My Blog List

Wednesday 22 January 2014

Merantau – Bagian 10

RUSLAN duduk di ranjang, tepat di sebelah Nando. Keduanya terdiam cukup lama. Nando melirik ke arah Ruslan, sedikit berharap pemuda itu memulai pembicaraan terlebih dahulu. “Umm… kepala lo gimana? masih sakit?” tanya Ruslan basa-basi. “Gak sesakit penolakan elo sih, tapi udah mendingan…” jawab Nando sekenanya. Ruslan terdiam. “So, what do you want?” tanya Nando. “Hah?” Ruslan menatap Nando tak mengerti. “Iya. Kenapa lo balik lagi ke sini? mau bikin jidat gue sebelah kiri biru juga? biar impas sama yang kanan?” ujar Nando dalam sarkasme tanpa ketinggalan menunjuk lebam di pelipis kanannya. “Maaf, gue gak sengaja…” kata Ruslan. “Yah, udahlah. Terus? ada yang mau dibicarakan?” “Ng… enggak.. enggak ada. Kalau begitu gue mau ke kamar dulu,” kata Ruslan gugup. Kemudian dia bangkit dari duduknya hendak keluar kamar. Tapi Nando keburu menahan tangannya. Ruslan terkesima. Nando menatap mata Ruslan tanpa berkata apa-apa. Tapi sepertinya Ruslan terhipnotis dan menurut pada Nando. Dia kembali duduk di pinggir ranjang Nando. “Ndo…” kata Ruslan resah. “Gue minta maaf Rus, Lo tau kan sekarang keadaan gue gimana? gue emang suka sama cowok. Dan… gue minta maaf karena udah bikin elo enggak nyaman,” ujar Nando. Ruslan terdiam. “Ada elo di sini itu kayak… ngedapetin saudara yang bener-bener ngerti gue. Enggak serius dan kaku kayak mas Erry. Terus terang, gue salah. Seharusnya gue bersyukur aja bisa kenal sama elo. Gue salah… udah mencoba maksa elo ngelakuin sesuatu yang bikin elo gak nyaman, Rus.” Lanjut Nando. “Gue akuin, gue tertarik sama elo. Tapi gue pikir, kalau itu bakalan menghancurkan persahabatan dan persaudaraan kita, gue enggak akan maksa elo terlalu jauh. So, maafin gue ya?” “Ndo, soal itu… gue juga minta maaf. Semua hal yang belakangan gue alamin ini bener-bener sesuatu yang baru di hidup gue. Elo tahu kan? kalau gue anak tunggal. Ada orang seumuran gue yang gue anggap baik dan menyenangkan yang bisa gue anggap seperti saudara.” Jelas Ruslan. Nando mengangguk setuju. “Nah, sekarang… kita baikan?” tanya Nando sambil mengulurkan tangannya. Ruslan menatap tangan Nando lalu membalas uluran tangannya. “Oke,” kata Ruslan tersenyum. “Elo lapar gak?” tanya Nando. “Lapar banget,” sahut Ruslan sambil melirik jam tangannya. Sudah jam empat sore dan dia belum makan apapun sejak pagi. “Gimana kalau kita cari makan dulu di luar? gak usah yang berat-berat lah, soalnya jam tujuh ayahanda raja ingin tetap kita makan malam di rumah. Gue paling sebal sama komentarnya kalau kita enggak antusias sama makan malam atau enggak dihabiskan,” gerutu Nando. “Sampai segitunya?” tanya Ruslan tak percaya. “Iya,” jawab Nando sambil terkekeh. “Oke, kalau gitu mendingan kita cepat-cepat keluar sebelum orang rumah berdatangan,” usul Nando. Mereka pun bersiap-siap. Ruslan mengambil jaketnya di kamar dan kembali ke kamar Nando mengajaknya turun. “Udah Siap?” tanya Ruslan sambil melongok ke kamar Nando. Nando sudah mengganti kaus rumahannya dengan T-shirt merah dan celana jeans washed-out. “Sebentar,” sahut Nando. Kemudian dia menyambar jaketnya. Tiba-tiba ketika Ruslan membalik badannya, Nando memeluknya dari belakang. “Eh, Ndo?” tanya Ruslan heran. Tangan Nando melingkar di pinggangnya sementara wajahnya dia sandarkan di bagian belakang pundaknya. “Thanks..” ujar Nando pelan. Ruslan terdiam. Dia membiarkan Nando memeluknya. Saat itulah dia merasakan betapa Nando seorang pemuda yang rapuh. Mungkin dia butuh kasih sayang orang tuanya, bukan hanya limpahan harta dan kecukupan ekonomi yang disediakan orangtuanya. Ruslan tak banyak bicara ketika mengemudikan motornya. Begitu pula Nando. Dia hanya duduk diam di jok belakang seolah sedang memikirkan banyak hal. Ruslan sengaja mengemudikan motornya tak terlalu kencang. Dia ingin menikmati hembusan angin sore menerpa wajahnya. Di sebuah minimarket yang menyediakan tempat untuk nongkrong, Nando dan Ruslan menikmati makanan mereka masing-masing. “Gak ada yang ngomongin soal Mama waktu dia pergi…” ujar Nando pelan sambil meletakkan roti isi tunanya yang masih panas. “Elo… deket banget ya sama Mama?” tanya Ruslan. Nando mengangguk. “Cuma Mama yang mau dengerin gue cerita. Papa terlalu kaku. Mas Erry juga bertahun-tahun di luar kota. Waktu.. eng.. waktu mereka bilang Mama pergi dengan selingkuhannya…” suara Nando tercekat. Ruslan meneguk ludah gugup. Sebenarnya dia tak ingin mendengar kisah skandal keluarga Oom Alfin, namun dirinya juga penasaran dengan efek yang ditimbulkan pada Nando. Apa yang sesungguhnya terjadi? Nando menarik nafas panjang. Kemudia dia melanjutkan ceritanya. “Kadang gue ngerasa hal itu enggak benar. Maksud gue, gue kenal Mama. Kalau memang dia mengkhianati Papa, gue rasa gue bisa ngerasain ada yang aneh sama Mama. Tapi enggak… bahkan sampai saat ini gue masih percaya Mama enggak berselingkuh. Setiap kali gue mau bahas masalah ini sama Papa, sama mas Erry, semuanya mendadak marah. Gue frustasi. Sejak itu apapun gue lakuin supaya bikin mereka kesal.” “Nyokap pernah ngehubungin elo?” tanya Ruslan hati-hati. Nando menggeleng. “Menurut Papa, Mama sudah diboyong ke luar negeri. Entah perjanjian apa yang mereka buat, sampai-sampai Mama enggak berhak menemui anak-anaknya lagi. Atau mungkin memang Mama enggak mau lagi ketemu sama anak-anaknya…” ujarnya lirih. Ruslan menepuk-nepuk bahu Nando. Setelah itu sepertinya Nando enggan bercerita lebih jauh. Keduanya kembali ke rumah sebelum jam tujuh. Memikirkan cerita Nando membuat Ruslan banyak diam di meja makan. Nando pun sama saja. Tapi hari ini wajahnya lebih ceria. Tak sekalipun dia berusaha mencari gara-gara dengan ayah dan kakaknya dengan memancing kemarahan mereka. Oom Alfin dan Erry hanya sesekali saling menatap heran dengan kondisi yang tak biasa di meja makan itu. Malamnya, setelah semua berpamitan untuk istirahat, Ruslan berbaring di atas ranjang. Walau semua lampu telah dipadamkan, matanya tak bisa terpejam. Sepuluh menit lalu adalah usaha terakhirnya mencoba menghubungi nomor telepon ayahnya, namun masih juga gagal. Kini pikirannya terbagi pula dengan perhatiannya kepada Nando. Ruslan menarik nafas. Dia kemudian bangkit dan duduk di ranjangnya. Setelah berpikir cukup lama, Ruslan turun dari ranjangnya sambil menyambar ponselnya, lalu keluar kamar. Ruslan berjalan perlahan menuju kamar Nando. Sesaat dirinya hendak mengetuk pintu kamar Nando. Namun dia mengurungkan niatnya karena tak ingin membangunkan orang lain di rumah. Ruslan meraih gagang pintu dan mendorongnya. Tidak dikunci. Kamar Nando gelap, tapi cahaya yang tersisa cukup membuat Ruslan melihat bayangan Nando yang sedang tertidur di ranjang. Di sudut kamar, lampu-lampu kecil sound-system baru milik Nando terlihat berkelap-kelip. Seberkas cahaya muncul dari balik pintu kamar mandi yang tak ditutup rapat. Selama beberapa saat Ruslan berdiri di samping ranjang Nando memerhatikan pemuda itu tidur. Pelan-pelan dia merebahkan dirinya di atas ranjang, tepat di sebelah Nando. Kedua telapak tangannya dia letakkan di atas perut sementara wajahnya menatap langit-langit kamar yang gelap. “Hah..? si.. siapa?” tanya Nando terbangun menyadari seseorang tidur di sebelahnya. “Gue.. Ruslan…” kata Ruslan pelan. “Oh.. mau tidur di sini?” tanya Nando. Tangannya mengelap sudut matanya. Sepertinya sebelum tidur dia baru saja menangis. Tapi Ruslan tak berani bertanya. “Kalau boleh…” sahut Ruslan. Nando mengangguk sambil tersenyum. Dia menarik selimutnya dan membaginya dengan Ruslan. “Boleh peluk nggak? gue janji gak ngapa-ngapain…” tanya Nando. Suaranya kurang jelas karena wajahnya dia benamkan ke bantal. Ruslan tak menjawab. Nando mengartikannya sebagai persetujuan. Tubuhnya lalu beringsut mendekati Ruslan dan kemudian tangannya merangkul pinggang Ruslan. Beberapa lama keduanya terdiam. Tak bisa melanjutkan tidur. Hanya terdengar hembusan nafas keduanya dalam kamar gelap itu. Nando membetulkan posisi lengannya dan berusaha merapatkan pelukannya pada Ruslan. Saat itulah tanpa sengaja dirinya menyentuh bagian vital Ruslan. “Kok.. bangun?” tanya Nando sambil mengangkat kepalanya dan menatap Ruslan. Ruslan tak menjawab. Dia menatap Nando gugup. Entah apa yang ada di pikirannya. Persamaan nasib tak memiliki Ibu membuat Ruslan berempati pada Nando. Jika ada hal yang bisa membuat Nando senang, Ruslan akan melakukan apapun untuknya. Nando tak bertanya lagi. Kemudian dia beringsut ke dalam selimut. Ruslan tercekat dan memegang pundak Nando. “Ndo…” cegahnya. “Ssst.. ssst… jangan kebanyakan mikir…” desis Nando. Ruslan patuh. Kemudian dia berusaha rileks dengan mengatur nafasnya. Dia berdebar-debar menunggu apa yang akan dilakukan Nando di balik selimut itu. Ruslan kemudian menutup matanya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya dengan gugup meremas-remas selimut. Ruslan merasakan perlahan Nando menurunkan celana pendeknnya hingga penisnya keluar dan terasa bergesek dengan kain selimut. “Hufft..” desah Ruslan ketika tangan Nando terasa menggenggam penisnya yang sudah tegang. “Ngg…” badan Ruslan menegang. Punggungnya melengkung ke atas saat merasakan lidah hangat dan basah menyapu penisnya perlahan. Dirinya tak berani membuka mata. Apalagi membuka selimut yang menutupi separuh badannya. “Owwh….” keluh Ruslan. Tangannya mencengkeram selimut keras-keras ketika usapan hangat dan basah itu berubah menjadi hisapan perlahan. “Ouuh… uuuhh…” tubuh Ruslan makin menggelinjang merasakan sensasi dari penisnya yang dikulum Nando di balik selimut. Mendapati reaksi seperti itu, Nando makin bersemangat. Gerakan kepalanya membuat selimut yang menutupinya juga ikut terlihat naik turun. “Hmmmff.. hmmmf…” Ruslan berusaha keras menahan suaranya agar tak keluar kencang. Kakinya terasa kram, pinggangnya terasa kaku menahan kenikmatan yang diberikan Nando. Ketika dirinya merasa penisnya berdenyut-denyut hendak memuntahkan lahar sperma, Ruslan bangkit dan membuka selimutnya. “Minggir Ndo… gue.. udah mau keluar…” ujar Ruslan memohon sambil berusaha menjauhkan kepala Nando dengan tangannya. Usaha Ruslan sia-sia. Kepala Nando tetap pada tempatnya, mengerahkan segala usahanya mengisap penis Nando, menjilatinya, serta mengocoknya. “Ndo…” ringis Ruslan tak tahan. Akhirnya dia menembakkan cairan panasnya berkali-kali tepat di dalam mulut Nando. Nando merasakan pancaran sperma Ruslan jauh hingga pangkal tenggorokannya. Nando mengatupkan mulutnya rapat-rapat berusaha tak membiarkan setetespun cairan sperma Ruslan keluar dari mulutnya. Ruslan terengah-engah. Badannya terasa lemas, tak menyangka dirinya merasakan badai sensasi yang belum pernah dia rasakan. Ruslan menjatuhkan kepalanya ke atas bantal. Nafasnya masih belum teratur. Kemudian dia melihat Nando melepas kausnya dan membersihkan sisa-sisa sperma dan liur pada tubuh Ruslan, lalu melemparnya ke keranjang. Ruslan buru-buru menaikkan celananya dan dengan gugup dirinya menghindari tatapan Nando. Nando meraih gelas minumnya dan meneguknya banyak-banyak. Tubuhnya terlihat berkeringat akibat berada dalam selimut cukup lama. Lalu dia menjatuhkan tubuhnya di sebelah Ruslan. Nafas Ruslan sudah mulai terkontrol. Matanya menatap langit-langit. Dirinya tak sanggup berpikir apapun saat itu. Nando kemudian merangkul Ruslan. Wajahnya dia benamkan pada bahu RUslan. Tak lama dirinya tertidur. Ruslan terdiam cukup lama, berusaha memejamkan mata. Tak ada obrolan atau bahasan apapun setelah peristiwa itu. Akhirnya, karena kelelahan, Ruslan pun ikut terlelap. ***** “Haaaaahh….” Ruslan mendadak terbangun sambil terengah-engah. Nafasnya terasa sesak dan dia berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Rupanya tangan Nando menimpa lehernya sehingga Ruslan kesulitan bernafas. Ruslan terbatuk-batuk sambil duduk di pinggir ranjang. Dia menoleh ke arah Nando. Anak itu masih terlelap. Ruslan meraih ponsel dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Tapi bukan itu saja yang dia lihat. Ada panggilan tak terjawab dari nomor ayahnya. Ruslan berusaha menghubungi kembali nomor ayahnya dengan tangannya yang sedikit gemetar. Tak ingin membangunkan Nando, dirinya perlahan keluar kamar. Tersambung! Ruslan merasa gembira. Tak sabar dirinya menunggu ayahnya menjawab teleponnya. Tapi tunggu… Telinga ruslan sayup-sayup mendengar suara lagu yang terdengar keluar dari speaker sebuah ponsel. Suara itu pelan, dan berasal dari salah satu kamar. Ruslan memastikan bahwa nada sambung telepon masih terhubung dengan nomor ayahnya. Dirinya heran, karena sepertinya suara nada dering itu seirama dengan nada sambung ponselnya. Dengan terburu-buru Ruslan mencari kamar yang menjadi sumber dari nada dering yang didengarnya. Ketika dia berhenti pada satu kamar, dirinya yakin sekali. Dari dalam kamar inilah suara dering telepon itu berasal. Dengan perasaan gugup tangan Ruslan meraih gagang pintu kamar itu…

No comments:

Post a Comment