Wednesday, 22 January 2014
Merantau – Bagian 1
RUSLAN tidak mengerti, mengapa ayahnya “tega” membiarkan dirinya pergi meninggalkan kampungnya ini untuk melanjutkan kuliah. Padahal, sebagai anak satu-satunya, keinginan Ruslan hanyalah menjaga ayahnya di kampung, dan membantu perekonomian keluarga selepas SMA. Mana tega dia meninggalkan ayahnya sendirian, sementara ibunda tercinta telah lebih dulu meninggalkan mereka saat Ruslan berumur sepuluh tahun.
Memang, Ruslan bukanlah anak yang sangat kekurangan. Pria berusia 19 tahun yang lulus SMA tahun lalu itu hidup berdua ayahnya yang memiliki toko kelontong. Bisa dibilang, cukuplah kalau hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagai anak yang dibesarkan di kampung dan hanya memiliki satu orangtua, Ruslan tidak bertingkah macam-macam. Impiannya pun sederhana, meneruskan dan mengembangkan toko kelontong ayahnya selepas SMA. Mungkin kalau sudah lebih mapan, dia akan menikah dan berkeluarga. Dia tinggal memilih salah satu gadis tercantik di kampungnya yang dia anggap terbaik. Untuk remaja setampan Ruslan, dengan tingkah lakunya yang sopan dan rajin, tentu perkara mudah memilih seorang gadis untuk dinikahi. Toh, sejak SMA sebenarnya banyak gadis-gadis yang menyukainya. Sayang, Ruslan tak tertarik berpacaran dengan mereka karena sibuk mengurus ayahnya.Padahal, dengan modal ketampanannya, sebenarnya dia bisa saja menggoda dan mematahkan hati para gadis yang mengharap perhatiannya. Tapi Ruslan tidak seperti itu. Dan itu, makin membuat gadis-gadis terpesona.
“Di Jakarta itu, banyak pilihan buat tempat kamu kuliah, Rus,” Kata ayahnya suatu sore di teras rumah.
“Kalau Rus mau kuliah, ke Jogja malah lebih banyak kampus Pak. Tapi kan Rus gak mau lanjutin kuliah. Rus mau temenin bapak aja di sini,” elak Ruslan sambil mencomot roti yang agak kering sebagai teman minum kopi sore hari.
“Tapi Rus, bapak juga maunya begitu… tapi teman lama bapak nawarin supaya kamu tinggal di rumahnya. Dia mau daftarin kamu kuliah sekalian nampung kamu di rumahnya,” kata Bapak sambil meneguk kopi pahitnya.
“Hah? siapa Pak? Ruslan kenal orangnya?” tanya Ruslan.
“Dulu, waktu kamu masih kecil dan Ibu kamu masih ada, Alfin pernah datang ke sini beberapa kali. Bapak gak tahu kamu ingat apa enggak,” jawab Bapak.
Ruslan mencoba mengingat-ingat sosok Alfin yang disebut-sebut Bapak sebagai teman lamanya. Lama dia berusaha mengingat, tapi tak terbayangkan pernah bertemu orang tersebut dulu saat dia masih kanak-kanak.
“Rus gak yakin mau ikut, pak,” kata Ruslan pesimis.
“Bapak juga sedih Rus, tapi kesempatan seperti ini gak boleh kamu sia-siakan,” kata Bapak sedikit memohon.
“Tapi gimana sama Bapak? Rus gak tega ninggalin Bapak sendirian. Apalagi Bapak sekarang udah mulai sering kena encok dan harus jaga toko tiap hari,” protes Ruslan.
“Bapak gak apa-apa Rus, lagian kamu bisa sering-sering pulang kemari kan Rus? Jakarta kan gak terlalu jauh,” ujar Bapak.
Ya. Memang Desa Ruslan masih terbilang dekat dengan ibu kota. Namun bentang alam yang membuat desanya terisolir dari kota lainnya. Efeknya? lingkungan memang masih terjaga, namun untuk urusan perkembangan teknologi, rasanya desa tempat tinggal Ruslan seperti pelari yang tertinggal jauh dan nafasnya Senin-Kamis. Itulah sebabnya, kebanyakan remaja di sini tidak terkontaminasi pengaruh buruk teknologi seperti pornografi internet. Termasuk Ruslan. Lagipula, dia memang tak tertarik, dan tak ada teman-temannya yang mengajaknya ikut-ikut nakal. Bahkan dia hanya menggunakan fasilitas internet bantuan pemerintah di sekolahnya yang pastinya diblokir dari segala macam konten pornografi. Intinya? Ruslan memang anak baik-baik.
Jam setengah lima sore. Setelah acara ngobrol dengan Bapak sambil minum kopi selesai, Ruslan harus mengambil barang titipan yang akan dijual di tokonya. Sepanjang jalan sambil mengendarai motor dia terus mencoba mengingat-ingat sahabat ayahnya yang bernama Alfin yang menurutnya sudah pernah dia temui saat kanak-kanak, namun gagal. Udara sore yang tumben agak panas membuat Ruslan meminggirkan motornya dalam perjalanan pulang ke rumah. Ruslan tahu, tak jauh dari tempat dia memarkir motor, ada sebuah sungai berair jernih dengan air terjun yang cukup tinggi. Banyak warga desa memanfaatkan tempat ini untuk sekadar mandi dan berenang. Kalau memang benar dia harus pergi ke Jakarta, sebaiknya dia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk sering-sering menikmati segarnya air sungai tempat favoritnya dari kecil.
Langit sudah mulai gelap, dua gadis terakhir yang mandi di sungai baru saja selesai berpakaian. Keduanya tak bisa menahan diri melihat sosok Ruslan yang baru saja tiba. Pikirannya sedang mumet. Ruslan butuh penyegaran. Segera dia buka kaus hitam kesukaannya yang dia beli di salah satu distro di Bandung saat pergi darmawisata bersama teman sekolahnya setahun lalu. Melihat badan Ruslan yang terbuka, langsing dan atletis, membuat dua gadis itu mengikik sambil tersipu sebelum pergi. Ruslan tak memedulikan mereka, benaknya dipenuhi pertanyaan mengapa ayahnya memaksa dirinya untuk pergi dari desa. Kemudian Ruslan membuka celana jeansnya sehingga dia hanya menggunakan celana pendek hitam. Dua gadis barusan rupanya masih penasaran dengan Ruslan. Menyesal karena sudah selesai mandi di sungai, mereka memperlambat jalannya untuk sesekali melihat ke arah Ruslan yang sedang berenang menuju air terjun sampai akhirnya benar-benar pergi. Kemudian Ruslan duduk bersila di sebuah batu yang letaknya agak di pinggir sungai. Tepat diatasnya, terdapat kucuran air terjun yang tidak sebesar air terjun yang meluncur di tengah sungai. Ruslan membiarkan kepalanya dikucuri oleh anak air terjun itu seolah ingin membuat otaknya kembali tenang. Cukup lama dia membiarkan dirinya basah. Ruslan berpikir, seandainya Ibunya masih ada, tentu dia tak akan sekhawatir itu meninggalkan Bapak sendirian. Bahkan mungkin Ibu akan membujuk bapak supaya dirinya tak perlu tinggal di Jakarta.
Saat langit semakin gelap, Ruslan memutuskan untuk pulang. Ah, Sial! kenapa saat seperti ini penisnya menegang? Sebagai anak muda yang bersemangat, mudah bagi pemuda seusianya untuk terangsang tak peduli dalam kondisi dan situasi apapun. Biasanya jika keinginan itu timbul, Ruslan membiarkannya muncul secara alami: menunggu mimpi basah walau terkadang mimpi-mimpinya tak jelas. Atau mengeksekusi keinginan itu di kamarnya sendiri, tempat favoritnya bermasturbasi. Ya, Ruslan tahu bahwa dengan bantuan sentuhan dan genggaman tangannya, maka penisnya yang mengeras itu mendapatkan apa yang dia mau: pelepasan ketegangan. Saking “lurus” pikirannya, bahkan saat Ruslan bermasturbasi tak pernah sedikitpun dia tega menggunakan imajinasinya untuk membayangkan dirinya bercumbu dengan salah satu gadis cantik yang menyukainya.
Buru-buru Ruslan berpakaian. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tak ada yang melihat penisnya menegang dan membuat celananya seperti tenda terbalik. Setelah selesai, Ruslan memacu motornya kembali ke rumah. Oh, Tuhan! rupanya penisnya tak ingin beristirahat. Setelah memasukkan motor, dia menyadari ayahnya sedang tertidur di kamarnya. Tak ingin membangunkannya, Ruslan berjalan pelan menuju kamarnya dan menguncinya. Segera dia melepas kembali kausnya, serta celana Jeansnya yang setengah basah karena celana pendeknya yang basah kuyup. Sebelum naik ke ranjang, Ruslan meloloskan celana pendeknya dan melemparnya ke gundukan baju kotor.
Ketika berbaring di ranjang sambil menatap penisnya yang tegang menantang langit-langit kamarnya, Ruslan melihat dadanya naik turun teratur karena nafasnya. Ruslan memejamkan mata saat jemarinya yang menggenggam penisnya mulai dia gerakkan naik turun. Ruslan menahan nafas, merasakan sensasi nikmat yang timbul dari gesekan yang dia buat sendiri. Nafasnya semakin berat seiring gerakan tangannya yang semakin cepat. Tak ada suara lain yang didengarnya kecuali suara nafasnya sendiri. Ruslan menggigit bibirnya sendiri, mencoba menahan suara erangannya agar tak terdengar bapak di kamar sebelah.
“Ummm….” erangnya tertahan. Matanya menatap lekat-lekat pada tangannya yang bergerak semakin cepat hingga penis Ruslan terasa kebas dan mulai berdenyut-denyut.
Ruslan mengeluarkan desahan berat saat mencapai klimaks. Tubuhnya gemetar saat semburan demi semburan cairan sperma keluar dari penisnya hingga membasahi perut dan dadanya. Setelah usai, Ruslan mencoba mengatur nafasnya kembali. Kemudian dia menyambar handuk, membersihkan tubuh seadanya dan beranjak ke kamar mandi.
***
Malamnya, saat Ruslan baru kembali dari rumah temannya, dia heran melihat sebuah mobil Jeep parkir di halaman rumah. Saat dia mendorong motornya ke teras, Ruslan bisa mendengar suara Bapak dan seorang pria sedang tertawa dari ruang tamu.
“Assalammualaikum!” seru Ruslan saat masuk.
“Hei, Rus! dari mana aja kamu? Oom Alfin dari tadi udah nungguin kamu tuh!” kata Bapak berusaha mengeluarkan nada tak enak hati.
“Dari rumah temen, pak!” ujar Ruslan sambil menghampiri seorang pria yang kira-kira seumuran dengan ayahnya. Kemudian dia mencium tangan pria itu.
Saat itulah Ruslan baru menyadari, bahwa bukan cuma pria bernama Oom Alfin saja yang duduk di kursi tamu dengan Bapak. Ada seorang pria lagi, mungkin usianya beberapa tahun di atas ruslan, berkacamata, cukup tampan, dan duduk tenang sambil tersenyum memandangnya.
“Itu Erry, Rus! anak Oom Alfin yang pertama. Baru aja dipanggil bapaknya dari Kalimantan. Kalau enggak, bisa keenakan dia kerja di sana,” kata Bapak sambil tertawa.
“Ah! Oom bisa aja. Iya nih, saya emang enggak rela balik dari Kalimantan. Proyek di sana lagi bagus-bagusnya terpaksa ditinggal,” jelas cowok bernama Erry itu.
“Sudah besar ya anakmu? mudah-mudahan dia betah kuliah di Jakarta,” kata Oom Alfin. Tangannya menarik lengan Ruslan dan menepuk-nepuknya seolah-olah dia adalah anaknya yang baru saja jadi juara sebuah pertandingan.
Walau Ruslan merasa Oom Alfin seusia dengan Ayahnya, tak bisa dipungkiri, Oom Alfin kelihatan jauh lebih terawat dibanding Bapak. Tubuhnya masih terlihat gagah untuk pria seusianya. Perutnya rata, tak seperti kebanyakan pria seusianya yang mulai membuncit. Oom Alfin yang memakai kaus Polo warna hijau cerah itu memperlihatkan sebagian lengannya yang kelihatan masih kencang dan terlatih.
