Wednesday, 22 January 2014
Merantau – Bagian 6
WAJAH Ruslan terasa panas. Dia mengejapkan matanya beberapa kali berusaha menyesuaikan diri dengan silau cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar kamarnya. Ruslan mengusap wajahnya beberapa kali. Dia berpikir sejenak, sudah jam berapakah ini? berapa lama dia tidur? tidak biasanya dia bangun siang. Ruslan lantas melihat ke arah jam dinding. Astaga! sudah jam delapan lewat lima! dan betapa malunya dia bangun kesiangan di hari pertama dia tinggal menumpang di rumah orang. Ruslan kemudian melompat dari kasurnya menuju kamar mandi. Dia membasuh wajahnya beberapa kali kemudian berkaca memastikan dirinya tak tampak seperti baru bangun tidur.
Saat Ruslan mengeringkan wajahnya dengan handuk, dia baru menyadari ada sesuatu di meja komputernya. Kemudian dia menghampiri meja itu untuk mengetahui lebih jelas benda apa yang ada di situ.
Ternyata ada sebuah ponsel keluaran terbaru dalam keadaan menyala, lengkap dengan charger yang terikat rapi di sebelahnya. Ruslan mengambil ponsel itu dan memerhatikannya. Lalu diletakkannya kembali saat dia melihat sebuah amplop tergeletak tak jauh dari kedua benda itu. Tertulis di amplop itu tulisan tangan ‘Untuk Ruslan’, sehingga Ruslan pun membukanya. Matanya membelalak saat dia melihat berlembar-lembar uang pecahan besar di dalamnya. Jumlahnya cukup banyak! Dia pun memeriksa kembali isi amplop dan mendapati sebuah surat. Ruslan pun membaca tulisan tangan di surat itu.
‘Rus, ini Erry, sori, sepertinya kamu kelelahan jadi kami semua sengaja gak bangunin kamu. Kebetulan aku ada handphone lama yang enggak terpakai, kamu bisa pakai dulu itu dan nomor sementaranya sampai nomor lama kamu diurus. Ada nomor saya, papa, Nando dan Albie di situ. Oiya, Papa ada titip uang saku buat kamu, tolong kamu buka rekening tabungan, atau kalau kamu sudah ada rekening tabungan, kamu bisa kasih tahu saya supaya uang bulanan kamu bisa Papa transfer. Gunakan dengan bijak, ya? :) ” -Erry-
Kemudian Ruslan secara reflek langsung melihat pintu kamarnya. Terlepas dari kebaikan hati keluarga Oom Alfin, dirinya merasa tak nyaman apabila membayangkan harus mengorbankan privasi miliknya. Siapa saja bisa masuk kamar ini tanpa sepengetahuannya. Maksud Ruslan, memang dia tak harus mengunci pintu kamarnya setiap malam, tapi alangkah baiknya jika dirinya mempunyai pilihan untuk mengunci pintunya atau tidak sesuai keadaan.
Ruslan mengamati ponsel yang dipinjamkan oleh Erry, lalu mendengus. Handphone lama? pikirnya. Setahu Ruslan ponsel yang dia pegang adalah jenis ponsel cerdas keluaran terbaru yang banyak dipakai orang berduit. Dasar orang kaya, gumamnya. Kemudian dia segera menyentuh layar ponsel itu, mencoba membiasakan diri dengan ponsel berantarmuka layar sentuh itu dan mengetikkan nomor ponsel ayahnya yang dia hafal diluar kepala.
Ruslan menghela nafas. Lagi-lagi nomor ayahnya tidak aktif. Lalu Ruslan mengetik pesan singkat untuk ayahnya, “Aslmlkm Pak… HP Ruslan hilang, ini nomor baru Ruslan, balas ya pak, supaya Ruslan bisa telepon bapak.”
Kemudian dia mengetik satu nomor lagi. Nomor Anto temannya, juga dihafalnya dengan baik. Syukurlah, ada nada sambung saat Ruslan berusaha menghubunginya, dan seseorang mengangkatnya di seberang sana.
“Halo?” kata suara Anto menyelidik.
“Nto! ini gue!” sahut Ruslan menganggap Anto langsung mengenali suaranya.
“Maaf, ini siapa?” kata Anto datar.
“Ruslan… Ini Ruslaaaan… handphone gue ilang! cuma nomor bapak sama lo aja yang gue inget!”
“Heeeii… Ruslan!! Apa kabar? Semalem gue coba hubungin lo, tapi nomor lo gak aktif! SMS juga gak dibales! Lo gak cinta lagi sama gue ya? huhuhu…” rengek Anto.
“Apaan sih? geli, tauk! sementara lo kalo sms ke nomor ini aja ya? setidaknya sampai nomor gue yang lama bisa gue aktifin lagi. Kasih tau temen-temen juga kalau nomor gue udah ganti,” pinta Ruslan.
“Oke, bos! oiya, gue mau bilang, sore gue balik. Gue di Bandung ternyata cuma sebentar aja. Nanti sebelum sampai ke rumah, gue mampir dulu nengok bokap lo, yak?” kata Anto.
“Alhamdulillah… tolong ya, Nto! gue blom dapet kabar dari Bapak sampai sekarang.”
“Sip… Ya udah, gue mau cabut dulu, ada urusan. Kalau ada apa-apa sms gue aja ya?” ujar Anto menutup pembicaraan.
“Thanks, Nto..” pungkas Ruslan. Dia pun memutuskan sambungan.
***
Ruslan mandi dan berganti pakaian. Dia menyambar jaketnya dan segera turun. Mudah-mudahan Oom Alfin tidak melupakan dirinya dan menyisakan sarapan untuknya, karena sungguh! Ruslan merasa sangat lapar. Saat dia menuju ruang makan, suara seorang wanita memanggilnya.
“Mas? Mas Ruslan?” sahutnya. Suara itu datang dari seorang perempuan berusia empat puluhan. Memakai blus putih dan rok panjang hitam sematakaki dengan rambut digelung rapi.
“Eh, iya bu?” jawab Ruslan ramah dan menghentikan langkahnya.
“Saya Leni, Mas. Mas Ruslan panggil saya Bi Leni aja seperti yang lain. Maaf mas, tadi Pak Alfin pesen, kalau Mas sudah bangun, saya disuruh siapin sarapan buat mas. Mas Ruslan mau makan apa, mas?” tanya Bi Leni lembut.
Syukurlah! sahut Ruslan dalam hati. “Apa aja bi.. gak usah ngerepotin..” kata Ruslan riang.
“Yaudah Mas, tunggu di ruang makan aja, nanti Bi Leni bikinin nasi goreng spesial ala Bibi, ya? gimana?” tawar Bi Leni riang sambil mengacungkan jempolnya.
“Boleh, Bi. Ruslan makan di dapur aja, temenin Bibi Masak,” kata Ruslan sambil beranjak ke dapur. Bi Leni yang tadinya hendak mencegah, akhirnya mengalah.
Dapur rumah Oom Alfin sangat besar. Lebih besar dari ruang tamu rumah Ruslan di kampung seingatnya. Ruangannya bersih dengan jendela di sekelilingnya sehingga sirkulasi udara terjaga dengan baik. Mungkin dapur ini satu-satunya ruangan yang tidak terkena udara dari pendingin udara, namun tetap terasa sejuk karena bersebelahan langsung dengan taman belakang rumah Oom Alfin yang dipenuhi pohon-pohon rindang. Mungkin sekaligus untuk mendaur ulang udara hasil pembakaran di dapur. Selain itu, sederet lemari menempel di dindingnya lengkap dengan peralatan masak dan sebuah meja bundar putih berkursi empat membuat dapur ini kelihatan apik.
Ruslan duduk di salah satu kursi meja bundar itu. Dirinya sabar menunggu Bi Leni selesai masak walau aroma bumbu yang menguar dari wajan membuatnya merasa semakin lapar.
“Pak Alfin itu orangnya baik, Mas… Mas Ruslan pasti kerasan tinggal di rumah ini,” kata Bi Leni sambil mengaduk nasi goreng di dalam wajan.
“Kalau anak-anaknya?” tanya Ruslan berusaha tak terdengar seperti sedang menyelidik.
Namun rupanya Bi Leni adalah tipikal perempuan yang suka sekali diajak mengobrol. Tanpa diminta oleh Ruslan, diapun banyak bercerita.
“Mas Erry juga baik Mas, dia baru balik dari Kalimantan. Katanya dia ada urus proyek Papanya di sana sampai tiga tahun. Tapi bibi pikir, mungkin sebenarnya Mas Erry sedih dan milih pergi dari rumah ini setelah mama mereka kabur,” kata Bi Leni.
Ruslan terdiam.
“Kalau Mas Nando, uuh.. Bibi gak tau kenapa dia jadi bandel sekarang! gak bisa lama-lama dekat sama Papanya, pasti aja berantem! padahal sebelum mamanya pergi, dia anaknya kalem dan penurut lho, Mas!” lanjutnya.
“Mas Albie yang paling kasihan, dia sih enggak pernah tanya-tanya ke mana mamanya pergi, tapi Bibi yakin, sebenernya dia juga ngerasa kehilangan. Untung anaknya periang lho, Mas,” ujar Bi Leni lagi. Tanpa terasa, selama menjelaskan seluk beluk keluarga Oom Alfin, nasi goreng bikinannya sudah selesai.
Ruslan makan dengan lahap. Sesekali dia meneguk air putih dari gelas karena nasi goreng buatan Bi Leni memang pedas dan mantap sesuai seleranya. Saat makan, Ruslan tak berhenti berpikir mengenai keadaan keluarga Oom Alfin. Apa yang terjadi dengan mama mereka?
***
Selesai makan, Ruslan berniat untuk ke bank dan menyimpan sebagian besar uang yang dititipkan Oom Alfin padanya. Naluri remajanya sesaat membuat Ruslan tergiur untuk membelanjakannya. Syukurlah, dia masih teringat kepada ayahnya dan didikannya yang kuat untuk menjadi orang jujur.
Dengan sedikit ekstra tenaga, Ruslan menarik pintu berat rumah Oom Alfin menuju teras. Dia tak tahu jalan, oleh sebab itu Ruslan berniat bertanya pada satpam yang bertugas hari itu. Tampaknya petugas keamanan yang menjaga rumah Oom Alfin pagi ini berbeda dari kemarin. Sama tampannya, tegap dan selalu tersenyum simpatik. Sebelum Ruslan menyapa, satpam ini sudah menyapanya duluan.
“Pagi, Pak!”
“Pagi… Pak, bisa minta tolong? tahu bank BRI terdekat gak ya dari sini?” tanya Ruslan.
“Ooo.. Bank BRI, Pak? kalau dari sini paling dekat itu di jalan utama. Belok kanan dari rumah ini, ambil kiri lalu lurus. Letaknya di gedung yang ada supermarketnya,” jelas satpam itu.
Ruslan memerhatikan namanya yang tertera di kain bordiran seragam hitam-hitamnya, ‘Fajar’. Usianya mungkin pertengahan duapuluhan. Lengannya terlihat kokoh dan sepertinya dia membiarkan badannya yang terlatih itu tercetak jelas di seragamnya yang ketat.
“Kalau dari sini harus naik angkot, atau ada pangkalan ojek ya pak?” tanya Ruslan lagi.
“Oh, kalau soal itu… tunggu sebentar pak. Ada titipan dari Pak Alfin. Dia pesan, tolong berikan sama bapak kalau mau berangkat,” ujarnya. Lalu satpam muda itu pamit menuju posnya di sebelah pagar dan mengambil sesuatu.
“Ini Pak,” kata satpam itu sambil menyerahkan helm hitam kepada Ruslan.
“Bapak mau antar saya?” tanya Ruslan tak mengerti. Tangannya meraih helm yang diserahkan satpam.
“Bukan Pak. Mari, saya tunjukkan,” kata Satpam itu lagi dengan sangat simpatik. Dia berjalan menuju garasi dan Ruslan mengikutinya dari belakang.
Satpam itu menekan tombol yang ada di sisi kiri pintu garasi. Lalu terdengarlah bunyi mesin hidrolik dan pintu garasi terangkat ke atas. Di dalam garasi hanya ada sebuah motor berbodi bongsor masih baru berwarna hitam mengilat. Mata Ruslan terbelalak. Waktu di desa, dia sering berangan-angan memiliki motor jenis ini. Setahu dia hanya anak kepala desa yang memiliki motor jenis ini dan dengan arogannya berkendara kesana kemari. Bandingkan dengan motor miliknya yang dibeli bapak hampir sepuluh tahun lalu itu.
“Ini mas, kunci sama STNK nya,” kata Satpam itu lagi sambil mengulurkan kunci motor pada Ruslan.
Ruslan dengan takjub menerimanya. Setelah handphone dan uang, Oom Alfin juga meminjamkannya motor. Ruslan memakai helmnya dan naik sepeda motor itu tanpa bisa menyembunyikan kegembiraannya. Senyumnya tak lepas-lepas dari wajahnya saat dirinya meninggalkan pekarangan rumah Oom Alfin.
***
Sesampainya di Bank, Ruslan belum berhenti berusaha menghubungi ayahnya. Namun selalu tak aktif. Kini harapan satu-satunya adalah Anto. Semoga dia lekas kembali dan mencari tahu kabar bapak.
Setelah menunggu cukup lama untuk bertransaksi, Ruslan menghubungi Erry dari ponselnya.
“Halo, Mas Erry… aku ganggu gak nih?”
“Hei, Rus! Gimana? kamu udah bangun?” tanya Erry antusias di seberang sana.
“Udah mas. Aku lagi di Bank nih, tabungin uang saku yang mas titip tadi. Aduuuh.. aku jadi gak enak nih mas. Kalian baik sekali sih?” kata Ruslan.
Erry terkekeh. “Gapapa Rus, itu udah kewajiban Papa dan kami semua. Jangan sampai anak orang sengsara di rumah kita. Nanti pertanggungjawaban kita sama bapak kamu gimana?”
“Mas Erry bisa aja. Oya Mas, aku belum bisa hubungi bapak… Tapi tadi aku ada titip sama temanku Anto, supaya dia tengokin bapak di rumahnya. Siapa tahu dia ketemu dan bisa telepon aku, Mas..” jelas RUslan.
Erry diam. Lama tak ada jawaban.
“Mas?” panggil Ruslan.
“Eh, oh iya Rus… mudah-mudahan ada kabar dari bapak, ya? Umm.. aku ada meeting. Nanti kalau sudah di rumah, jangan lupa kasih nomor rekening tabungan kamu ke aku, ya? jangan lupa urus nomor kamu juga. Sudah dulu, ya?” ujar Erry cepat-cepat mengakhiri pembicaraan di telepon tanpa memberikan kesempatan pada Ruslan untuk menjawabnya.
Ruslan menghela nafas. Kemudian dia mengantungi ponselnya dan keluar dari bank. Selanjutnya adalah mengurus nomor ponselnya yang hilang.
****
Kira-kira setengah jam Ruslan mencari kantor perwakilan operator telepon selular yang dia dapati dari petunjuk alamat di ponselnya. Setelah tiba, dia segera menjelaskan permasalahannya pada seorang customer service. Dengan ramah si CS mendengarkan keluhan Ruslan, meminta kartu identitasnya, dan mengecek sesuatu pada layar komputernya.
“Maaf Mas, tapi data-data untuk nomor telepon yang mas maksud itu berbeda dengan KTP mas,” jelasnya.
“Masa sih, Mbak?” tanya Ruslan tak percaya. Dia sudah memakai nomor itu sejak masuk SMA. Rasanya tak mungkin dia salah mendaftarkan namanya sendiri.
“Iya, ini atas nama R03Sl4ND, alamatnya pun Jalan Antah Berantah nomor 888, kabupaten dan provinsi tidak jelas,” ujar mbak CS itu.
Ruslan pun langsung tertunduk lesu. Dia baru ingat, dulu mendaftarkan namanya dengan tulisan-tulisan modifikasi itu untuk sekedar lucu-lucuan dengan teman-temannya di SMA. Namun kini dia menyesal karena tindakannya itu membuatnya kesulitan mendapatkan nomornya kembali.
“Mas coba kembali dua hari lagi. Kalau memang belum ada laporan nomor hilang, kita akan pertimbangkan untuk mengaktifkan kembali nomor telepon mas,” lanjutnya.
Ruslan bisa melihat kalau wanita bagian customer service itu berusaha menahan tawa. Sialan! pasti dia menertawakan tulisan alay yang dia daftarkan sebagai pemilik nomor ponsel itu.
“Kalau gitu, nanti saya balik lagi. Terima kasih ya, mbak!” sahut Ruslan sambil beranjak pergi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment