My Blog List

Wednesday, 22 January 2014

Merantau – Bagian 7

SAAT Ruslan hendak menghidupkan mesin motornya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Erry menelepon. “Ya, Mas?” sahut Ruslan. “Rus, kalau urusan kamu udah selesai, tolong balik ke rumah. Nando di sana. Tadi aku minta tolong supaya antar kamu ke kampusnya, supaya kamu bisa lihat lokasi sekaligus urus berkas-berkas buat pendaftaran,” kata Erry. “Iya Mas, aku pulang. Nomor lamaku belum bisa kuurus. Masih… umm.. masih tunggu dua-tiga hari lagi…” jelas Ruslan tanpa mau memperinci penyebab dirinya tak bisa mendapatkan kembali nomor telepon lamanya. “Oh, begitu ya? kamu pulang dulu aja. Jemput Nando. aku tadi bilang ke dia supaya enggak macam-macam sama kamu,” tegas Erry. Ruslan tak menjawab. Erry kemudian menyudahi pembicaraannya. Ruslan melirik arlojinya. Sudah jam dua lewat. Lalu dia kembali ke rumahnya sambil mencoba mengingat-ingat rutenya berangkat tadi. Kira-kira setengah jam kemudian, Ruslan tiba di rumah Oom Alfin. Dia mengetuk pintu gerbang dan membunyikan klakson beberapa kali. Namun satpam yang jaga belum juga membukakan pintu untuknya. Sambil berusaha melihat keadaan, Ruslan melongokkan kepalanya dari arah celah-celah besi pagar mencoba mencari tahu apakah ada seseorang di pos satpam. Jantungnya nyaris copot ketika anjing peliharaan Oom Alfin menyalak dan melompat ganas ke arah wajahnya dari dalam pagar. Tak lama, dari dalam garasi Bi Leni berlari terburu-buru ke arah pintu pagar. Dengan gerakan tangan dan sahutan, dia mengusir anjing itu pergi kembali ke kandangnya. Bi Leni memutar kunci pintu gerbang dan menariknya sehingga terbuka dan cukup bagi Ruslan dan motornya untuk masuk. “Satpamnya ke mana, Bi?” tanya Ruslan. “Enggak tau, mas! mungkin ke toilet.” jawab Bi Leni. “Ooo… oiya, Nando ada di rumah, Bi?” tanya Ruslan saat dia mematikan mesin motornya dan menurunkan stander-nya di dekat teras. “Tadi sih, sekitar setengah jam lalu kayaknya Mas Nando udah pulang, tapi dari tadi Bibi ada di dapur nonton tv. Coba aja Mas Ruslan cek ke kamarnya,” saran Bi Leni. Ruslan mengangguk. Kemudian dia masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Nando yang terletak di sebelah kamarnya. Baru saja Ruslan meniti tangga terakhir, dia melihat Fajar si satpam keluar dari kamar Nando. Ruslan menghentikan langkahnya sambil mengawasi satpam muda itu. Mendapati dirinya terpergok oleh Ruslan, entah mengapa satpam itu menjadi salah tingkah. Kancing kemeja bagian atasnya terbuka dan seragamnya sedikit kusut, tak serapi saat Ruslan berangkat tadi pagi. “Sore pak, permisi…” kata Satpam itu saat berpapasan dengan Ruslan. Dia kemudian terburu-buru turun dari tangga tanpa mau menoleh ke arah Ruslan yang mengawasinya hingga dia keluar rumah. Ruslan pun tak menghiraukan satpam itu. Kemudian dia mengetuk kamar Nando. “Siapa?” sahut Nando. Terdengar bunyi mesin mobil meraung-raung dari dalam kamarnya. “Aku… Ruslan…” kata Ruslan. “Masuk aja, Rus!” perintah Nando. Ruslan mematuhi. Ketika dia masuk kamar Nando, ruangan itu agak berantakan. Buku-buku berserakan dan spreinya acak-acakan. Nando sendiri sedang asik bermain playstation tak jauh dari ranjangnya. Dia bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek longgar. Kamar Nando sama persis ukuran dan perabotnya dengan kamar Ruslan. Hanya saja, kesan sudah lama ditinggali dan dimodifikasi oleh pemiliknya sangat terasa. “Mau ke kampusku kan? sebentar ya… tanggung nih,” katanya asyik menatap layar TV tanpa melihat ke arah Ruslan. Ruslan kemudian memilih duduk di atas ranjang Nando sambil berusaha melihat ke sekeliling kamar. “Ahh!!! sial! kalah lagi!” umpat Nando sambil mengangkat joystiknya ke atas kepalanya. Lalu dengan sekali gerakan dia menekan tombol saklar di kabel sambungan listrik sehingga TV dan playstation miliknya mati sekaligus. “Yuk, berangkat! kita pakai motormu aja ya? sudah dikasih Papa kan?” kata Nando setelah dia bangkit