Sedangkan Erry, entah mengapa dari tadi Ruslan enggan menatapnya. Walapun Erry tampaknya sangat ramah, ada perasaan misterius yang membuat Ruslan tak bisa menerka-nerka kepribadiannya. Erry lebih tinggi dari ayahnya, dan juga dari Ruslan. Rambutnya tersisir rapi. Dia memakai kemeja biru langit lengan panjang yang sedikit kebesaran, menutupi badannya yang tak terlalu langsing namun tak pula terlalu berisi.
Ruslan berusaha bersikap sopan dan menghormati tamunya. Tapi dari situ dia sadar bahwa keputusan ayahnya bukanlah main-main. Mereka membicarakan rencana kapan Ruslan sebaiknya berangkat. Sesekali dia menimpalinya dengan ucapan singkat dan ikut tertawa, tapi sebenarnya perasaan Ruslan semakin tertekan. Saat melamun dia tiba-tiba merasa Erry menatapnya. Saat berbalik menatap Erry, cowok itu langsung melihat ke arah lain dan ikut tertawa. Tapi sekilas Ruslan bisa melihat tatapan Erry yang aneh. Apa mungkin dia tidak suka padanya? pikir Ruslan. Itu mungkin saja. Mungkin Erry tak suka ada orang asing yang tiba-tiba pindah ke rumahnya, menumpang, apalagi sampai dibiayai kuliahnya. Tapi Ruslan yakin, tatapan tadi bukanlah tatapan benci. Tetapi lebih kepada kasihan…
“Kalian menginap di mana? tidur saja di sini,” tawar Bapak. Ayah Ruslan pasti sudah menyadari bahwa perjuangan Alfin dan Erry menuju desa mereka itu cukup berat.
“Ah, kalau kami belum ada janji sama pak Camat, pasti kita berdua nginap di sini Di,” kata Oom Alfin.
“Betul Oom, kami enggak enak sama Pak Camat. Rencana kita mau bangun sarana olahraga di sini disambut baik sama beliau. Dia maksa kita tinggal di tempatnya dan mengurus segala keperluan kita di sini beberapa hari. Kita jadi gak enak,” tambah Erry.
Rupanya Oom Alfin dulunya pernah tinggal di desa ini. Setelah sukses, dia kembali ke sini dan mencoba membantu pembangunan desa, apapun yang sekiranya bisa dia lakukan untuk kampung halamannya.
“Rus, kalau kamu sudah siap berangkat, kapan aja hubungin Oom ya? nanti biar Oom atau Erry, atau siapapun jemput kamu,” kata Oom Alfin sambil menyerahkan selembar kartu nama pada Ruslan.
“Iya, Oom. Makasih,” ujar Ruslan sambil menerima kartu nama itu.
Malamnya Ruslan tak bisa tidur. Dia menutup wajahnya dengan bantal. Membayangkan tinggal dengan Oom Alfin mungkin tak seburuk perkiraannya. Dia terlihat baik dan cukup tulus dan bersungguh-sungguh. Cuma masalahnya, Ruslan tak yakin dengan sikap Erry padanya. Bagaimana kalau di sana justru Erry akan menyusahkannya? kalau memang demikian, berarti Ruslan punya alasan untuk kembali pulang ke desa tercintanya. Dan pikiran itu sedikit membuatnya tenang dan akhirnya dia pun tertidur.
***
Satu minggu kemudian, Ruslan telah menghubungi Oom Alfin dan memberitahunya bahwa akhir minggu ini dia akan berangkat ke Jakarta. Walau Oom Alfin awalnya bersikeras hendak menjemput Ruslan ke desa, Ruslan yang merasa tak enak bersikukuh ingin berangkat sendiri. Akhirnya disepakati kalau Oom Alfin membiarkan Ruslan berangkat sendiri, dan Erry akan menjemputnya di stasiun kereta.
“Sudah semuanya, Rus? Ijazah kamu jangan lupa dibawa,” kata Bapak mengingatkan.
“Sudah pak, Rus jadiin satu semua berkas-berkas penting,” jawab Ruslan.
“Hati-hati, jangan sampai hilang ya, Nak. Susah urusnya lagi nanti,” Bapak yang agak cemas kembali meyakinkan Ruslan.
