My Blog List

Wednesday 22 January 2014

Merantau – Bagian 4

“Rus? kamu sudah siap?” Suara Erry terdengar dari balik pintu sambil mengetuknya. Ruslan yang sudah selesai berpakaian sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Sudah, Mas! sebentar ya!” Sahutnya. “Aku tunggu di bawah ya, Rus! kamu nyusul aja,” kata Erry. Tak lama terdengar langkah kaki menuruni tangga. Ruslan menggantung handuknya dan merapikan rambut dengan jari-jarinya. Dia menyambar ponsel yang tergeletak di meja dan memeriksanya sesaat. Tak ada balasan pesan dari Bapak ataupun telepon darinya. Ruslan menghela nafas dan mengantungi ponsel itu di saku belakang celana jinsnya. Cepat-cepat dia mengenakan sepatu ketsnya dan menyusul Erry ke bawah. Tepat di tangga paling bawah saat Ruslan hendak menuju pintu depan, dia menghentikan langkahnya. Sekali lagi dia menatap foto keluarga itu. Semua mata yang ada seolah menatap pada Ruslan. Lamunan Ruslan terhenti saat Erry membunyikan klakson mobilnya. Segera Ruslan berlari ke pekarangan di mana Erry dan mobilnya telah menunggu. “Ayo, naik Rus!” sahut Erry. “Kita mau ke mana, Mas?” tanya Ruslan begitu dia duduk di sebelah Erry dan memakai sabuk pengaman. “Ke mall. Beli makanan buat makan malam,” kata Erry. Kemudian dia menjalankan mesin mobilnya dan keluar rumah. Di perjalanan Ruslan gelisah. Ayahnya tak juga membalas SMS yang dikirimkannya. Berkali-kali dia mencoba menghubungi ponsel ayahnya namun nomornya selalu tidak aktif. “Kamu mau telepon siapa, Rus? Bapakmu?” tanya Erry. Ruslan mengangguk. “Iya, Mas. Dari tadi handphone bapak kok enggak aktif terus ya? sms ku aja gak dia bales,” ujar Ruslan khawatir. “Mungkin handphone bapak kamu lagi rusak, atau mungkin gak ada jaringan. Setahu aku sih di desa kamu jaringan telepon seluler enggak begitu bagus kan?” kata Erry mencoba menghibur. “Iya sih, Mas. Mungkin nanti bapak kasih kabar,” ujar Ruslan tak yakin. “Udah, kamu tenang aja dulu. Kita jalan dulu ke mall, beli makan, terus kita pulang,” kata Erry sambil menepuk bahu Ruslan. Ruslan menunduk sedih. **** Mall yang cukup besar itu ternyata ramai dikunjungi sore hari ini. Ruslan belum pernah main ke mall sebesar itu sebelumnya. Paling-paling saat beramai-ramai dengan teman sekelasnya saat liburan sekolah ke mall di kota yang paling dekat dengan desanya. Jadi Ruslan agak sedikit jengah dengan suasananya. Belum lagi dia merasa seperti salah kostum. Memang tidak ada yang salah dengan cara Ruslan berpakaian, namun mungkin karena efek psikologis, Ruslan menjadi sangat tidak percaya diri dengan baju yang dia pakai. Setelah menemani Erry berbelanja di sebuah supermarket selama setengah jam, Ruslan diminta menunggu oleh Erry di sebuah foodcourt. “Rus, aku mau cari makanan dulu untuk di bawa ke rumah, cuma kayaknya aku gak tega lihat kamu ikut jalan terus sambil bawa barang belanjaan begitu. Apalagi kamu pasti masih capek. Jadi kamu tunggu di sini ya? aku udah pesanin makanan dan minuman buat kamu. Nanti diantar.” kata Erry. Sebenarnya Ruslan tak enak hati dengan Erry dan ingin menemaninya. Tapi kakinya benar-benar sudah lelah dan sakit setelah berkeliling mall. Apalagi Ruslan sebenarnya menahan kantuk karena belum beristirahat benar sejak berangkat tadi pagi. Akhirnya Ruslan mengiyakan usulan Erry dan mengangguk tanda setuju. Setelah berpamitan, Erry pun menghilang di tangga jalan menuju lantai bawah foodcourt. Tak lama makanan yang dipesan oleh Erry datang. Ruslan pun dengan lahap menyantap nasi goreng spesial dan jus jeruk di hadapannya. Setelah habis, kembali Ruslan memeriksa ponselnya. Berharap ada SMS balasan dari ayahnya. Namun tak ada sama sekali. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor telepon ayahnya, tapi tetap tak aktif. Kemudian Ruslan mencari-cari nomor ponsel Anto dan menghubunginya. Terdengar nada sambung tiga kali sebelum Anto menjawab panggilan telepon Ruslan. “Woy! udah nyampe kau?” sahut Anto di ujung sana. “Udah, tadi siang,” kata Ruslan. “Semoga betah di sana, ya! jangan lupa oleh-oleh yang banyak buat gue kalau balik ke kampung,” sahut Anto lagi sambil terkekeh. Tak menghiraukan ucapan terakhir Anto, Ruslan langsung mengutarakan maksudnya menelepon. “To, gue boleh minta tolong? kalau kamu kebetulan ada waktu, tolong mampir di rumahku ya? lihat kondisi bapak. Dari tadi gue telepon enggak bisa-bisa nyambung,” pinta Ruslan. “Siap bos, tapi gue juga sekarang lagi di Bandung dan baru balik tiga hari lagi. Kalau lo emang khawatir, telepon pak RT aja suruh nengokin,” usul Anto. Ruslan menghela nafas pasrah. Sebenarnya dia tak ingin seperti ini, belum ada sehari sudah seperti orang kelimpungan dan kebakaran jenggot paranoid hanya karena tak bisa menghubungi ayahnya. Tapi bagi Ruslan, Bapak adalah satu-satunya orang yang menjadi alasan dia hidup. Dan dia sangat menyayangi anggota keluarga satu-satunya itu. “Oke deh, Nto. Nanti gue coba hubungin pak RT. Makasih ya,” pungkas Ruslan. Lalu dia menutup teleponnya. Baru saja Ruslan hendak mencari nomor pak RT yang tinggal lumayan jauh dari rumahnya, sebuah pesan singkat masuk dan membuat ponselnya berbunyi. Dari bapak. Cepat-cepat Ruslan membukanya. “Rus, HP bapak lagi bermasalah, sinyal juga kurang bagus. SMS kamu udah bapak terima. Baik-baik kamu di sana ya. Kalau bapak ada apa-apa, nanti biar bapak yang kabarin aja. Kamu gak usah khawatir.” Bahagia mendapat balasan dari Bapak, buru-buru Ruslan menghubungi nomornya. Tapi lagi-lagi dia harus menelan kekecewaan karena nomor ponsel bapak tak bisa dihubungi lagi. Ruslan menyerah dan berharap ayahnya baik-baik saja walau susah sekali menerima alasan yang diberikan Bapak. Ah, jangan cengeng Rus! belum ada sehari kamu udah kangen begini. Ujarnya dalam hati mencoba menghibur kerinduannya ingin mengobrol dengan ayahnya. “Permisi dik, bangkunya di pakai?” tanya sebuah suara berat namun ramah dari sebelahnya. Ruslan menoleh ke arah suara. Seorang pria berumur empat puluh tahunan, bertubuh pendek dan agak gemuk serta berkumis dan berkacamata tersenyum padanya sambil menunjuk satu bangku yang ada di meja tempat Ruslan duduk. Ada empat bangku di situ. satu diantaranya telah dipakai Ruslan untuk menaruh sebagian belanjaan Erry. “Enggak pak, pakai saja,” kata Ruslan membalas keramahan si Bapak. “Ah, jangan panggil bapak, panggil Oom aja,” kata pria tersebut. Tanpa meminta ijin dia langsung duduk di sebelah Ruslan. Ruslan mengedarkan pandangannya. Memang foodcourt saat itu penuh sekali hampir tak ada meja kosong yang tersisa. “Oom lagi nunggu istri sama anak belanja nih,” katanya tanpa ditanya. Ruslan mencoba bersikap tenang walau dirinya mulai merasa tak nyaman. “Kamu sama siapa ke sini? sendiri? rumah kamu di mana?” selidik si bapak. “Sama kakak, pak.. eh, Oom,” jawab Ruslan gugup. Untuk pertanyaan terakhir, Ruslan merasa tak penting untuk dia jawab. “Kamu kayaknya baru ya, di Jakarta? Kapan-kapan boleh Oom ajak main? boleh minta nomor hape kamu?” berondong pria itu sambil tersenyum sementara tangannya berusaha menyentuh tangan Ruslan. Ruslan menjauhkan tangannya dari usaha bapak itu memegangnya. Dia merasa sangat tidak nyaman. “Permisi pak, saya mau ke toilet,” kata Ruslan sambil berdiri. Dia tak peduli dengan belanjaan Erry yang dia tinggal di bangku. Yang pasti saat itu dia ingin berusaha menjauh dari bapak itu. Ruslan kemudian mencari-cari petunjuk arah menuju toilet, dan dia menemukannya. Dia menoleh ke arah mejanya. Si bapak itu masih duduk di situ. Setelah masuk ke dalam toilet, Ruslan mencari urinoir dan buang air kecil di salah satu urinoir tersebut. Saat dia menyelesaikan urusannya, seseorang mendekati Ruslan dan memakai urinoir tepat di sebelahnya. Si bapak itu! dia menoleh ke arah Ruslan sambil tersenyum. Senyum yang menyebalkan. **** Lebih kurang ajar lagi, si Bapak itu tak cukup membuat jengkel Ruslan dengan seringainya yang menyebalkan, Dia pun berusaha melongok ke arah urinoir Ruslan mencoba mencuri lihat penis Ruslan. Terang saja Ruslan semakin kesal. Dia menatap mata bapak itu dengan tatapan menantang. Tapi rupanya menghadapi pria nekad macam begini, yang baru saja ditemui Ruslan, membuatnya harus berpikir untuk mencari cara lain agar orang itu tahu bahwa Ruslan sangat terganggu. Ketika Ruslan mencuci tangannya di wastafel, sesuai dugaan Ruslan pria kurang ajar itu ikut di sebelahnya. Ruslan mencari akal bagaimana caranya memberi pelajaran pada orang itu. Pria itu merogoh saku belakang jeansnya lalu mengeluarkan dompetnya. Dari dalam dompet dia mengambil selembar kartu nama dan dengan percaya diri menyerahkannya pada Ruslan. “Ini kartu nama saya, kalau kamu mau jalan-jalan ke mana aja, jangan lupa hubungi oom ya?” ujarnya sambil tersenyum. Tangannya lagi-lagi berusaha memegang bahu Ruslan. Ruslan menerima kartu nama itu dalam diam. Lalu dia melihat ember berisi air setengahnya tepat di bawah wastafel. Tak jauh dari Ruslan berdiri memang ada seorang petugas kebersihan sedang mengepel lantai. Tiba-tiba timbul ide agar pria itu tak lagi mengikutinya. Dengan gerakan berusaha dibuat seperti tak sengaja, Ruslan menyenggol ember itu sehingga tumpah dan membasahi bagian bawah celana pria itu. “Arrrgh.. Brengsek!” kata bapak itu sambil melompat-lompat berusaha melindungi celananya agar tak bertambah basah. Petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai di situ buru-buru menghampiri si bapak. “Pak, gak kenapa-napa pak?” tanyanya khawatir sambil membereskan ember yang terguling itu. Memanfaatkan situasi keributan, Ruslan buru-buru keluar toilet menuju meja tempatnya duduk tadi untuk mengambil kantung belanjanya dan segera pergi dari situ. Ruslan bersyukur ternyata Erry sudah ada di meja tempat tadi dia makan. Erry terlihat celingukan mencari-cari sosok Ruslan yang tidak ada di tempatnya sementara kantung belanjanya masih tertinggal di meja. “Mas Erry!” panggil Ruslan. “Hey! kamu dari mana?” tanya Erry. “Dari toilet, Mas! beli makannya udah?” tanya Ruslan sambil menoleh ke belakang khawatir si bapak tadi mengikutinya lagi. Erry tak menjawab. Dia hanya mengangkat dua tangannya yang membawa jinjingan kantung plastik yang mengeluarkan bau harum masakan. “Kita pulang, mas?” ajak Ruslan. “Iya. Ayo. Kamu kenapa sih, Rus? kayak abis dikejar setan,” tanya Erry heran. “Nanti aku ceritain, Mas. Turun dulu yuk?” pinta Ruslan. Keduanya kemudian menuruni eskalator. Kemudian Erry bertanya, “Ada apa sih, Rus?” “Itu tadi mas, ada bapak-bapak, ng… kayaknya dia godain aku, ih.. aneh rasanya,” kata Ruslan sambil bergidik. Mendengar penjelasan Ruslan, Erry tertawa. “Loh, kok mas Erry ketawa?” protes Ruslan. “Kamu sih, kayak anak ilang, sendirian, ganteng pula,” kata Erry sambil menepuk bahu Ruslan. “Hah?” “Dari tadi kamu gak perhatiin kah? aku aja sampai minder jalan sama kamu kok,” jelas Erry sambil tersenyum. “Maksud mas?” tanya Ruslan kebingungan. “Banyak yang perhatiin kamu! emang gak sadar ya, banyak cewek perhatiin kamu? cowok juga kok.. yang Gay,” gelak Erry Ruslan langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. Memang banyak yang tidak peduli pada dirinya, tapi memang beberapa gadis yang sedang berkumpul bersama teman-temannya sedang berbisik-bisik sambil menatap Ruslan. Tiba-tiba Erry merangkul bahu Ruslan sehingga membuatnya merapat ke bahu Erry. Dan ketika Erry melakukan itu, sekelompok pria berkulit bersih dan berdandan rapi menatap aneh ke arah mereka sambil mencibir. Setelah agak jauh mereka berjalan, barulah Erry melepas rangkulannya sambil terkekeh geli. “Kenapa Mas?” tanya Ruslan bingung. “Kita dianggap pacaran sama cowok-cowok tadi,” jelas Erry sambil tertawa. “Ah, Mas! jangan konyol ah! gak suka!” protes Ruslan sambil mendorong Erry menjauh. Belum pernah dia merasa malu karena dianggap penyuka sesama jenis yang dalam pikirannya pastilah gemulai dan kewanita-wanitaan. “Makanya, makin kamu tinggal lama di Jakarta, kamu bakal ketemu manusia-manusia yang lebih ajaib lagi,” kata Erry. Ruslan menghela nafas. Aneh juga kalau ada orang yang menganggap dirinya tampan atau menarik. Selama ini semua pujian yang datang dari teman-temannya kepada Ruslan, murid yang menyukai olahraga itu, dianggapnya angin lalu. Tak pernah dia serius menanggapi ketika ada yang memujinya tampan, ganteng, atau apalah, karena menurutnya hal itu tidak penting. Ruslan menatap Erry. Baru kali ini dia perhatikan kalau Erry juga tergolong tampan dan menarik. Langkahnya yang tenang dan mantap, sering tersenyum, pandangannya penuh percaya diri serta tubuhnya yang tegap membuat auranya juga begitu menonjol diantara orang lain. Ruslan mengalihkan pandangannya dari Erry saat Erry balas menatapnya. “Ingat pesan ayahmu ya, hati-hati bergaul,” kata Erry mengingatkan. Ruslan mengangguk. Setelah keluar dari mall, keduanya menuju parkiran. Ketika mereka datang tadi, Erry memarkir mobilnya di luar bukannya di parkiran lantai bawah mall. Erry membuka pintu belakang Jip nya dan dia serta Ruslan menaruh semua barang yang mereka bawa di kursi belakang. Baru saja Ruslan hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba seorang pria menubruknya sehingga dirinya nyaris terjatuh. “Eh, maaf mas, maaf…” kata orang itu sambil berlalu. Ruslan yang kesal nyaris saja hendak mengajak berkelahi orang itu karena merasa bahunya sakit saat terbentur. Namun dia urungkan niatnya karena merasa tak enak dengan Erry. Kemudian dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang sebelah Erry. “Kamu gak apa-apa, Rus?” tanya Erry. “Gapapa mas,” jawab Ruslan. Tetapi beberapa saat kemudian, ketika Erry hendak menyalakan mesin mobilnya, tiba-tiba Ruslan terperanjat. Dia kemudian memeriksa seluruh kantung yang ada di celananya, dan tanpa sadar meraba-raba dadanya sendiri. “Handphoneku!” serunya. “Kenapa Rus?” tanya Erry. Ruslan kemudian keluar dari mobil dan mencari-cari di sekitar mobil. “Handphone aku enggak ada, Mas!” kata Ruslan cemas. “Masa sih? terakhir kamu taruh di mana? Apa ketinggalan di foodcourt?” Erry bertanya sambil ikut turun dari mobil dan membantu Ruslan mencari. “Tadi kukantongi, Mas! sempat kuperiksa kok pas keluar mall tadi!” “Yang benar?” tanya Erry. Kemudian Ruslan teringat sesuatu. “Yang tadi… orang yang tadi nabrak aku… pasti copet, Mas!” sahut Ruslan sambil berlari ke arah orang tadi pergi dan berusaha mengejarnya.

No comments:

Post a Comment