dari lantai. Dia kemudian mengaduk-aduk tumpukan kaus di atas sebuah kursi. Nando Memilih-milih kaus itu dan mengendusnya beberapa kali. Setelah melempar kaus biru dan kuning ke lantai, dia memakai kaus merah yang juga sempat diendusnya namun tak sampai membuat hidung dan matanya berkerut. “Kampus kamu di mana, Ndo?” tanya Ruslan sambil memerhatikan Nando memakai celana jeansnya. “Enggak jauh kok dari sini. Yuk berangkat!” ajaknya. Kemudian Nando menyambar ranselnya dan menjejalkan kakinya asal-asalan pada sepatu ketsnya. Ruslan kemudian mengikuti Nando keluar kamar. “Lu gak usah bawa macem-macem perlengkapan dulu lah, kita santai-santai aja di kampus sambil makan. Urusan pendaftaran besok aja,” saran Nando sambil melangkah turun tangga. Tak ingin membuat masalah dengan Nando, Ruslan mengangguk setuju. Dia kemudian menunggu Nando yang mencari helmnya di ruang keluarga. saat dia keluar menenteng helm, mulutnya menjepit sepotong kue. Sempat-sempatnya dia ke dapur, gumam Ruslan dalam hati. *** Nando melompat ke jok belakang motor saat Ruslan menghidupkan mesinnya. Dia kemudian berkata nyaris berbisik pada Ruslan, “Inget ya! di depan semua orang, kita musuhan!” Ruslan mengangguk. Keduanya kemudian melesat keluar rumah. Tangan Nando dengan cueknya dia lingkarkan ke pinggang Ruslan hingga Ruslan salah tingkah. Seakrab-akrabnya Ruslan dengan teman prianya, biasanya tak sampai berani merangkul pinggang temannya saat dibonceng, begitu juga sebaliknya. Namun Ruslan berusaha mengabaikan tingkah Nando dan mendengarkan setiap arahannya di jalan untuk menuju kampus. Memang sikap Nando cukup baik di kampus. Saat bertemu dengan teman-temannya, dia tampak sangat akrab dan mengenalkan Ruslan sebagai sepupunya. Ruslan Heran, mengapa sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat bila berhadapan dengan Oom Alfin. Nando pun mengajak Ruslan makan di kantin. Saat Nando pamit sebentar untuk memesan makanan dan menyapa temannya sebentar, Ruslan mencoba kembali menghubungi ayahnya. Tak berhasil. Satu menit kemudian, ponselnya bergetar. Anto menelepon! dengan antusias Ruslan mengangkatnya. “Halo? Halo? Nto? Gimana?” cecar Ruslan. “Rus, gue… gue baru aja habis dari rumah bokap lu..” kata Anto serius. “Terus? gimana bokap? lo ketemu dia?” tanya Ruslan. “Itu dia Rus, rumah… … bokap … anu…” suara Anto timbul tenggelam ditimpali bunyi gemerisik. “Halo? Halo Nto? Anto! Halo? PUTUS-PUTUS!” sahut Ruslan tak sabar. Tak ada jawaban dari Anto melainkan suara gemerisik seperti sinyal buruk. Kemudian terputus. “HALO?! HALO?! ANTO?!” panggil Ruslan. Kemudian dia berusaha menghubungi kembali nomor sahabatnya. Namun yang terdengar hanyalah suara rekaman wanita “Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar servis area” Sampai tiga kali Ruslan mencoba menghubungi nomor ponsel Anto, namun seperti nomor ayahnya, nomor sahabatnya itu pun tak lagi aktif. Dirinya berusaha mencoba menebak-nebak apa yang berusaha disampaikan oleh sahabatnya di telepon. Kemudian dia mengirim SMS ke nomor itu. “SMS gue kalau ada kabar! cepet!” “Kenapa, Rus?” tanya Nando saat dia kembali ke meja kantin sambil membawa segelas es jeruk. “Temen gue… gak bisa dihubungi…” sesal Ruslan. “Ooo.. iya.. handphone kamu kemarin hilang ya?” tanya Nando memastikan. Ruslan mengangguk. “Udahlah, gak usah dipikirin dulu. Kadang yang dikhawatirkan ternyata bukan apa-apa,” kata Nando mencoba menenangkan Ruslan. Ruslan tak menjawab. Hatinya masih gelisah karena dua orang yang bisa dia hubungi kini tak ada kabarnya sama sekali. Nando menghela nafas. Dia melihat Ruslan dengan iba. “Kenapa, Do?” tanya Ruslan heran. “Lo itu… ah, gimana ya bilangnya biar gak tersinggung? gak ada yang salah sama elu sebenernya, yang salah itu baju yang lo pake,” kata Nando. “Salah gimana maksudnya?” tanya Ruslan sambil memerhatikan dirinya sendiri ke bawah. “Hmm… kurang apa ya? kurang membaur! ayo! kita beli baju buat lo!” ajak Nando. “Eh, jangan