Ruslan mengangguk dan tersenyum menenangkan ayahnya sambil menutup risleting tas travelnya. Ayah Ruslan menunduk sedih. Ruslan sendiri heran, mengapa Ayahnya yang sekarang terlihat lesu seolah-olah anak semata wayangnya itu akan pergi jauh tak kembali lagi. Padahal Ruslan sudah meyakinkan ayahnya kalau selama perkuliahan belum dimulai, dirinya akan rutin pulang ke desa minimal dua minggu sekali.
“Kamu di sana hati-hati. Bapak lebih ngeri ngebayangin pergaulan gak bener di sana, Rus,” kata Bapak cemas. “Jangan pakai narkoba ya? jangan juga pulang-pulang kamu bawa perempuan yang sudah hamil dan minta dinikahin, duh… gusti… jangan sampai…” lanjut Bapak makin cemas.
Ruslan bangkit dan memeluk ayahnya. “Rus janji jadi anak baik dan enggak ngecewain bapak. Doain Rus cepat selesai kuliah ya pak? biar anak bapak ini sukses dan bisa ngebahagiain bapak.”
Mendengar ucapan Ruslan, ayahnya terisak. Namun buru-buru air matanya dihapus saat Ruslan melepas pelukannya. “Maafin Bapak ya, Rus. Bapak maksa kamu kayak gini. Bapak cuma pengen yang terbaik buat anak bapak.”
“Iya pak. Gapapa. Rus ngerti, kok,” kata Ruslan sambil memegang bahu ayahnya.
“Besok kamu diantar siapa ke terminal bus? Bapak enggak kuat boncengin kamu Rus, encok bapak lagi gak bisa diajak kompromi,” tanya Bapak.
“Anto yang antar pak, dia jemput besok pagi,” jawab Ruslan menyebut nama sahabatnya sejak SMP.
“Ya udah. Kamu cepet tidur sekarang, biar besok seger dan gak kesiangan,” ujar Bapak.
Ruslan mengangguk. Dan setelah Bapak pamit menuju kamarnya, Ruslan menutup pintu kamar dan melompat ke kasur.
***
Ruslan tak ingat kapan dia tertidur. Tapi lewat tengah malam dia terbangun dan melihat gorden di pintu kamarnya melambai-lambai terkena angin karena pintunya terbuka. Ruslan mengerjap-ngerjapkan matanya masih setengah sadar sambil menatap heran pintu itu, karena seingatnya dia telah menutupnya tadi. Masih sangat mengantuk, tangan Ruslan menggapai-gapai meja di dekat ranjangnya mencoba meraih ponselnya. Saat menemukan ponselnya, buru-buru dia melihat layarnya yang menunjukkan pukul dua pagi lewat lima belas menit. Tapi sontak tubuh Ruslan merinding. Dia merasa tak sendirian di kamar itu. Ada sesuatu, atau seseorang berdiri di dekat ranjangnya. Ruslan bisa mendengar orang itu bernafas. Ruslan terlonjak dan hendak melompat dari ranjangnya, tapi orang itu lebih dulu berhasil menarik kaki Ruslan dan membekap mulutnya di atas ranjang mencoba menahan Ruslan untuk berteriak.
Ruslan meronta berusaha melepaskan diri dari sergapan orang asing di kamarnya, namun tenaga orang itu lebih kuat. Ruslan tak bisa melihat dengan jelas sosok yang membekapnya itu. Hidungnya mencium bau kulit dari sarung tangan yang dikenakan orang itu untuk membekap mulutnya. Nafas Ruslan memburu karena ketakutan. Dia merasakan keringat dingin mengucur di dahinya. Tubuhnya gemetaran. Apa dia perampok? apakah dia bersama gerombolannya? Bapak! apakah Bapak baik-baik saja? Oh, Tuhan! apakah dirinya dan ayahnya akan menjadi korban perampokan sadis malam ini? pikiran Ruslan berkecamuk.
“Jangan berangkat kalau kamu gak mau mati!” ancam sosok itu dengan desisan jahat dan mengerikan di telinga Ruslan.
Tak sampai sepersekian detik, Ruslan mencium aroma menyengat. Pandangannya gelap dan berkunang-kunang hingga kemudian dirinya tak sadarkan diri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment