My Blog List

Wednesday 22 January 2014

Merantau – Bagian 9

“Kenapa bengong? Ayolaaaah.. sini-sini… temenin brother-mu ini nonton,” goda Nando sambil menepuk bagian ranjang di sebelahnya seolah menyuruh Ruslan duduk di situ. Ruslan terdiam sejenak. Tapi dia akhirnya membiarkan dirinya mengikuti ajakan Nando. Perlahan dia duduk di sebelah Nando yang tidur telungkup sambil mendekap bantal. Ruslan duduk bersila dan mengambil bantal untuk dipeluk. Sementara Nando tersenyum-senyum senang, posisi duduk Ruslan di sebelahnya kaku sekali. Keduanya terdiam menonton adegan film porno yang diputar Nando di televisi. Sialan! dalam keadaan seperti ini, seharusnya Ruslan bisa menahan diri agar penisnya tak menegang. Tapi kenyataannya, dia memang terangsang dengan adegan panas para aktor film porno yang ditontonnya itu. Itulah sebabnya, Ruslan semakin mendekap bantal yang dia pegang dengan harapan ketegangannya semakin berkurang dan tentu saja, tidak diketahui oleh Nando. “Ah, brengsek nih! gue jadi horny,” kata Nando. Ruslan tak menjawab. Dia melirik sekilas pada Nando. Ruslan berusaha mengalihkan pikirannya dari film porno walaupun hal itu sebenarnya tak mungkin dia lakukan. Entah mengapa Ruslan tak segera beranjak dari kamar Nando. Harus dia akui, ada rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi dalam dirinya untuk lebih menyelidiki segala sesuatu tentang Nando. Persingkat saja! dia sebenarnya penasaran pada mahluk yang bernama Nando! Nando tiba-tiba membalik badannya sehingga tidur telentang. Ruslan melirik kembali ke arah Nando sambil bertanya. “Lo mau ngapain?” Kali ini Ruslan bisa melihat jelas penis Nando yang tegang mendesak celana pendeknya seakan ingin keluar. Nando mengabaikan pertanyaan Ruslan. Dia malah menyelipkan telapak tangan ke dalam celananya. “Gue horny, Rus.. gapapa ya kalo gue keluarin?” tanpa meminta persetujuan Ruslan, Nando mengeluarkan batang penisnya yang sudah dia genggam. “Ish… apa-apaan sih Lo, Ndo?” protes Ruslan. Oke! ini saat yang tepat untuk keluar dari kamar ini! perintah otak Ruslan pada dirinya. Namun anehnya, kaki dan tangannya seolah tak menurut, melainkan tetap diam dan membuat Ruslan tak pergi kemana-mana. Nando menghela nafas sementara tangannya mulai mengurut batang penisnya naik turun. Ruslan bisa melihat jelas penis Nando yang berwarna lebih gelap dari kulitnya yang bersih, dengan kepala yang mengilap. Ukurannya? sedikit lebih kecil dari milik Ruslan, namun tetap saja tergolong ‘wah’. Ruslan merasa terganggu, tapi tensi dari situasi yang ada di sekitarnya membuat jantungnya berdebar. Dia enggan memerhatikan Nando, tapi gerakan pemuda itu yang sedang merangsang dirinya sendiri membuatnya terpengaruh. Sesekali Ruslan melirik ke arah Nando. Gerakannya, lenguhannya, dan erangannya sama ketika Ruslan sedang masturbasi. Maksudnya, melakukannya sendiri dengan melihat orang lain yang melakukannya adalah dua hal yang berbeda! Ketika Nando mencapai klimaks, Ruslan memalingkan wajahnya. Dia tak ingin melihat pemandangan pria lain yang sedang mengalami orgasme karena menurutnya itu tak pantas. Ruslan mendengar Nando menghela nafas lega. Sekilas dia melihat kausnya basah oleh cairan spermanya sendiri. Nando bangun dari posisinya dan duduk bersila, kemudian dia melepas kausnya, dan melemparnya ke pojokan. Tempat bertumpuknya baju kotor miliknya. Nando lalu kembali pada posisinya semula: tiduran sambil memeluk bantal. Namun kali ini dia hanya memakai celana pendek saja. Matanya walau menatap kembali layar televisi, sekarang tak terlihat antusias. Celakanya, Ruslan masih belum bisa ‘menjinakkan’ penisnya yang masih tegang. Dan hal itu sepertinya disadari oleh Nando. “Kenapa lu? kalo horny dieksekusi ajalah…” ujar Nando sekenanya. “Apaan, ah!” kata Ruslan sambil melempar bantalnya ke wajah Nando. Ruslan membuat kesalahan. Dilemparnya bantal yang seadri tadi dia dekap malah membuat Nando melihat jelas kalau Ruslan sedang terangsang karena bantal itu tak lagi menutupi bagian di antara kedua pahanya. “Nah, kaaan…” goda Nando sambil tertawa. “Udaaah… gak usah malu-malu laah… Lo kocok di sini juga gak masalah,” kata Nando. “Urat malu gue belum putus,” ujar Ruslan gusar. “Oya? kalo belum putus kok masih ada di kamar pas gue ngocok?” tembak Nando. Ruslan tak menjawab. Kemudian Nando berbalik sehingga tidur telentang. Kedua lengannya dia letakkan di belakang kepalanya. Kepalanya kini sejajar dengan tempat Ruslan duduk. Matanya menatap Ruslan sambil tersenyum sehingga Ruslan menjadi salah tingkah. Oh, Tuhan! ini salah! ini salah! maki Ruslan dalam hati. Mengapa Nando yang tampan dan sedang berada di sebelahnya tanpa mengenakan kaus itu menyita seluruh perhatian dan mengganggu pikirannya? “Apa perlu gue bantuin?” kata Nando pelan. “Issh…” protes Ruslan. Dia mendorong pelipis Nando dengan tangannya. Nando terbahak. Kemudian keduanya terdiam. Ruslan berdebar-debar antara takut sekaligus penasaran akan apa yang terjadi selanjutnya. “Gue tahu kalo semalam lo ngintip dari luar jendela…” kata Nando nyaris berbisik. Ruslan terkesiap. “Ng.. anu.. itu Nand…” Ruslan menjadi gagap, tak menyangka akan ‘ditembak’ seperti itu oleh Nando. “Gimana? lo suka sama yang lo lihat semalam?” tanya Nando. Tangannya mulai bergerak ke arah selangkangan Ruslan. Ruslan terlonjak sebentar, tapi dia memilih untuk membiarkan Nando meneruskan perbuatannya. Dengan cekatan Nando membuka kancing celana jeans Ruslan. Ditariknya risleting celana Ruslan hingga penisnya yang terbungkus celana dalam semakin jelas terlihat.Ruslan menelan ludah. Jantungnya semakin berdebar. Selama ini tak pernah ada seorang pun yang menyentuh bagian sensitif dirinya. Tapi anehnya, dia membiarkan Nando melakukan itu. Nando semakin bersemangat ketika menyadari Ruslan membiarkan dirinya menyentuh penisnya tanpa perlawanan. Setelah batang penis itu terekspos karena Nando menarik celana dalam yang dikenakan Ruslan, dia meneruskannya dengan menggenggamnya lalu mulai mengurutnya perlahan. Seringai gembira muncul di wajah Nando. Nafas Ruslan semakin cepat. Di satu pihak otaknya mengatakan ini tak benar! tapi tubuhnya membeku tak mampu memberikan perlawanan. Dia membiarkan rasa enak yang ditimbulkan oleh genggaman tangan Nando dan gerakan naik-turunnya menjalar di tubuhnya. Setelah beberapa lama, Nando mendekatkan wajahnya pada paha Ruslan. Seperti sadar apa yang hendak dilakukan Nando selanjutnya, Ruslan terlonjak dan melompat dari ranjang. “Jangan Nan! gue enggak mau!” protes Ruslan. Dia kini sudah berdiri di sebelah ranjang. “Loh, kenapa bro? kan semalam lo liat juga gue ngelakuin itu? emang gak penasaran?” tanya Nando. Kekecewaan muncul di wajahnya. Dia ikut bangkit dari ranjang dan mendekati Ruslan. “Enggak! gue enggak mau!” teriak Ruslan. Dia mendorong Nando hingga terjatuh kembali ke ranjang. Sayang, karena dorongan Ruslan terlalu kuat, Nando kehilangan keseimbangan sehingga pelipisnya membentur pinggiran ranjang.” “Aduh!” jerit Nando kesakitan sambil memegang keningnya. Ruslan buru-buru membetulkan celananya dan kausnya, setelah itu dia menghambur keluar dari kamar Nando dan masuk ke kamarnya sendiri. Suara berdebam keras terdengar saat Ruslan membanting pintu kamarnya. Nafasnya terengah-engah. Dia menjambak sendiri rambutnya dengan kesal. Apakah… apakah dia seorang homo? tanyanya dalam hati. Ruslan mencari-cari sesuatu di mejanya. Begitu dia melihat kunci motornya, dia menyambarnya dan juga jaketnya. Buru-buru dia menuruni tangga. Tak peduli dengan Nando yang ada di kamarnya. Ruslan bergegas ke garasi. Dikeluarkannya motor barunya dan dengan kecepatan tinggi dia meninggalkan rumah Oom Alfin. Tak tahu harus kemana, Ruslan berputar-putar di jalan raya. Pikirannya kalut. Dia mencoba fokus dan memikirkan hal lain. Tapi Nando, Nando, dan Nando! tak mau enyah dari otaknya. Setelah cukup lama Ruslan berputar-putar, dirinya menghentikan motor pada sebuah taman. Ruslan duduk di pinggir sebuah danau buatan tepat di bawah sebuah pohon rindang. Dia terisak. Amarah dan kekesalan menguasai dirinya. Apakah dia berlebihan? Apakah seharusnya ia bersikap biasa saja? Apakah dia terlalu banyak berpikir? berbagai macam pertanyaan melintas di benaknya. Haruskan dia mulai belajar menerima keadaan kalau dirinya tak hanya tertarik pada para gadis tapi juga mulai memikirkan seorang pria? Apakah ini hanyalah bagian dari pencarian jati diri, dan eksplorasi terhadap segala kemungkinan dalam hidup? Tapi tak ada satupun pertanyaan yang bisa Ruslan jawab. Cukup lama Ruslan berada di situ memikirkan segala hal. Setelah dirinya mulai tenang, Ruslan bangkit. Kini dia memilih untuk mengikuti kata hatinya. Tak mau banyak berpikir, dirinya mantap membuat keputusan. Dia kembali ke tempat motornya yang terparkir. Mengusap wajahnya dengan telapak tangan, lalu memacu motornya kembali ke rumah. **** Ruslan berdiri cukup lama di depan pintu kamar. Dia kemudian mengetuknya pelan. “Siapa?” kata sebuah suara di dalam. “Gue…” ujar Ruslan datar. “Kalo lo mau bikin rusak muka gue lagi, mending jauh-jauh dari kamar gue!” kata suara itu lagi. “Sori, Nand.. boleh gue masuk? gue janji gak akan bikin muka lo tambah bengkak…” lanjut Ruslan. Cukup lama tak ada jawaban. Lalu perlahan pintu kamar terbuka. Nando menatap Ruslan dengan wajah sebal. Masih mengenakan celana pendek yang sama, Nando sudah memakai kaus yang baru. Nando menatap mata Ruslan, mencoba menyelidiki apa yang ada di dalam pikirannya. Kemudian dia bergeser dan melebarkan pintu kamarnya. Ruslan kemudian masuk dan pintu kamar Nando pun tertutup…

No comments:

Post a Comment