Nan! uang saku dari papa kamu gak mau aku habis-habisin!” tolak Ruslan. “Siapa bilang pakai uang elo? nih! kartu kredit tuan besar!” ujar Nando seraya memamerkan dompetnya. “Tenang aja, Papa akan selalu marah sama gue, nanti juga begitu tahu gue pake kartu kredit buat beli baju lu, dia pasti diem,” kata Nando lagi. **** Tak bisa dipungkiri. Ruslan menikmati saat Nando mengajaknya membeli pakaian. Nando berhasil meyakinkan Ruslan bahwa dirinya cukup tampan dan terlihat keren dengan baju-baju yang dipilihkan oleh Nando. Beberapa kali Ruslan membelalak dan menggeleng pada Nando mencoba menolak baju yang ditawarkan Nando saat melihat harganya yang menurut Ruslan sangat fantastis. Namun Nando tak bisa dibantah. Ruslan pun lama kelamaan menyerah. Tak terasa, hari sudah malam dan belanjaan Ruslan sangat banyak. Beberapa kaus warna-warni, kemeja trendi, celana jins yang sangat enak jatuhnya saat Ruslan pakai, serta dua pasang sepatu kets empuk sudah dikantongi mereka. Dan seperti perkiraan Nando, Oom Alfin tak marah saat Nando dengan ketus menjelaskan kalau dirinya “terpaksa” mendandani Ruslan karena tak mau terlihat membawa anak dari kampung ke kampusnya. Erry hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Nando.Sedangkan Ruslan, yang terjebak dalam permainan Nando hanya bisa berdiri mematung dengan menenteng banyak barang belanjaan. Keduanya naik ke atas tangga menuju kamar Ruslan. Setelah Nando menutup pintu, dia tak kuasa menahan tawanya dan menjatuhkan dirinya ke ranjang Ruslan. Ruslan hanya bisa diam melihat tingkah saudara barunya itu. “Elo jahat, Nan!” kata Ruslan tak suka. “Oya? kalau emang begitu, coba tadi lo berani bilang sama papa. Berani gak?” tantang Nando. Ruslan terdiam. Wajahnya yang serius mulai mengendur. Dan dia terbahak bersama Nando. Beberapa saat kemudian, Nando bangun dari ranjang dan pamit pada Ruslan. “Inget ya! jangan pake baju-baju kampung lo, lagi!” pesannya sok galak, berusaha terdengar anggota keluarganya yang lain. Ruslan terkekeh. Ruslan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang sambil memegang ponselnya. Kali ini dia mencoba menghubungi Anto lagi. Tetap tak bisa. Begitu pula dengan nomor Bapak. Ruslan kemudian tertidur. **** Terbangun karena tenggorokannya kering, Ruslan bangkit dari ranjang. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah! kebiasaan! dia tertidur sebelum sempat mandi dan berganti baju. Tadi dia dan Nando melewatkan makan malam di rumah karena Nando memaksanya makan di luar sebelum mereka pulang. Dia melihat botol minum yang tersedia di samping ranjangnya ternyata kosong. Dan itu artinya dia harus turun ke dapur mengisi botol itu hingga penuh untuk minum. Rumah Oom Alfin sudah gelap. Hanya beberapa penerangan redup dibiarkan menyala di setiap ruangan. Ruslan pun menuruni tangga untuk menuju dapur. Setelah mengisi penuh botolnya, dia pun hendak kembali ke kamar. Langkahnya terhenti saat dia melihat seseorang naik ke tangga. Ruslan bersembunyi di balik pintu berlindung di kegelapan agar orang itu tak bisa melihatnya. Sosok tegap yang naik ke tangga itu ternyata Fajar si Satpam yang Ruslan pergoki keluar dari kamar Nando sore tadi. Dia terlihat berdiri beberapa saat di depan kamar Nando. Lalu pintu kamar Nando terbuka dan satpam itu pun masuk. Ruslan baru berani bergerak saat pintu kamar Nando tertutup beberapa saat. Dirinya kembali ke kamarnya sambil berusaha mencuri dengar apa yang mereka lakukan di kamar Nando. Tapi tidak berhasil. Dengan perlahan agar tak menimbulkan bunyi, Ruslan membuka pintu kamarnya dan menutupnya. Dia teringat, balkon luar kamarnya dan kamar Nando terhubung menjadi satu. Penasaran, Ruslan pun membuka jendela besar kamarnya dengan terlebih dahulu mematikan seluruh penerangan di kamarnya. Dengan berjingkat dia menuju jendela kamar Nando berharap mengetahui apa yang mereka kerjakan. Kamar Nando memang terlihat redup. Namun bukan berarti Ruslan tak bisa melihat ke dalamnya. Nafas Ruslan serasa berhenti saat melihat apa yang terjadi di kamar itu… **** Bukannya Ruslan tak pernah melihat pornografi sama sekali. Walau ia tak mendapatkannya melalui internet, dia pernah sekali waktu ‘dipaksa’ oleh teman-temannya menonton video porno di ponsel milik temannya. Tapi yang dia lihat sekarang benar-benar diluar bayangannya. Dalam cahaya minim, Ruslan masih bisa melihat Fajar si satpam berdiri seperti patung di pinggir ranjang Nando. Nando duduk di hadapannya, kepalanya sejajar dengan dada Fajar. Sangat dekat sampai-sampai Nando seperti hendak memeluknya. Wajah satpam bertubuh tegap itu terlihat tegang. Nando menengadah menatap wajah Fajar, sementara tangannya melepas satu persatu kancing kemeja ketatnya. Saat Fajar hendak melepas kemeja seragam serba hitamnya itu, Nando mencegahnya. Satpam tampan itu pun menuruti keinginan Nando untuk tak melepas bajunya sehingga tampak sebagian saja otot dadanya dan perut ratanya terlihat. Nando kemudian melepas kausnya. Ruslan bisa melihat jelas punggung Nando yang mulus namun terlihat kuat hasil hobinya bermain basket. Fajar lalu mengusap-usap kepala Nando. Nando sendiri seolah menikmati gerakan jemari Fajar di kepalanya sehingga sesekali meliukkan kepalanya. Berikutnya tangan Nando berusaha membuka ikat pinggang dan celana Fajar. Satpam itu menunduk dan menatap sayu Nando saat dia melakukan itu. Nando kemudian mendekatkan wajahnya pada selangkangan Fajar. Kepalanya bergerak-gerak sementara kepala Fajar menengadah ke atas, mulutnya terbuka sementara dia memejamkan mata. Dibiarkannya tangannya memegangi pundak Nando. Tubuh Fajar ikut bergerak saat kepala Nando bergerak-gerak pula di daerah selangkangannya. Akhirnya Ruslan bisa melihat jelas apa yang dilakukan Nando. Mulutnya dengan lincah mengulum penis Fajar. Entah mengapa, melihat pemandangan itu Ruslan malah tak kuasa menggerakkan kakinya dan segera pergi dari tempat itu. Selama beberapa saat Nando melakukan itu pada Fajar sampai akhirnya Fajar membalik badan Nando dan mendorongnya ke Ranjang. Saat Nando berpaling, Ruslan terkejut ketika mata Nando tiba-tiba melihat ke arahnya sambil tersenyum. Ruslan nyaris terjengkang ke belakang. Buru-buru dia bangkit dan menyelinap kembali ke kamarnya. Ruslan menjatuhkan badannya di atas ranjang. Nafasnya masih terengah karena terkejut. Dia masih bertanya-tanya apakah Nando tadi melihatnya sedang mengintip? Ruslan buru-buru meneguk air minum di sebelah ranjangnya berusaha menenangkan diri. Apa-apaan itu tadi? Nando? Homo? Teriak Ruslan dalam hati. Dia menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Matanya berusaha dia pejamkan, namun gagal. Ruslan seperti tersadar akan sesuatu. Buru-buru dia bangkit dari ranjang dan menghambur ke arah jendela. Dengan tergesa-gesa dia menguncinya. Ruslan menghela nafas. Tiba-tiba dia teringat satu hal lagi. Dia pun kembali berlari ke arah pintu kamarnya. Sungguh! saat itu Ruslan merasa sangat khawatir dan takut. Dia mengumpat saat kembali tersadar bahwa pintu kamarnya tak bisa dikunci. Matanya kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar mencoba mencari benda yang bisa dia gunakan untuk menahan pintu itu, tapi tampaknya tak ada benda yang cukup berat. Sempat terpikir untuk menggeser meja belajar yang ada di kamarnya. Tapi itu artinya Ruslan harus menggeser pula komputer serta benda-benda yang terhubung dengan listrik di atasnya. Tak menyangka bisa separanoid ini, Ruslan akhirnya memutuskan untuk kembali ke ranjangnya. Dia menyelimuti badannya hingga ke leher. Matanya menatap awas pintu kamarnya seolah mengantisipasi adanya orang yang akan berusaha masuk. Ruslan masih trauma sebenarnya, sejak penyekapan yang dilakukan oleh seseorang sewaktu dia di desa. Dia sekarang malah semakin yakin bahwa itu bukanlah mimpi. Lama-lama Ruslan kelelahan juga menatap pintu kamarnya sehingga dia akhirnya tertidur pulas. ***

No comments:

Post a Comment