Wednesday, 22 January 2014
MERANTAU – Bagian 19
RUSLAN menurunkan perlahan album foto yang dia pegang. Posisinya sangat tidak menguntungkan. Erry, seperti biasa, tampak terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap basah penyelusup yang sedang mengacak-acak kamarnya.
Erry menghela nafas. Dia membetulkan letak kacamatanya, kemudian meletakkan telapak tangannya di pinggang.
“Ketemu apa yang kamu cari di kamar saya?” tanya Erry sekali lagi. Dia berkata seperti itu dengan nada penuh sindiran. Sindiran tajam namun tenang.
Ruslan yang panik mulai bisa menguasai diri. Bagaimanapun, penemuannya mengenai album foto berisi foto-fotonya di kamar Erry jauh lebih layak mendapat penjelasan daripada harus menjelaskan keberadaannya di kamar Erry.
“Mas Erry bisa jelasin ini?” tanya Ruslan yang mulai mendapatkan kembali keberaniannya. Dia melempar album itu ke atas ranjang. Album foto itu memantul sekali, lalu terbuka sehingga memperlihatkan foto-foto dirinya di dalamnya.
Erry melirik album foto itu sebentar tampak kurang antusias, lalu menatap lagi wajah Ruslan berusaha membuatnya merasa bersalah.
“Udah cukup Mas Er! sayalah yang berhak mendapatkan penjelasan di rumah ini! kalian begitu enaknya sembarangan main ancam, merusak kehidupan orang, menghilangkan orang, kalian seperti kriminal!” tuduh Ruslan sambil menunjuk wajah Erry tetapi tak bisa bergerak dari tempatnya.
Erry tak menjawab. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju ranjang, memungut album foto itu dan menutupnya dengan hati-hati. Ruslan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya terkepal berusaha menahan emosi.
“Keluar…” ujar Erry pelan. Wajahnya dia palingkan tak mau menatap Ruslan.
“Enggak Mas! jelasin dulu semuanya!” tuntut Ruslan.
“Kamu enggak tahu apa-apa…” gumam Erry lagi.
“Makanya jelasin Mas!” raung Ruslan.
“KELUAR!” teriak Erry. Matanya membelalak marah. Mendadak seluruh ketenangan dirinya lenyap. Belum pernah Ruslan melihat Erry meledak seperti itu sehingga dia pun terkejut dan terlonjak ke belakang.
Tak puas dengan penjelasan Erry, Ruslan bersedia keluar kamar. Dia mendengus pada Erry yang masih berdiri mematung di dekat ranjang sambil memegangi foto album itu.
Ketika keluar kamar, Ruslan memergoki Oom Alfin yang berdiri di pintu kamarnya, menatapnya tanpa ekspresi. Ruslan tak memedulikannya dan langsung menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Ruslan membanting tubuhnya di ranjang, tepat di sebelah Nando. Pikirannya berusaha mengingat-ingat kapan foto-foto itu diambil. Apakah ada yang dia bisa ingat, seseorang yang diam-diam membuntutinya, orang mencurigakan yang selalu berada di sekitarnya, tapi Ruslan tak bisa mengingatnya.
“Kenapa?” tanya Nando. Dia terbangun saat Ruslan kembali ke ranjang.
“Gue nemuin album foto yang elo bilang di kamar Erry..” jelas Ruslan.
“Terus?” tanya Nando.
“Mas Erry juga nemuin gue lagi di kamarnya.”
“Ouch… sial kalau gitu…” Nando meringis. “Mas Erry marah?”
“Marah karena gue minta penjelasan, tapi dia ngebiarin gue keluar. Gue enggak bisa ngebayangin harus ngehadapin mereka besok pagi…” sesal Ruslan.
“Yaudahlah… gimana besok aja. Tapi setidaknya elo udah tahu kalau Mas Erry itu nyeremin,” kata Nando sambil memeluk Ruslan.
Ruslan tak menjawab. Sementara Nando kembali tertidur, dirinya masih menatap langit-langit kamar masih berpikir keras.
****
Paginya, Ruslan sengaja tidak ikut sarapan. Sebenarnya jam tujuh pagi, Bi Leni sudah mengetuk pintu kamar Ruslan beberapa kali untuk menyuruhnya turun sarapan. Tapi Ruslan berpura-pura masih tidur. Nando sudah kembali ke kamarnya sejak jam enam pagi.
Ruslan mengintip sebentar lewat jendela, memastikan seluruh keluarga Oom Alfin sudah berangkat menuju tempat aktivitas mereka masing-masing.
Yang paling akhir keluar adalah Nando. Tadi dia sempat datang ke kamar Ruslan mengajaknya berangkat sama-sama ke kampus. Tapi Ruslan menolaknya. Nando sempat curiga dan bertanya pada Ruslan hendak ke mana dia, namun Ruslan menutup mulutnya rapat-rapat.
Sekilas Nando mendongak ke atas dari atas motor skuternya, memerhatikan Ruslan yang sedang mengintip di jendela sebelum dia keluar melalui gerbang.
Ruslan pun bersiap untuk turun. Sebelum turun dia meninggalkan ponselnya yang diberikan oleh Erry di atas meja. Dia tak ingin mengambil resiko keberadaannya diketahui oleh Erry ataupun Oom Alfin apabila yang dikatakan Nando benar mengenai ponsel mereka yang disadap.
Dia juga memastikan tiga butir pil yang dicurinya diam-diam dari botol obat Nando tersimpan rapi di dalam kemasan plastik yang tertutup rapat. Ruslan memeriksa kembali isi pesan singkat petunjuk alamat yang dikirimkan orang dari lembaga itu tadi malam sebelum turun.
“Mas! enggak sarapan dulu?” sahut Bi Leni ketika melihat Ruslan turun tangga dengan tergesa.
“Enggak usah Bi! saya buru-buru,” balas Ruslan.
Langkahnya sedikit terhenti ketika mengetahu satpam yang kemarin pernah merasakan tinjunya kini berdiri di pintu gerbang seolah hendak menghalanginya keluar.
“Mau ke mana, Mas?” tanya satpam itu. Dia sama sekali tak berusaha menahan nada ketus dari pertanyaannya. Melihat pelipisnya yang masih biru lebam, Ruslan tahu mengapa dia bersikap seperti itu.
“Kampus, permisi,” jawab Ruslan sambil berusaha mendorong pintu gerbang untuk keluar.
“Udah minta izin sama bapak, Mas?” tanya satpam itu lagi berusaha menahan pintu gerbang agar tak terbuka.
“Enggak perlu, dia udah tahu,” jawab Ruslan gusar. Dia mencoba mendorong pintu itu lagi.
“Mas, biar saya telepon bapak du…” kata satpam itu masih berusaha mencegah Ruslan.
“Denger, pak! silakan saja bapak bilang sama Oom Alfin. Bilang, saya enggak akan kabur kalau itu yang dia khawatirkan, nah, sekarang saya mau lewat!” kata Ruslan sambil mendorong satpam itu.
Ruslan membetulkan letak ranselnya. Dia melihat satpam itu tak berkutik untuk mencegahnya keluar. Kemudian Ruslan menghentikan satu mobil taksi dan memberitahukan alamat yang dia tuju kepada sopirnya. Syukurlah, tampaknya sopir taksi itu tahu persis alamat yang ditunjukkan oleh RUslan. Tak sampai satu jam, dia sudah berada di depan gedung itu.
Gedung itu terlihat sudah lama dibangun, namun renovasi di sana-sini membuatnya terlihat lebih segar. Beberapa orang satuan pengaman berjaga di pintu masuk mobil. Memeriksa setiap detil bagian mobil yang masuk. Ruslan belum pernah melihat pemeriksaan seketat itu untuk masuk gedung. Dirinya pun tak luput dari pemeriksaan ketika hendak masuk. Selain detektor logam, Ruslan juga diperiksa seluruh barang bawaannya termasuk ranselnya. Untunglah kedua petugas pemeriksa itu bersikap ramah dan sopan sehingga tak menakutkan Ruslan.
“Ini apa dik?” tanya salah satu petugas berpakaian serba hitam ketika menemukan plastik berisi pil hijau milik Nando di dalam ransel Ruslan.
“Ng.. itu.. sebenernya alasan saya kemari. Tunggu sebentar,” jawab Ruslan sambil mengeluarkan ponsel murah yang baru dibelinya. Mungkin dengan menunjukkan isi pesan singkat yang dia terima, dia bisa mendapat petunjuk harus bertemu dengan siapa di gedung ini.
Petugas keamanan itu membaca sms yang ada di ponsel Ruslan. Dia pun menunjukkannya pada rekannya, dan tampaknya rekannya mengerti. Dia mengangguk dan menyuruh Ruslan menunggu sebentar.
Lima menit kemudian, petugas keamanan itu kembali dan memperisilakan Ruslan masuk. Dia mengantar Ruslan ke sebuah ruangan dan menyuruhnya menunggu di sana.
Ruangan itu tampak seperti ruang kerja. Hanya saja, perabot di situ hanyalah sebuah meja kayu di tengah dengan dua kursi beroda yang saling berhadapan. Lemari kayu pendek menempel di sebagian besar dinding memanjang hingga nyaris mengelilingi ruangan itu. Jendelanya diteralis dan diberi sekat yang bisa dibuka tutup dengan menarik talinya. Dari dalam Ruslan bisa melihat halaman gedung tempat mobil-mobil berlalu-lalang.
“Maaf nunggu lama, dik,” kata seorang pria yang masuk tiba-tiba. Usianya sekitar tiga puluhan, tampan dan tenang. Dia memakai setelan kemeja putih dengan dasi bercorak yang serasi.
“Oh, enggak apa-apa pak,” ujar Ruslan sambil bangkit dari duduknya untuk bersalaman dengan bapak tersebut.
“Perkenalkan, nama saya Daniel. Nah, adik Ruslan? benar?” tanya pria itu memastikan.
Ruslan mengangguk.
“Coba ceritakan lagi dari awal, bagaimana kecurigaan dik Ruslan mengenai obat yang ditemukan di tas adik anda yang masih SD… tapi kali ini saya akan rekam semua pembicaraan kita,” ujar Daniel sambil mengeluarkan alat perekam seperti remote control namun ukurannya lebih kecil.
Ruslan terdiam. Dia sadar, informasi yang dia berikan sebelumnya hanyalah rekayasa dirinya sendiri. Dia ragu untuk menceritakan ulang jika ternyata semua itu begitu penting untuk direkam.
“Ng…” gumam Ruslan.
“Kenapa?” tanya Daniel ramah.
“Sebenernya… bukan begitu ceritanya, pak..” kata Ruslan gugup.
Daniel menghela nafas.”Dengar ya dik Ruslan, kita semua enggak bisa menganggap remeh setiap laporan. Apalagi menyangkut Narkotika dan obat terlarang. Kamu sadar? kalau ternyata informasi kamu benar, kamu juga harus ikut tes penggunaan narkoba?”
Ruslan tercekat, “Oh, enggak pak! saya enggak pakai narkoba! sumpah! bapak.. polisi ya?”
Daniel menggeleng. “Rus… lebih baik ceritakan dari awal. Yang sebenarnya.” Daniel pun menyalakan alat perekamnya.
Kemudian Ruslan menceritakan kondisinya. Tentu saja dia menghilangkan bagian bahwa Oom Alfin menyandera ayahnya entah di mana, tapi secara keseluruhan dia memberikan informasi bahwa saudara angkatnya secara teratur diberikan obat mencurigakan yang dikhawatirkannya mengandung zat terlarang.
“Baik. Kita harus uji laboratorium dulu sampel yang kamu bawa. Kita belum bisa bertindak apa-apa sebelum hasilnya keluar. Tapi saya minta kamu tidak kemana-mana dari kota ini sampai hasilnya keluar.” kata Daniel.
“Apa bakalan lama pak?” tanya Ruslan.
“Tergantung. Tapi kalau ada sekian persen saja kemiripan dengan bahan yang kami kategorikan sebagai terlarang, kami akan segera bertindak. Nah, sebaiknya kamu pulang dulu, hati-hati di rumah itu, telepon saya bila kamu butuh bantuan.” kata Daniel sambil menyerahkan kartu namanya.
Ruslan pun dipersilakan pulang. Dia berharap hasilnya bisa menyeret Oom Alfin ke penjara sekaligus menyelamatkan Nando dari kecanduan… bila itu memang obat terlarang.
***
Ruslan pun kembali ke rumah. Dia mengurung diri di kamarnya hingga sore. Bi Leni terpaksa mengantarkan makan siang ke kamarnya. Ruslan gelisah. Dari tadi dia memeriksa ponsel barunya berkali-kali berharap ada kabar. Tapi sepertinya terlalu muluk bila hasil tesnya keluar dengan cepat.
Sore harinya, keluarga Oom Alfin mulai berdatangan. Ruslan mau tak mau ikut makan malam dengan seluruh isi rumah. Makan dalam diam dan dalam kecanggungan. Erry sesekali menatapnya saat makan, dan Ruslan pun membalas tatapan Erry dan menantangnya.
Ketika Ruslan hendak kembali ke kamarnya, di tangga Erry menyusul langkahnya. Dia memegang lengan Ruslan dan berbisik. “Kalau kamu mau tahu mengenai album itu, tengah malam ke kamar saya…”
Ruslan tak menjawab. Erry melepaskan tangannya dan berjalan menuju kamarnya. Apakah ini jebakan? tanya Ruslan dalam hati. Tadi Ruslan juga sudah memperingatkan Nando agar tak berkunjung ke kamarnya. Nando setengah hati menurut.
Ruslan kembali sulit untuk tidur. Dia melihat jam sudah hampir tengah malam. Dia tak tahu seberapa berbahayanya Erry, namum jika dia tak mengambil resiko, dia tak akan pernah tahu jawabannya. Sekali lagi Ruslan melirik ponsel barunya. Belum ada kabar dari Daniel soal hasil tes obat itu. Tapi entah mengapa perasaannya malam itu mengatakan bahwa dia harus tetap membawa ponselnya. Ruslan pun mengantungi ponsel barunya di celana pendek.
***
“Masuk…” suara Erry terdengar dari dalam kamar ketika Ruslan mengetuk pintunya. Saat itu sudah gelap. Tampaknya seisi rumah sudah terlelap. Kecuali Ruslan dan Erry.
Ruslan melangkah masuk dengan hati-hati. Kamar Erry terlihat redup dengan penerangan minimal. Tapi Ruslan bisa melihat Erry sedang berdiri di dekat mejanya. Menatapnya. Entah mengapa malam itu dia berpakaian lengkap seperti orang yang hendak pergi. Erry memakai celana jeans, sepatu, serta jaket berwarna gelap yang risletingnya dia naikkan hingga batas leher. Tangannya dia sembunyikan di belakang tubuhnya.
“Saya udah di sini, Mas. Bisa mulai cerita?” tantang Ruslan. Dia tak berani berdiri terlalu dekat dengan Erry.
“Pertama, saya cuma mau bilang, mencampuri urusan orang lain sampai mengacak-acak kamarnya itu tidak baik,” ujar Erry.
Ruslan mendengus. “Yah! begitu juga perbuatan mengancam dan menghilangkan orang, Mas.”
“Kau mau tahu alasan saya menyimpan foto album itu?” tanya Erry.
“Itu yang saya mau tahu dari kemarin,” sahut Ruslan.
“Saya coba lindungi kamu…” gumam Erry sambil melangkah menghampiri Ruslan.
“Melindungi? bagaimana caranya? membuntuti saya terus?” tanya Ruslan kesal.
Erry menunduk. Cukup lama dia terdiam. “Maafin saya Rus…” kemudian Erry mengeluarkan handuk terlipat yang selama ini dia sembunyikan di punggungnya. Erry pun meraih pintu lemari di dekatnya dan mengeluarkan sebuah botol.
Ketika botol itu dibuka, tercium sedikit oleh Ruslan bau menyengat yang pernah diciumnya sesaat sebelum pingsan di rumah, dan setelah Nando ditemukan tak sadarkan diri saat mereka hendak kabur kemarin.
“Mas..? Jadi benar Mas yang kemarin bikin saya pingsan dan Nando juga?” tanya Ruslan tak percaya. Dia melangkah mundur berusaha menghindari Erry yang perlahan menghampirinya.
“Ini buat kebaikan kamu Rus, saya harus bawa kamu keluar dari rumah ini secepatnya,” kata Erry.
“Apa-apaan sih Mas? jangan deket-deket!” usir Ruslan. Terus terang dia trauma dengan obat bius yang dipakai Erry. Baunya… efeknya…
Gerakan Erry ternyata lebih cepat. Dia meraih tangan Ruslan dan memuntirnya pada punggungnya. Ruslan berteriak. Rupanya di balik ketenangan sikapnya, Erry memiliki gerakan bela diri yang bagus. Ruslan mengaduh kesakitan ketika kepalanya terbentur dinding saat Erry memojokkannya.
“Mas! lepasin!” protes Ruslan. Namun tenaga Erry jauh lebih kuat. Dia menahan Ruslan dengan sebelah tangannya. Sementara telapak tangannya berusaha menuangkan isi botol itu pada handuk yang dia bawa.
“Jangan banyak bergerak. Tenang aja Rus.. Ugh!”
Baru saja Erry hendak membekapkan handuk berbau menyengat itu pada wajah Ruslan, mendadak himpitannya terlepas dan Erry ambruk di lantai. Botol yang dia pegang lepas terguling-guling hingga sontak seluruh ruangan mulai dipenuhi bau menyengat obat bius yang menguar dari botol itu.
Ruslan terbatuk-batuk. Matanya terasa pedas. Dia berusaha melihat siapa yang telah membuat Erry pingsan. Dan tak jauh darinya berdiri Nando sedang terengah-engah sambil memegang kursi meja komputer di kamar Erry. Tangannya terlihat gemetar.
“Nan.. Nando..?”
****
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment