My Blog List

Thursday 23 January 2014

LOVE MY DAD – Bagian 5

SESAAT setelah Bastian bercinta dengan Nico, remaja teman anaknya sendiri yang bernama Steve, mereka terkejut karena Steve kembali ke rumah. “Paah…!” seru Steve di bawah. “Ada Nico ya? kok sepatunya ada di depan?” teriaknya. Terdengar langkah kaki menapaki tangga menuju kamar Bastian. Ketika Steve melihat pintu kamar ayahnya sedikit terbuka, Dia hendak membukanya lebih lebar. Tapi seseorang telah mendorong pintu itu begitu keras hingga membentur kepala Steve. Steve mendadak kehilangan keseimbangan. Pandangannya kabur dan diapun tak sadarkan diri. “Aduuuh Ooom… Steve nya kan jadi pingsan..” ringis Nico ketakutan. Dia berusaha menutupi tubuhnya dengan pakaiannya. “Kamu mau kita ketahuan, hah?” hardik Bastian. Dia sendiri masih dalam keadaan telanjang bulat. Nico menggeleng. “Sudah.. kamu cepet rapihin diri sebelum Steve bangun. Saya pindahin dia ke sofa bawah.” kata Bastian. Diapun mengangkat tubuh Steve yang terkulai. **** Gue baru aja sampai rumah ketika ngeliat selang air ditinggal begitu aja di halaman. Biasanya Papa selalu beresin barang yang dia pakai abis selesai. Kemana Papa? tanya gue dalam hati. Sampai di pintu, gue ngeliat ada sepatu Nico. Kok gue bisa tahu itu sepatu temen gue? yaiyalah! sepatu itu yang paling dia favoritin. Sering banget dipake. Berarti Nico ada di rumah sesuai janjinya dia yang mau datang. Mungkin tadi dia berusaha nelepon gue, cuma baterai hape gue emang udah abis. Gue buka pintu. Sepi. Enggak ada tanda-tanda Papa ataupun Nico di rumah. Jadinya gue berusaha manggil mereka. Mungkin Papa ada di atas. “Paah…! Ada Nico ya? kok sepatunya ada di depan?” Gue pun naik tangga ke atas. Gue ngeliat pintu kamar Papa terbuka sedikit. Baru aja gue mau meriksa ke dalam, tiba-tiba pintu itu ada yang dorong. Yang terakhir gue inget, gue ngerasa pusing. Mata gue kabur. Dan kayaknya gue pingsan. Sadar-sadar gue udah di sofa. Papa nepuk-nepuk pipi gue. “Steve? Steve? kamu enggak apa-apa?” tanya Papa khawatir. Saat gue lebih jelas ngeliat, di sebelah Papa udah ada Nico. Dia juga menatap gue cemas. Entah apa yang dia cemaskan. “Maafin Papa, Steve. Tadi papa enggak sengaja ngedorong pintu kamar.” kata papa sambil meluk gue. “Iya Steve, gue aja sampe kaget. Tadi gue ada di dapur mau ngambil minum pas denger bunyi keras banget,” kata Nico. Gue ngusap-ngusap dahi gue yang kayaknya benjol. “Iya.. enggak apa-apa… cuma pusing dikit,” kata gue berusaha bangkit. Lalu Nico ngajak gue ke kamar buat ngerjain tugas. Entah kenapa hari ini dia kelihatan seneng banget. Hmm.. apa dia tadi enggak sengaja ngeliat papa kerja di kebun enggak pakai baju ya? *** Malamnya gue terbangun. Gue ngeliat Papa ngebuka pintu kamar gue. Gue menahan nafas sambil meneguk ludah. Papa ngedeketin gue. Dia cuma pakai celana bokser. Badannya yang atletis dan senantiasa harus dia jaga sebagai pemilik salah satu pusat kebugaran itu tampak jelas siluetnya di keremangan kamar gue. “Steve…” kata papa sambil megang bahu gue. “Mmm?” jawab gue sambil menggumam manja. “Steve sayang…” rayu papa dengan suara beratnya yang menggoda. “Iya papa.. kenapa papa sayang?” kata gue berusaha lebih manja. “Puasin papa malam ini yah?” tanya papa. Suaranya terdengar bergetar seperti menahan nafsu birahi. “Terserah papa.. Steve nurut aja. Kan Steve sayang papa..” “Bener?” tanya papa mencoba meyakinkan. Gue ngangguk. Papa kemudian naik ke atas ranjang. Dia mulai cium bibir gue sambil menindih gue. Gue menggeliat keenakan saat tubuh papa yang kekar mulai menekan-nekan badan gue. Papa enggak sabaran rupanya. Dia kemudian melepas kaus gue dan melemparnya jauh-jauh. Tangannya yang terasa kasar karena keseringan mengangkat besi-besi berat di tempat fitnes menyelusuri badan gue hingga terasa geli bercampur nikmat. Papa mulai nyiumin leher gue. Janggut papa yang baru tumbuh menggelitik kulit gue hingga gue gak sadar menggelinjang. “Geli pah…” protes gue. Papa enggak peduli. tapi sepertinya malam itu Papa ingin langsung menuju menu utama. Dilepasnya celana pendek gue. Mulut papa langsung menyerang puting gue satu persatu. Dijilat, dikulum, ditarik, hingga digigitnya pelan. Semua itu membuat gue mendesah sambil merenggut rambut papa. “Aaah.. papa…” desah gue manja. Lalu papa bangkit. Dia membasahi jarinya dengan ludah gue. Setelah cukup lama gue kulum jarinya hingga basah, Papa memasukkan jarinya ke dalam lubang pantat gue. “Aah.. Papa… pelan-pelan…” gue protes lagi. Protes setengah hati karena hal itu sebenarnya terasa nikmat. Gue pun mengangkat kaki gue supaya papa lebih leluasa bermain-main mengeksplorasi lubang pantat gue. Setelah dirasa cukup, papa membasahi telapak tangannya dengan ludah dan melumuri kontol beruratnya. Tanpa menunggu persetujuan gue, papa mulai mendorong kontolnya masuk hingga kepalanya menyeruak lubang pantat gue. “Sakit pah… pelan-pelan… akh…” gue menggelinjang. Perlahan-lahan batang kontol papa masuk semakin dalam hingga terbenam seluruhnya. Gue pun secara otomatis mengedut-ngedutkan dinding otot anus gue sehingga kontraksi itu terasa nikmat memijit kontol papa. “Aaah.. Steve.. enak banget…” desah papa. Diapun memeluk gue dan mengangkat badan gue. Sementara itu kaki gue dia lingkarkan di pinggangnya. “Papa mau gendong kamu Steve…” kata papa sambil menggeram. Gue langsung memeluk papa melingkarkan tangan gue di lehernya yang kokoh. Kedua telapak tangan papa meraih dua belah pantatku dan membukanya lebar-lebar sehingga kontolnya leluasa keluar masuk lubang pantat gue. “Papa genjot ya Steve?” tanya Papa. Gue cuma bisa ngangguk. Dan papa pun mulai menggoyang-goyangkan badan gue sehingga kontol papa yang berdiri tegak itu keluar masuk pantat gue berulang kali. “Aaah… aaah.. aah..” posisi di mana papa yang mengambil alih kendali ini terasa nikmat sekali. Badan gue terguncang-guncang oleh gerakan tangan papa. Gue kagum banget sama kekuatan fisik papa yang mampu ngegendong gue sambil melakukan penetrasi di pantat gue. Gue pun mencium papa dan menyelusupkan lidah gue di dalam mulutnya. Papa ngebalas ciuman gue tak kalah ganas sementara rudalnya dengan gagah terus merojok anus gue berkali-kali. Rupanya tusukkan kontol papa telah membuat gue mencapai titik orgasme ketika berkali-kali kepala kontol papa tepat menghujam prostat gue. Ditambah gesekan dengan perut sixpack papa, membuat kontol gue semakin sulit menahan diri untuk mengeluarkan isinya. “Papaa.. Steve mau ke.. ke.. Akh…” teriak gue sambil melengkungkan punggung. Sperma gue memancar dan membasahi perut gue dan papa. Melihat pemandangan itu, Papa menjadi semakin terangsang. “Aah.. papa juga mau keluar.. Aaaah.. ” Dan papa pun menyemprotkan cairan spermanya yang terasa bergalon-galon memenuhi terowongan pantat gue. Tubuh papa gemetar. Dia pun tak kuat ngangkat gue lagi dan menjatuhkan gue di atas ranjang dan menindih gue sambil terengah. Badan kami berdua telah basah oleh keringat. “Aaah.. haah… enak banget, kamu emang hebat banget Nico…” puji papa. “Iyah.. makasih pah… eh? tunggu… Nico?” tanya gue terkejut. Mendadak papa berhenti bernafas dan menatap gue bingung. *** -bersambung-

No comments:

Post a Comment