My Blog List

Thursday, 23 January 2014

Love My Dad (Bagian – 2)

“Steve…” protes Papa. Tapi protesnya itu bernada setengah hati. Gue pun tidak memedulikannya dan terus menservis tubuh papa. “Akh…” geliat Papa saat gue menggigit salah satu tonjolan sixpacknya dekat dengan pusarnya. Rupanya itu salah satu titik g-spot milik papa. Gue pun semakin bersemangat berfokus pada daerah itu. Dengan lidah, gue sapu pusar papa beberapa kali. Hal itu sudah cukup membuat Papa beberapa kali terlonjak sambil mengerang. “Ouh! Ouh!” erang Papa. Secara gak sadar Papa meregangkan kedua pahanya dan lengannya meremas sprei erat-erat. Geliat papa makin menghebat saat gue menciumi bagian bawah pusarnya sambil menurunkan perlahan celana boxernya. Gue menggelitik hidung gue sendiri pada rambut kemaluan Papa yang kini terekspos. “Ssshh.. Steve…” desis Papa. Gue tahu, Papa sudah tahu niatku yang ingin mengoral kontol Papa. Gue tarik lagi celana boxer Papa hingga batang kontol dan buah zakarnya menyembur bebas keluar. Batang kontol itu tampak mulai mengeras. Gue menatap Papa penuh arti yang memandang gue dengan gugup. Berkali-kali Papa meneguk ludah dan dadanya naik turun mengantisipasi atas apa yang bakal gue lakuin. “Mmmm…” gue bergumam pelan dengan menyentuhkan bibir gue pada kulit batang kontol papa yang berurat itu. Gue genggam perlahan dan mulai mengocoknya naik turun. “Oouuhh…” Papa mendesah saat kepala kontolnya mulai gue masukkan ke dalam mulut. Sensasi kehangatan mulut gue dan basahnya liur yang melumuri kontol Papa membuatnya semakin menggeliat. Aliran darah yang cepat mengisi pembuluh-pembuluh darah pada kontol Papa membuatnya berkedut-kedut dan semakin mengeras. Gue semakin semangat mengulum kontol Papa yang ukurannya cukup fantastis. Gue langsung membayangkan bagaimana rasanya bila kontol sebesar milik Papa menerobos lubang pantatku yang kini berdenyut-denyut seolah mengharap untuk dipuaskan. “Ouuw.. Steve… Ouuw…” Desah Papa. Pinggulnya bergerak-gerak keenakan saat gue berusaha semampu gue memasukkan batang kontol Papa seluruhnya ke dalam mulut. Tangan Papa mengusap-usap pundakku seolah memberi semangat atas aksi gue membuatnya nikmat. Dengan perlahan tak ingin melewatkan satu sentipun kulit kontol Papa, gue kulum, gue sedot, gue lumuri dengan liur hangat sehingga desahan Papa semakin menggila. Cukup lama gue melakukan itu sampai kemudian gue berdiri di atas tubuh Papa. “Steve?” tanya Papa heran. Gue kemudian berjongkok tepat di atas selangkangan Papa. Gue raih kontol Papa yang tegak menantang dan basah oleh ludah gue sambil berkata “Yang paling enak, bakal Papa rasain..” Gue tersenyum penuh arti sambil menurunkan pantat gue, sementara tangan gue satunya yang menggenggam kontol papa berusaha menempatkannya tepat di luar lubang anusku. “Aaah….” gue mendesah sambil memejamkan mata saat batang kontol papa yang kuarahkan pada lubang pantat gue kini mulai menyeruak masuk seiring diturunkannya pantat gue lebih rendah. “Ohh…” desah Papa takjub. Matanya melotot terkejut mendapatkan sensasi yang baru dia rasakan saat batang kontolnya perlahan masuk ke dalam lubang yang sempit dan ketat yang berdenyut-denyut memijat kontol Papa. “Steve…” ujarnya sambil menatap mata gue. Tak percaya bahwa lubang pantat anaknya bisa membuatnya senikmat itu. “Aaaaah…..” gue mendesah menahan perih saat kontol papa masuk semakin dalam pada terowongan anus gue. Reaksi pantatku menerima kehadiran batang sebesar itu adalah berdenyut-denyut protes. Namun denyutan itu malah mendatangkan sensasi kenikmatan luar biasa pada kontol Papa yang serasa dipijat, lebih nikmat dari jepitan vagina mama. “Ouuuhhh.. ” erang Papa. Tangannya yang kekar mencengkeram pinggang gue mencoba mengontrol gerakan badan gue. Gue kemudian mengatur nafas mencoba terbiasa dengan kontol papa yang tertancap di pantat. Gue lalu membenamkan wajahku pada dada papa dan memeluknya. Setelah terbiasa, gue kemudian bangkit sambil bertumpu pada dada bidang papa dengan tangan. Perlahan gue mulai menaik-turunkan pinggul seirama dengan keluar masuknya kontol papa. “Aaaaaah…..” papa mendesah. Sensasi nikmat menjalar di tubuhnya seiring gerakan naik turun pinggang gue yang membuat papa dalam gerakan mengentot. Gue memejamkan mata, menggoyang pinggul agar kontol papa tepat menghujam prostat gue. Pokoknya, kontol papa benar-benar kumanfaatkan untuk mencari kenikmatan gue sendiri, sambil membuat papa nikmat juga. “Ah… punya papa gede banget sih…” protes gue tanpa bermaksud mengeluh. Gue terus menggenjot pinggang gue naik turun di atas badan papa. “Steve? punya kamu kok..?” tanya papa heran. Dia rupanya tak menyangka, posisi ditusuk seperti itu bisa membuat kontol gue sendiri tegang. “Enak pah…” desah gue. Rupanya posisi pasif membuat Papa tidak tahan. Rupanya dia ingin mengambil alih kuasa atas permainan terlarang kami. Papa kemudian bangkit dan meraih pinggang gue. Setelah itu, dia lalu merebahkan gue di atas ranjang. Giliran papa lah sekarang yang bertindak aktif. Kaki gue dibukanya lebar-lebar. Gue jadi leluasa meraba-raba tubuh papa dengan aktif sambil menikmati hentakan pinggulnya. “Ah.. ah.. ah..” erang gue menahan sakit campur nikmat. Papa begitu bernafsu merojok pantat gue sampai tubuhnya berkeringat. Gue kemudian bangkit dari ranjang dan bertumpu pada sikut gue. Dengan lahap gue jilatin puting papa dan mengisapnya bercampur dengan sedikit keringat papa yang menetes. Gerakan gue membuat Papa semakin menggila. Kemudian gue mulai mengocok kontol gue sendiri yang sudah tegang maksimal akibat prostat yang dihajar terus oleh kontol Papa. “Steve udah mau keluar pah…” erang gue sambil terus mengocok kontol. Papa semakin mempercepat gerakannya yang membuat gue semakin horny. “Aaaaaaah……” gue mengerang panjang ketika sperma gue akhirnya muncrat dan membasahi dada dan perut papa di atasku. Papa pun sepertinya ingin klimaks, dia mempercepat gerakannya. “Steve… akhh… ” kata Papa sambil memejamkan mata. “Keluarin pah… ayo pah… keluarin di dalam pah…” kata gue memberi semangat Papa sambil merangkul tubuhnya. “Aaaakh…..” erang papa panjang ketika berkali-kali kontolnya menyemburkan sperma di dalam terowongan pantatku hingga terasa hangat. Tubuh papa menjadi limbung, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya di atas badan gue. Nafasnya tersengal-sengal. Wajahnya dia benamkan di atas bantal tepat disebelah kepala gue. Dengan penuh kasih sayang gue usap-usap punggung papa yang basah oleh keringat. Perlahan-lahan kontol papa yang melunak keluar dengan sendirinya dari pantat gue. Papa lalu mendongakkan wajahnya dan menatap gue. “Steve…” kata Papa. Sepertinya dia bingung ingin berkata apa. “Makasih Pah.. Steve sayang papa…” kata gue sambil tersenyum. Lalu gue berikan kecupan di pipinya. Papa tertegun tapi tak berkata apa-apa. Kemudian gue beringsut pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Tak lama kemudian, gue mendengar ketukan di pintu kamar mandi saat sedang asyik menikmati guyuran shower. Tak menunggu jawaban, Papa masuk ke dalam kamar mandi yang memang sengaja gak gue kunci. “Papa ikut mandi ya?” tanya papa sambil tersenyum. Dia masih tak berpakaian. Lalu gue menarik papa ke dalam bilik shower. **** TAMAT…. EH BELUM DEH… **** Bastian tak menyangka bahwa dirinya bisa melakukan perbuatan terlarang: melakukan hubungan seks sejenis, bahkan dengan anak laki-lakinya sendiri. Peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu. Anaknya yang bernama Steve memang tak mempermasalahkan hal itu. Tapi mau tak mau dirinya terpengaruh. Beberapa kali Bastian merasa canggung berbicara dengan putranya sendiri. Kadang dia menghindari percakapan dengan Steve dan enggan bertatap mata dengan anak satu-satunya itu. Dia merasa Steve terganggu dengan sikapnya. Steve tak mengerti, bagi Bastian hal itu benar-benar membuat dirinya mempertanyakan moralnya sendiri. Steve mungkin hanyalah remaja biasa yang belum bisa membedakan mana salah dan benar. Baginya rasa sayang terhadap Papanya dia ekspresikan tak peduli bagaimana caranya. Tapi pengalaman bercinta dengan anaknya sendiri di sisi lain membuatnya terus teringat-ingat. Sensasi panas, liar, dengan pacuan adrenalin merupakan kombinasi yang sempurna dalam mendapatkan seks ternikmat dalam hidupnya. Membayangkan pantat anaknya yang menjepit ketat penisnya membuatnya terangsang. Sangat kontradiksi dengan kata hatinya yang terus menerus mengatakan bahwa perbuatan itu salah. Akibatnya, Bastian sering melamun. Seperti sabtu sore itu. Dia yang sedang mengurus pekarangan dengan bertelanjang dada, terlalu lama menyemprotkan air dari selang yang dia genggam. Bastian tersadar dari lamunannya saat bel di pintu pagarnya berbunyi. “Ya? kamu siapa?” tanya Bastian sesaat setelah dirinya membuka pintu pagar rumahnya. Di luar ada sesosok remaja tampan seumuran Steve yang kini sedang tak ada di rumah. “Sore Oom, saya Nico teman Steve. Stevenya ada?” tanya remaja itu riang. Melihat remaja itu, entah mengapa kontol Bastian semakin tegang… *bersambung*

No comments:

Post a Comment