo coba buat enggak terus minum obat itu. Setidaknya bertahap ngurangin.” Nando mengangguk. Ruslan kemudian memeluknya. Yang Nando tidak tahu adalah, diam-diam Ruslan menyelipkan tiga butir pil hijau itu ke dalam saku celananya. **** Setelah insiden perebutan obat itu, tampaknya ada ketegangan di antara Ruslan dan Nando. Keduanya tak banyak bicara saat berada di atas motor dalam perjalanan kembali ke kampus. Hari sudah menjelang malam ketika keduanya tiba di kampus yang sepi. Nando dan Ruslan menuju locker tempat mereka menaruh barang-barang. Saat Ruslan meraih ranselnya, dia meminta izin pada Nando untuk pergi sebentar. “Nan, gue keluar sebentar ya? mau beli makanan dulu,” kata Ruslan. “Oh, mau ke mana? gue sebenernya juga mau ke perpustakaan sebentar. Libur begini perpus tutup jam 8, ada buku yang mau gue kembaliin dan pinjem sekaligus. Mau gue temenin?” tawar Nando. “Enggak usah Ndo, gue mau beli nasi goreng aja di depan. Nanti kalau udah selesai gue jemput elo di perpus. Lo tungguin aja di sana.” tolak Ruslan. “Oke, telepon aja kalau udah balik,” kata Nando. Ruslan mengangkat tangan dan mengacungkan jempolnya lalu berlari tergesa-gesa keluar gerbang kampus. Di luar gedung kampus Ruslan menoleh ke sekitarnya, mencari sebuah tempat yang tampaknya sudah dia incar dari tadi. Toko ponsel. “Silakan mas? mau beli pulsa?” tawar seorang pria remaja yang duduk di dekat etalase toko kecil. Toko itu penuh dengan logo merek ponsel dan operator seluler serta puluhan kotak berisi ponsel baru. Ruslan menggeleng. Dia melihat-lihat kotak ponsel baru yang terpajang dan memerhatikan harga spesifikasinya dengan cepat. “Ada hape yang buat telepon dan sms aja, mas?” tanya Ruslan meminta pendapat. “Oh, ada. Ini yang baterainya awet. Murah juga kok Mas,” tawar si penjaga toko sambil menyerahkan kotak berwarna hitam pada Ruslan. “Oke, bisa langsung dipakai? atau harus di-charge dulu?” tanya Ruslan. “Bisa langsung dipakai kok, Mas. Cuma enggak bisa lama-lama, harus dicharge penuh dulu.” jelas si penjaga. Ruslan mengangguk setuju. “Sekalian nomornya, Mas, yang itu aja,” kata Ruslan sambil menunjuk salah satu nomor perdana ponsel yang ada di etalase. “Diaktifin sekalian?” tanya si penjaga toko memastikan. Ruslan mengangguk. “Sekalian diisi pulsa lima puluh ribu ya mas?” Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Sementara dia menunggu penjaga toko itu membuka kotak ponsel dan mencoba mengaktifkannya, Ruslan membuka sambungan internet pada ponselnya dan mulai mencari-cari sebuah informasi. Matanya mengawasi setiap hasil pencarian pada mesin pencari. Setelah dia menemukan yang dirasanya cocok, dia memasukkan sebuah nomor ponsel pada memori kontaknya. “Udah nih mas, saya aktifin nomornya pake nama saya aja ya?” jelas si penjaga toko. “Oke, makasih ya mas.” kata Ruslan sambil mengambil ponsel itu. Dikeluarkannya pengisi daya baterai dari kotaknya sebelum dia membuang kotak kosong kemasan ponsel itu. Penjaga toko itu sedikit bingung dengan ulah Ruslan. “Mas! masih ada garansinya loh! jangan dibuang!” katanya memperingatkan. Ruslan menoleh sebentar tak peduli, lalu bergegas meninggalkan toko ponsel itu menuju kedai tempat penjual nasi goreng berada. “Pak, bungkus satu ya? yang spesial,” kata Ruslan. Bapak tua penjual nasi goreng itu mengangguk dan mulai mengerjakan pesanan Ruslan. Ruslan duduk di sebuah kursi panjang dan mulai memasukkan nomor ponsel yang tadi disimpannya pada ponsel yang baru saja dia beli. Cukup lama dia menunggu saat nomor telepon yang dia hubungi tersambung. “Call center penyalahgunaan narkoba, dengan Dewi selamat malam,” sapa suara wanita di ujung sana dengan ramah. “Selamat malam mbak, ng… boleh minta informasi?” tanya Ruslan ragu-ragu. “Dengan siapa saya bicara? Silakan mas, ada yang mau ditanyakan?” tanya suara wanita itu. “Anu.. nama saya Ruslan, kemarin saya pergoki adik saya yang masih SD menyimpan obat aneh di tasnya mbak, setelah saya tanya, dia bilang ada orang yang menyuruh dia minum obat itu. Katanya laki-laki, sudah dewasa dan berkeliaran di sekitar sekolahnya.” “Baik mas, ada yang bisa dibantu?” “Saya mau tanya aja, di mana saya bisa serahkan obat ini untuk diperiksa? supaya saya tahu itu berbahaya atau enggak, soalnya saya takut keluarga saya kena masalah kalau ternyata itu narkoba dan kita simpan mbak,” ujar Ruslan berusaha terdengar khawatir. “Baik… kami akan segera hubungi Mas Ruslan untuk informasi selanjutnya, ada lagi mas?” “Sudah mbak, itu aja, terima kasih mbak.. selamat malam..” Ruslan memutus sambungan sesaat setelah wanita yang diteleponnya itu membalas ucapan selamat malamnya. Ruslan menghela nafas. Dia kemudian mengeluarkan plastik kecil yang tadi dia dapat dari salah satu pembungkus ponsel. Dengan hati-hati, dari dalam tasnya dikeluarkannya tiga pil hijau yang dicurinya dari botol obat Nando dan dimasukkannya ke dalam plastik itu. **** “Ndo! sori, lama nunggu?” tanya Ruslan sambil berlari menghampiri Nando yang berdiri di depan gedung perpustakaan sambil memencet-mencet ponselnya. “Enggak kok Rus, yuk pulang?” ajak Nando. “Ng.. sebenernya, kalau pulang sama-sama bukannya orang rumah bakalan curiga ya? kan katanya elo lagi marah sama gue?” tanya Ruslan. “Hmm… sebenernya gue udah enggak peduli lagi, Rus. Asal elo ada di rumah lagi, mereka mau curiga kek atau apa gue enggak peduli,” kata Nando. Ruslan tersenyum kecil. Lalu mengajak Nando menuju parkiran motor. *** Keduanya tiba selepas jam makan malam. Ruslan memang enggan bertemu keluarga Oom Alfin saat makan malam. Belakangan dia menjadi sangat curigaan pada seisi rumah Oom Alfin. Tak banyak bicara, Ruslan dan Nando berpisah di teras rumah. Nando tanpa menegur Oom Alfin yang sedang duduk membaca majalah di ruang tamu, langsung melesat naik. Sementara itu, Ruslan harus melewati Oom Alfin untuk menuju dapur. “Dari mana kalian?” tegur Oom Alfin tanpa melepaskan pandangannya dari majalah yang ia baca. “Dari kampus, Oom. Tadi saya di perpustakaan trus Nando ajak saya pulang bareng,” jawab Ruslan berbohong. Tangannya sedikit gugup memegang bungkusan nasi goreng. “Hmm…” gumam Oom Alfin. Rupanya dia tak ingin memperpanjang percakapan dengan Ruslan. “Permisi Oom,” pamit Ruslan. Oom Alfin tidak menjawab. Setibanya di dapur, Bi Leni yang baru saja hendak pulang melihat Ruslan kecewa karena membawa nasi goreng. “Mas Ruslan ini, kalau mau nasi goreng biar Bi Leni yang buatin! kok malah beli sih? masih ada lauk tuh buat Mas sama Mas Nando,” protes Bi Leni. “Oh, eh, maaf Bi Leni, tadi saya dipaksa Nando makan di luar, saya gak enak, jadinya saya ikutan beli. Saya minta piring aja deh, mau makan di kamar,” kata Ruslan. Dengan sedikit cemberut Bi Leni mengeluarkan piring serta sendok garpu dan menyerahkannya pada Ruslan. “Makasih Bi,” kata Ruslan. Saat Ruslan melewati ruang tamu hendak kembali ke kamarnya, Oom Alfin tidak lagi duduk di kursi ruang tamu. Sepertinya dia sedang menerima telepon dan berdiri di teras sambil bercakap-cakap. “Iya Er, kamu enggak usah pulang dulu kalau perlu. Tunggu orangnya besok pagi. Kamu bawa pakaian buat nginap kan?” kata Oom Alfin. Ruslan tak tahan untuk mencuri dengar. Perlahan dia naik menuju kamarnya. “Oke. Besok kabari papa secepatnya, makasih..” kata Oom Alfin. Ruslan buru-buru menghilang. Erry tak ada di rumah! saatnya menggeledah kembali ruangan kamarnya. Membuktikan perkataan Nando bahwa Erry menyimpan foto-foto miliknya. Dan Ruslan akan melakukannya nanti malam ini juga. **** Ruslan tak bisa memejamkan mata. Dia menunggu lewat tengah malam untuk bisa menyelinap ke kamar Erry. Dia melirik jam dinding di kamarnya. Jam sebelas malam. Perutnya masih terasa kenyang oleh nasi goreng yang dia beli tadi. Tiba-tiba seseorang membuka kamar Ruslan. Ruslan pun terlonjak. Terus terang, masalah kamar tak berkunci ini juga menjadi salah satu pemicu ketidaknyamanan Ruslan di rumah Oom Alfin. Ingin rasanya dia menggeser meja atau memasang bel agar dia terbangun apabila ada seseorang yang memasuki kamarnya. “Siapa?” desis Ruslan. Dia menyalakan lampu mejanya dan melihat Nando sudah berdiri di dekat pintu. “Nando?” tanya Ruslan. Nando mendekati ranjang Ruslan dan menyelusup ke balik selimut lalu berbaring di sebelah Ruslan. “Gue enggak bisa tidur… gue ngerasa nyaman kalau tidur di sebelah elo, Rus..” ujar Nando. Kemudian dia memeluk pinggang Ruslan. Sebenarnya Ruslan enggan mengusir Nando, tapi malam ini dia harus menyelinap ke kamar Erry. “Ndo… gimana kalau ketahuan?” kata Ruslan memperingatkan. Nando menggeleng, “Gue enggak peduli Rus.” Terus terang, Ruslan sendiri tak kuasa menolak pesona dan godaan Nando. Setiap sentuhannya, ucapannya, pelukannya, selalu berhasil membuat gejolak mudanya terangsang. “Tau enggak Rus, gue baru bisa tidur kalau udah bikin elo keluar..” kata Nando pelan. Ruslan meneguk ludah. Tak lama Nando melepas kausnya. Ruslan membiarkan Nando melucuti kausnya juga. Ketika Nando mulai menjelejahi tubuhnya, menyentuh tiap senti kulitnya dengan tangan dan bibirnya, Ruslan membiarkan pemuda itu melakukannya lagi. Ada sesuatu pada Nando yang menyebabkan dia menyukai bagian sensitif milik Ruslan. Nando begitu bersemangat ketika menjelajahi bagian ini, begitu mengagumi, memperlakukannya sangat istimewa sehingga membuat Ruslan ketagihan. Setiap isapannya, jilatannya, dilakukan Nando dengan sepenuh hati hingga Ruslan merasa terpuaskan. Melambung ke langit ke tujuh. “Sssh…” desis Ruslan sambil memegangi bahu Nando seolah menyemangatinya ketika Nando menstimulasi batang penisnya. “Nggh…” lenguh Ruslan. Tubuhnya sedikit menggeliat mengimbangi usaha Nando yang membuatnya keenakan. Dan geliat tubuh dua remaja itu berakhir ketika Nando berhasil membuat Ruslan menuju puncak kenikmatan dan menghadiahinya dengan aliran sperma yang membasahi rongga mulutnya. Nando bangkit dan sambil mengusap bibirnya dia menatap Ruslan sambil tersenyum. Nando yang merasa senang mengecup pipi Ruslan sekilas dan membalik badannya kemudian tidur. Ruslan sendiri masih berusaha mengatur nafas. Perlakuan Nando benar-benar membuatnya ketagihan. Dia pun mengusap rambut Nando dan mencium bagian belakang kepalanya. Nando menggeliat pelan lalu meneruskan tidurnya. Ruslan berusaha untuk tetap terjaga hingga lewat tengah malam. Ketika dia memeriksa ponsel barunya yang sengaja dia buat tak bersuara, ada pesan singkat masuk “Selamat malam Bapak Ruslan, untuk informasi yang anda berikan, silakan datang menemui kami di Gedung XXXX jalan XXXX besok pagi. Terima kasih.” Ini dia. Ini dia jawaban untuk pertanyaan Ruslan yang ingin menyelidiki obat yang diminum oleh Nando. Perlahan dia kembalikan ponsel itu ke dalam tasnya. Ruslan berhati-hati turun dari ranjangnya agar tak membangunkan Nando. Dia meraih kausnya dan berjingkat keluar kamar. Dalam keremangan lorong lantai dua rumah Oom Alfin, Ruslan menyelinap di balik bayangan gelap menuju kamar Erry. Syukurlah, kamar Erry tak terkunci, dan memang tak ada kuncinya juga seperti kamar-kamar lain di rumah ini. Ruslan mencoba mengingat-ingat terakhir kali dia membongkar kamar Erry adakah benda yang terlewat dan bisa dijadikan petunjuk? Kemudian Ruslan menuju laci meja lampu di sebelah ranjang Erry. Dia ingat ada sesuatu di sana, selain tumpukan koran dan majalah bekas. Bergegas dia menuju meja itu. Ruslan tak peduli apabila di kamar ini dipasangi CCTV. Dia pun membuka laci itu, dan mengeluarkan tumpukan koran lama dan majalah dari dalamnya. Dan sesuatu seperti album foto tersimpan rapi di dalamnya. Agak gemetar Ruslan membuka album foto yang tampaknya sudah tak lagi baru itu. Memanfaatkan cahaya redup, Ruslan meneliti setiap foto yang ada di dalamnya. Dan benar, banyak sekali foto-fotonya. Sejak dia SD, SMP, hingga SMA. Dan semuanya diambil dari jarak jauh tanpa sepengetahuannya. Ruslan bergidik. Tangannya gemetar. Dia mendadak berdiri ketika seseorang menyalakan lampu di kamar Erry. “Ketemu apa yang kamu cari?” tanya Erry yang kini sudah berdiri di pintu. Matanya menatap tajam ke arah Ruslan. Ruslan terdiam. Dia berdiri mematung masih memegang album foto itu. *bersambung*

No comments:

Post a Comment