Wednesday, 22 January 2014
MERANTAU – Bagian 14&15
DALAM kepanikan, Ruslan melihat ke sekitarnya. Rupanya satpam bernama Fajar itu tidak sedang bertugas dilihat dari pakaiannya yang berserakan di lantai dan itu bukanlah seragam dinas. Ah! bukankah kemarin Ruslan mendengar bahwa dia sudah tak bertugas di sini? lalu bagaimana dia bisa masuk?
Ruslan tak ingin berlama-lama berpikir tentang Fajar. Dia melihat tas ransel Nando terlihat penuh. Berarti memang dia berencana ikut dengannya. Lalu entah bagaimana seseorang, kalau memang bukan fajar pelakunya, membuat Nando pingsan. Itu artinya ada yang tahu rencana mereka berdua untuk pergi dari rumah ini.
Terdengar suara langkah-langkah tergesa menuju ke kamar ini. Dalam keremangan cahaya kamar, Ruslan melesat dan berlindung merapat pada dinding di balik pintu kamar Nando.
Benar saja, pintu kamar Nando terbuka keras. Ruslan sekejap melihat Erry dan Oom Alfin menyeruak masuk sebelum dirinya sendiri menyelinap keluar saat kedua orang itu tak memperhatikan. Saat Ruslan berlari menuju pintu depan, dirinya mendengar suara Oom Alfin berteriak-teriak marah ditimpali suara Erry yang memanggil-manggil Nando.
Hampir saja Ruslan terpergok oleh satpam yang bertugas malam itu yang tampaknya karena mendengar keributan di lantai atas, dia meninggalkan posnya dan menghambur masuk berlari melewati pintu utama. Kesempatan ini tak disia-siakan Ruslan. Baginya terlalu merepotkan bila kabur memakai motor. Itulah sebabnya, Ruslan memilih berlari menuju pintu gerbang halaman.
Sialnya, pintu gerbang itu tak bisa dibuka. Ruslan tak bisa menemukan kuncinya karena sepertinya pintu gerbang itu difungsikan secara otomatis. Dia pun berlari menuju pos satpam. Tampaknya gerak-geriknya membuat anjing peliharaan keluarga Oom Alfin menjadi gusar dan menyalak-nyalak ribut. Ruslan yang panik berusaha mencari kunci pintu gerbang namun yang didapatinya adalah meja panel berisi tombol-tombol seukuran meja belajar anak-anak dan monitor layar televisi yang menampilkan gambar dari kamera keamanan.
Tak tahu tombol mana yang biasa digunakan untuk membuka pintu, Ruslan kemudian menggebrak meja panel itu dan menekan seluruh tombolnya. Hasilnya, alarm di rumah Oom Alfin meraung-raung ribut. Pintu garasi terbuka begitu pula pintu gerbang mulai bergerak bergeser dan membuka. Ruslan menarik nafas lega, diapun segera berlari keluar sejauh-jauhnya meninggalkan rumah Oom Alfin yang berisik oleh raungan alarm dan suara anjing yang menyalak kencang. Ruslan berlari seperti melayang. Dia tak ingin menoleh ke belakang, wajahnya terasa kebas oleh angin malam sementara dia nyaris tak merasakan kakinya.
Setelah berlari cukup jauh hingga ke jalan raya, Ruslan berjalan menuju pangkalan ojek yang terparkir beberapa motor dengan pengemudinya yang sambil berusaha mengatur nafasnya agar terlihat sesantai mungkin. Ruslan membungkukkan badannya dan terbatuk-batuk. Setelah nafasnya mulai terasa normal, dirinya menuju salah satu tukang ojek.
“Bang, ke stasiun Gambir bang…” ujar Ruslan berusaha terdengar santai. Toh, dia tak ingin dikira sebagai maling oleh tukang ojek itu yang sedang dikejar orang.
“Gambir? ayo naik!” kata salah satu tukang ojek bertubuh gempal sambil memakai helmnya. Pengemudi ojek itu juga rupanya tak memerhatikan Ruslan yang sedang terengah-engah. Dia menyodorkan helm satunya pada Ruslan sebelum Ruslan naik ke motor.
Butuh sekitar sepuluh menit dari pangkalan ojek menuju stasiun kereta. Langit masih gelap, namun semburat cahaya matahari di ufuk timur sudah nampak menandakan fajar hampir tiba. Tetap saja masih terlalu pagi sampai kereta pertama berangkat menuju desa kelahiran Ruslan. Dengan agak tergesa Ruslan menuju loket penjualan karcis dan membeli tiket kereta. Selanjutnya dia menuju ruang tunggu setelah sebelumnya membeli roti dan minuman kotak dari sebuah minimarket yang buka duapuluh empat jam.
Ruslan yang khawatir dikejar oleh Oom Alfin ataupun Erry atau mungkin suruhan mereka, tak berani duduk di tempat duduk calon penumpang. Ruslan memilih mencari lokasi tersembunyi di balik dinding, memanjat sebuah tembok yang memanjang dan duduk di situ. Ruslan juga takut kalau-kalau keluarga Oom Alfin meneleponnya dan bisa melacaknya melalui ponsel sehingga cepat-cepat dia menonaktifkan ponselnya.
Sambil menarik nafas lega, perlahan Ruslan menghabiskan roti dan minuman dinginnya. Tudung jaketnya dia kenakan agar tak ada yang mengenalinya di stasiun. Dirinya merasa sedih dan sebatang kara. Rasanya tak sabar ingin kembali ke desa, kembali bertemu bapak, dan mencari tahu kabar sahabat dekatnya. Tak terasa air mata meleleh dari sudut matanya.
****
Ruslan menghempaskan tubuhnya di bangku kereta. Dia tak ingin kehilangan tasnya sehingga dia mendekapnya kuat-kuat. Cukup aneh rasanya bahwa baik Oom Alfin ataupun Erry tidak nampak di stasiun. Ruslan tahu, mereka pasti sadar dirinya yang kabur saat terjadi keributan. Tetapi mengapa mereka tak berniat mengejarnya? ataukah memang mereka membiarkan dirinya kabur begitu saja karena toh tak ada artinya kehilangan satu anak angkat yang suka berulah. Tapi bagaimana dengan keadaan Nando? bukankah dia masih sakit? semoga dia baik-baik saja dan hanya pingsan belaka, harap Ruslan dalam hati.
Sampai kereta berjalan, Ruslan sedikit lega karena tak ada orang yang menangkapnya untuk kembali ke rumah Oom Alfin. Dalam perjalanan dirinya tak bisa tidur. Padahal, jarak antara Jakarta dan kampungnya membutuhkan waktu lima jam untuk tiba di sana. Waktu yang sebenarnya bisa dia manfaatkan untuk tidur sejenak. Namun Ruslan tidak bisa. Dia tidak mau.
Sesampainya di stasiun, Ruslan harus menumpang bus lagi ke desanya. Syukurlah, bus yang menuju kampungnya belum berangkat. Bus satu-satunya penghubung antara stasiun di kota dengan desa ruslan hanya melayani penumpang dua kali sehari. Artinya, bila dia ketinggalan bus ini, Ruslan harus menunggu sampai sore.
Perjalanan terasa lama sekali karena Ruslan tak sabaran ingin cepat-cepat tiba di rumahnya. Setelah sampai terminal bus dekat pasar di desa, dia menyewa ojek menuju rumahnya yang terletak lebih jauh ke dalam. Ruslan merasa sudah separuh nyawa, tercabik antara perasaan kangen dan penasaran atas apa yang terjadi di rumahnya. Dirinya tak berani menghidupkan ponsel dan menelepon ayahnya. Biar saja ini menjadi kejutan. Akan dia ceritakan seluruhnya pada bapak, yah, mungkin tidak seluruhnya, setidaknya dia akan menyembunyikan kisah panasnya dengan Nando. Tapi dia akan mati-matian meyakinkan bapaknya agar tak lagi menyuruhnya kembali ke rumah Oom Alfin di Jakarta.
Setengah berlari dan hampir saja terjatuh akibat terburu-buru, Ruslan menghampiri rumahnya. “Pak!! Bapaaak!!” teriak Ruslan. Betapa kagetnya begitu dirinya mengetahui rumahnya terkunci. Ruslan berpikir mungkin ayahnya sedang ada di toko. Tapi dia penasaran, karena kursi dan meja tempat dia dan ayahnya biasa minum kopi sore hari tak ada di teras depan. Ruslan pun berkeliling rumahnya. Semua tirai jendela tertutup, termasuk jendela kamarnya.
Ruslan berlari ke rumah Bik Ani tetangga terdekatnya yang biasa dia hubungi dan titip sesuatu bila ada keperluan.
“Assalamualaikum! Bik! Bik Ani??” seru Ruslan dari teras rumah.
Sesosok wanita empatpuluhan yang memakai daster keluar dari dalam rumah. “Eh, Ruslan?? kapan datang? datang sama bapak?” kata Bik Ani senang.
“Hah? sama bapak? emang bapak ke mana bi?” tanya Ruslan heran.
“Loh, bukannya bapak kamu nyusul sehari abis kamu pergi, Rus? dia titip kunci sama saya termasuk motor kamu segala…” kata Bik Ani sama herannya.
“Apa? nyusul saya? yang bener bi?” tanya Ruslan lagi.
“Iya… emang kamu enggak ketemu bapak kamu Rus?”
“Eng… enggak Bik… Oh iya, ada kunci rumah bik?” tanya Ruslan semakin bingung.
“Oh, ada.. sebentar ya…”
Bik Ani tergesa-gesa kembali ke dalam rumah. Tak lama dia memberikan kunci rumah Ruslan dan Ruslan menyambarnya cepat-cepat.
“Makasih Bi, sebentar ya.. saya lihat rumah dulu,” kata Ruslan sambil berlari kembali menuju rumahnya.
Dengan gemetar tangan Ruslan memasukkan kunci ke lubangnya dan membuka pintu rumah. Dia semakin terkejut ketika mendapati isi rumahnya telah kosong. Tak ada barang apapun kecuali beberapa papan bekas tak terpakai berserakan di lantai. Ruslan bergegas menuju kamarnya. Isi kamarnya pun kosong. Tak ada lagi barang-barangnya termasuk baju-baju serta buku-buku koleksinya dalam kamar.
Bibir Ruslan gemetar. Dia terisak marah sambil menarik rambutnya sendiri. Ke mana Bapak? mengapa dia menghilang begitu saja? Ruslan pun berteriak dengan geram. Dirinya merasa semakin sebatang kara. Tapi dia tersadar, ada satu barang yang bapak tinggalkan. Motornya.
Segera Ruslan keluar rumah kembali menuju rumah Bik Ani.
“Bi… Bibi….!” panggil Ruslan.
“Ya Rus? gimana rumah?” tanya Bi Ani penasaran.
“Oh,, ermm.. gapapa bik. Bik, boleh saya ambil motornya?” tanya Ruslan.
“Iya Rus, sebentar ya? Bibi ambilin dulu kunci sama STNK nya, motornya ada di samping. Baru aja dipanasin sama si Firman.”
Begitu Ruslan mendapatkan kuncinya, dia bergegas menstarter motor miliknya untuk pergi ke rumah Anto. Di perjalanan dia disapa oleh beberapa orang yang Ruslan kenal, namun Ruslan mengabaikan mereka.
Ruslan memacu kendaraannya dengan cepat. Setibanya di rumah Anto sahabatnya, dia pun kembali terkejut. Rumahnya kosong. Menurut tetangganya, sejak kecelakaan yang menimpa Anto, ayah dan ibunya pergi ke kota menemani Anto yang dirawat di rumah sakit di Bandung.
“Bapak tahu di rumah sakit mana?” tanya Ruslan pada tetangga sebelah rumah Anto.
Bapak itu menggeleng. “Enggak tau Rus, mereka perginya juga tidak pamitan. Kayak keburu-buru…”
“Nggak ada nomor telepon yang bisa saya hubungi, pak?”
Bapak itu kembali menggeleng.
Ruslan menghela nafas. Hari sudah menjelang malam. Dan dirinya tak tahu lagi harus ke mana malam ini. Tidur di rumahnya pun percuma, karena tak ada kasur. Perutnya kini terasa lapar.
Jika benar ayahnya pamit pada tetangga untuk menyusulnya, mengapa pada percakapan terakhir dia tak menyebutkan apa-apa soal menyusul? apa mungkin ayahnya diculik atau bahkan terjadi apa-apa padanya di jalan sehingga tak sampai tujuan? Ah! Ruslan terlalu ngeri membayangkan kejadian buruk yang mungkin menimpa ayahnya.
Kemudian dengan lunglai dan pikiran kalut Ruslan mengendarai motornya pelan menuju rumahnya kembali. Tidur di lantai tak masalah, atau mungkin menumpang saja di rumah Bik Ani, pikirnya.
Jantung Ruslan tiba-tiba serasa mencelos dari tempatnya ketika sampai di rumah, ada mobil Jeep sudah terparkir di halaman rumahnya. Jeep yang dia kenal sebagai mobilnya Erry.
Ruslan menghentikan motornya dan memarkirnya agak jauh dari mobil Erry. Perlahan dia mendekati mobil Jeep Erry memastikan bahwa itu benar mobilnya.
“Rus…” sebuah suara dari sebelahnya mengagetkan Ruslan yang berusaha melongok ke dalam mobil Jeep. Ternyata Oom Alfin! Dia berdiri menatap Ruslan sambil menyeringai. Seringai yang dulu tampak membuatnya ramah kebapakan namun sekarang entah mengapa terlihat menyebalkan.
Ruslan tak menjawab sapaan Oom Alfin dan menatapnya penuh curiga. Mendadak dirinya hilang kesabaran dan langsung menyerang Oom Alfin hingga tubuhnya terpojok pada mobil jeep.
Bruk! dorong Ruslan. “Oom apain bapak saya? ke mana dia??” teriak Ruslan sambil meremas kerah jaket Oom Alfin dan mengguncang-guncangnya.
“Rus.. sabar Rus…” kata Oom Alfin sambil tersenyum sinis penuh kemenangan. Mendadak sebuah benda jatuh dari saku jaket Alfin.
Ruslan mengenali benda itu sebagai ponsel yang biasa digunakan ayahnya. Dia pun memungutnya mencoba memastikan bahwa ponsel itu benar milik ayahnya. Setelah diamati bentuk dan warnanya, guratannya, Ruslan yakin ponsel itu milik ayahnya. Dia pun bertambah geram.
“Kenapa hape Bapak bisa ada di tangan Oom??! Hah?? Kenapa?? di mana Bapak??” jerit Ruslan emosi sambil mengacung-acungkan ponsel ayahnya yang dalam keadaan mati.
Oom Alfin masih diam mematung. Seringainya tak putus-putus menghiasi wajahnya.
Menghadapi sikap Oom Alfin yang begitu tenang, Ruslan mundur beberapa langkah.
“Saya laporkan ini ke pak Lurah! saya laporkan ini ke POLISI!” ujar Ruslan dengan nada mengancam. Dia pun berbalik hendak berlari menuju motornya.
“Laporkan saja kalau kamu enggak mau ngelihat bapakmu lagi, Rus…” ujar Oom Alfin santai.
Ruslan menghentikan langkahnya. Perlahan dia membalik badannya mengahadapi Oom Alfin kembali. Tubuhnya bergidik menyadari bahwa orang yang dihadapinya mungkin menderita sakit jiwa.
“Kita pulang Rus. Rumah kamu bukan di sini lagi,” kata Alfin sambil menyodorkan tangannya.
“Ini rumah saya!!” jerit Ruslan tak sabar.
“Kamu udah enggak punya pilihan lain, Rus. Belajarlah menerima hal itu…” ujar Oom Alfin mulai terdengar gusar.
Ruslan masih terdiam. Suara adzan Maghrib sayup-sayup mulai terdengar. Langit pun semakin gelap.
“Ikut saya pulang, atau selamanya kamu enggak ketemu bapakmu lagi,” kata Oom Alfin sekali lagi mengingatkan dengan nada sedikit mengintimidasi.
Dengan berat hati Ruslan melangkah menghampiri Oom Alfin. Wajahnya dihiasi dengan raut penuh kekesalan. Tak ada pilihan lain. Hanya Oom Alfin saja yang tahu di mana ayahnya berada. Walau seperti masuk kembali ke sarang musuh, tapi ini satu-satunya cara menyelidiki misteri menghilangnya bapak, pikir Ruslan.
“Tinggal saja motormu di situ, tadi saya sudah suruh tetangga kamu supaya ambil dan dititip di rumahnya,” perintah Oom Alfin.
“Oom bilang apa aja sama Bi Ani?” selidik Ruslan.
“Oh, cuma menjelaskan kesalahpahaman saja,” jawab Oom Alfin santai.
“Lalu, apa menghilangnya Anto juga hasil kerja Oom?” tanya Ruslan ketus. Dia kemudian mengikuti Oom Alfin masuk ke dalam Jeep milik Erry dengan malas. Ranselnya masih dia dekap.
“Sebenarnya enggak ada niat buat mencelakai dia, waktu itu saya cuma kirim orang saya supaya temanmu itu tutup mulut saat lihat rumah kamu sudah kosong. Tapi teman kamu sial, saat dikejar, motornya oleng dan menabrak pohon. Tenang saja, dia enggak apa-apa, hanya saja sudah saya atur supaya dia enggak kembali ke kampung ini,” kata Oom Alfin sambil terkekeh.
“Atur? atur?? Oom Alfin enak sekali bilang begitu seolah-olah semua ini bisa Oom kuasai!” jerit Ruslan.
“Semua sudah diatur Rus… bahkan kepindahan kamu ke rumah saya sudah direncanakan sejak awal…” kata Oom Alfin dingin.
“A.. apa maksudnya?”
Oom Alfin tak menjawab. Dirinya malah terbahak-bahak. “Sudahlah Rus, enggak usah banyak tanya dulu. Kamu ikut saya, maka semuanya akan baik-baik saja.”
Dengan menahan geram Ruslan tak lagi bertanya-tanya. Dirinya menyadari bahwa kini dia sedang berhadapan dengan orang yang berbahaya. Sangat berbahaya.
“Sudah gelap. Nanti kalau sampai kota, kita cari penginapan dulu. Mata saya sudah tidak sebagus dulu untuk menyetir malam-malam,” kata Oom Alfin.
Ruslan tak menjawab.
****
Sekitar jam delapan malam, Oom Alfin menepikan mobilnya di sebuah restoran pinggir jalan. Restoran itu memang letaknya berada di jalan utama yang biasa digunakan banyak orang untuk menuju provinsi sebelah atau sebaliknya. Itulah sebabnya, banyak penumpang bus antar kota serta mobil-mobil yang melakukan perjalanan jauh terparkir di situ untuk melepas lelah dan mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan.
Walau lapar karena seharian belum makan, Ruslan gengsi untuk terlihat lahap di depan Oom Alfin. Itulah sebabnya dia makan malas-malasan sambil memberengut. Oom Alfin tidak memedulikan tingkah Ruslan dan terus makan.
Rupanya di sebelah restoran ada penginapan yang lumayan bagus. Oom Alfin yang mungkin biasa mendapatkan layanan premium tampaknya tak keberatan bila harus bermalam di hotel yang terdiri dari beberapa bungalow itu. Oom Alfin memarkir jeepnya di depan teras salah satu bungalow dan menyuruh Ruslan turun. Ruslan menuruti perintah Oom Alfin sambil terus mendekap tasnya. Dia enggan bertanya soal Nando karena khawatir akan mengarah ke pembahasan lainnya yang tak ingin dia dengar.
“Oom mandi dulu. Kamu istirahat dulu aja,” kata Oom Alfin sambil melempar kunci mobil ke atas meja.
Ruslan berdiri mematung. Kamar itu hanya memiliki satu buah ranjang ukuran besar. Oom Alfin membuka tas olahraganya dan mengeluarkan handuk serta beberapa potong pakaian.
Karena lelah, Ruslan duduk di atas ranjang. Ranselnya dia letakkan di dekat kaki ranjang tak jauh darinya. Dia menyalakan televisi sementara dari kamar mandi suara kucuran air terdengar.
Lima belas menit kemudian Oom Alfin keluar dari kamar mandi. Oom Alfin sudah berganti pakaian dengan kaus pas badan dan celana pendek training. Dia melempar sebuah handuk putih bersih pada Ruslan. “Mandi dulu sana,” ujarnya.
Ruslan tak ingin berdebat dengan Oom Alfin. Dia kemudian mengeluarkan kaus dan celana pendek dari ranselnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Air hangat dari pancuran sedikit bisa mengurangi stress Ruslan. Dia mencoba untuk rileks dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Menghadapi orang seperti Oom Alfin nampaknya tak bisa dengan cara kalap. Lebih baik dia ikuti permainannya.
Saat Ruslan selesai mandi dan berpakaian, dia melihat Oom Alfin sudah tiduran di atas ranjang. Tangannya menekan-nekan tombol remote televisi. Dia menoleh ke arah Ruslan.
“Sini.. ayo istirahat!” kata Oom Alfin sambil menepuk bagian kosong ranjang di sebelahnya.
Ruslan pun menuruti kemauan Oom Alfin dalam diam. Ruslan kemudian naik ke atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi perutnya. Oom Alfin tersenyum senang. Dia pun mematikan televisi dan lampu kamar sehingga hanya tersisa lampu tempel di dinding yang menerangi kamar itu hingga redup.
Ruslan berusaha menjaga jarak dari Oom Alfin. Diapun berbalik memunggungi Oom Alfin. Matanya tidak bisa terpejam.
Tak lama Ruslan merasa tubuh Oom Alfin bergeser mendekatinya. Ruslan bisa dengan jelas mendengar hembusan nafasnya tak jauh dari tengkuknya. Lalu Ruslan merasakan telapak tangan Oom Alfin meraih bahunya dan mulai mengelusnya perlahan.
“Oom..?” kata Ruslan berusaha mengelak.
Tetapi Oom Alfin tidak memedulikan protes Ruslan. Dia semakin nekad melingkari lengannya yang kekar pada tubuh Ruslan. Ruslan berusaha menolak dengan mendorong tangan Oom Alfin. Hal itu membuat Oom Alfin kesal. Dia membalik tubuh Ruslan dengan paksa dan menindihnya. Dalam keremangan kamar, Ruslan bisa melihat mata Oom Alfin yang menatapnya galak.
“Diam! kamu udah enggak bisa nolak lagi keinginan saya… ingat bapak kamu?” ancam Oom Alfin. Lengannya digunakan untuk menahan bahu Ruslan.
Ruslan mulai terisak, dia merintih memohon agar Oom Alfin berhenti menindihnya. “Jangan Oom…”
“Sebenarnya saya mau simpan untuk lain waktu, saya juga enggak mau pertama kali yang spesial di tempat seperti ini, tapi… mungkin… enggak ada salahnya bermain-main sedikit sama kamu…” desis Oom Alfin sambil mulai menggerayangi leher Ruslan dengan bibirnya. Ruslan meringis. Air matanya mulai mengalir.
“Oh ayolah… kamu kan menikmati waktu Nando kasih servis kamu, hah? sekarang giliran saya kenapa kamu nolak?” kata Oom Alfin dingin penuh nada kemenangan.
Ruslan memejamkan mata sambil menggigit bibir. Sial! Oom Alfin tahu mengenai skandalnya dengan Nando. Maka Ruslan tak banyak pilihan selain membiarkan Oom Alfin berbuat semaunya pada dirinya.
Dengan sekali tarik, Oom Alfin meloloskan kaus yang dikenakan Ruslan. Diapun melepas kausnya dan kembali menindih Ruslan. Kedua puting Oom Alfin yang menempel pada dadanya yang kekar menekan keras dada Ruslan. Ruslan tidak menikmati ini semua. Bahkan ketika Oom Alfin meraba selangkangannya, penis Ruslan sama sekali tak berdiri.
“Oh, baiklah.. berarti saya sendiri yang senang-senang malam ini..” kata Oom Alfin sambil terkekeh.
Kemudian Ruslan merasakan bibir Oom Alfin mulai menciumi lehernya, bergeser hingga dadanya. Tapi yang dia rasakan hanya perasaan sakit dan tidak enak. Dirinya berusaha meronta namun tubuh Oom Alfin lebih kuat menahannya agar tetap di bawah.
“Mmm….” gumam Oom Alfin sambil merengkuh tubuh Ruslan. Kemudian dia melepas celana pendeknya dan menarik celana Ruslan hingga ke lutut.
Sambil memeluk Ruslan, Oom ALfin menekan penisnya pada penis Ruslan dan menggesek-geseknya. Tubuh Ruslan yang pasif ikut terombang-ambing dengan gerakan Oom Alfin. Dirinya tak kuasa menolak keinginan Oom Alfin. Karena tak terangsang, tekanan penis Oom Alfin membuatnya merasa nyeri. Ruslan menggigit bibir berusaha menahan sampai Oom Alfin selesai dengan perbuatannya.
Rupanya Oom Alfin benar-benar terangsang. Beberapa lama dia menggesek-gesekkan penisnya pada Ruslan sambil memeluknya. Kaki Ruslan pun dia lingkarkan pada pinggangnya.
“Aah… aaah…” desah Oom Alfin sambil memejamkan mata. Di tengah rasa jijik dan sakit, Ruslan merasakan penis keras Oom Alfin berdenyut-denyut sesaat sebelum memuntahkan spermanya hingga membasahi perut dan selangkangan Ruslan. “Aaaah…” erang Oom Alfin sambil memeluk Ruslan erat-erat. Tubuhnya gemetar lalu limbung sesaat, kemudian ambruk di atas tubuh Ruslan sambil terengah-engah.
Kemudian Oom Alfin mengangkat tubuh Ruslan yang pasif sambil menciumi kembali lehernya. Masih tak mendapat respon yang diinginkan, Oom Alfin melempar tubuh Ruslan kasar dan menjatuhkannya. “Kayak main sama mayat!” gerutunya.
Oom Alfin pun bangkit dari ranjang sambil mendengus. Dia berjalan menuju kamar mandi. Saat terdengar kucuran air, Ruslan buru-buru meraih handuk dan membersihkan tubuhnya dari sperma Oom Alfin. Dia tidak ingin beranjak dari ranjang. Setelah merasa bersih, Ruslan cepat-cepat mengenakan kembali bajunya dan meringkuk di ranjang sambil terisak.
Oom Alfin sepertinya sudah kehilangan minat pada Ruslan. Saat dia kembali ke ranjang dirinya langsung menarik selimut dan mendengkur tidur. Tinggallah Ruslan terjaga, merasa jijik, terkejut, dan tak berdaya memikirkan dirinya akan kembali ke rumah Oom Alfin. Sangkar yang indah namun menakutkan…
*bersambung*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment