My Blog List

Wednesday 22 January 2014

MAS BIMA, PAK POLISIKU – Bagian V (TAMAT)

AKU masih menunggu Mas Bima menjelaskan soal kabar kurang bagus yang hendak dia ceritakan. “Kabar apaan sih, Mas?” tanyaku lagi. “Mas mau… ehm, Mas ada rencana ditugasin untuk pendidikan selama setahun di kota lain…” ujar Mas Bima pelan. “Apa? bukannya Mas Bima baru ditugasin di sini ya?” “Secara teknis, Mas masih ditugasin di sini. Tapi Mas ditunjuk untuk ikut pendidikan, otomatis Mas enggak tugas di sini sementara, tapi tinggal di mess selama pendidikan.” “Jadi, Mas mau pergi gitu?” tanyaku hampir menangis. “Iya, Fin…” jawab Mas Bima lemah. “Mas Bima jahat, kenapa baru bilang setelah aku mau buka hati lagi buat Mas? padahal bakal jauh lebih mudah kalau tadi Mas enggak ngerayu aku soal perasaan enggak enak ke Mbak Tika…” ujarku sambil bangkit dari ranjang dan memunguti pakaianku. “Fin…” panggil Mas Bima. Tubuhnya yang masih telanjang dan tertutup selimut bagian bawah pinggangnya berusaha meraih tanganku. “Pulang aja mas, aku mau ke kamar mandi dulu…” jawabku datar. Mas Bima menghela nafas dan menjatuhkan tubuh kekarnya kembali ke atas ranjang. **** Setelah selesai membersihkan badan, aku langsung keluar kamar menuju tempat Mas Bima memarkir motornya. Aku merapatkan jaket. Sepertinya udara pegunungan makin menggigit, atau mungkin perasaanku saja yang sedang murung. Sepanjang perjalanan menuju kost, aku tak bicara. Mas Bima pun sepertinya tak ingin memulai percakapan denganku. Hingga kami tiba di kost-an, Mas Bima memberanikan diri untuk bicara. “Findra… Mas minta kamu ngerti,” ujarnya. “Udah hampir pagi, Mas. Mendingan Mas pulang aja daripada ngantuk,” dengan kejam aku mengusirnya. “Enggak! Mas mau tidur di sini,” ucap Mas Bima galak. Dia memaksa masuk kamarku dengan mendorong pintu dan masuk tanpa meminta persetujuanku. “Yaudah. Terserah mas ajalah…” kataku muram. Aku kemudian melepas jaketku dan naik ke atas ranjang. Mas Bima melakukan hal yang sama. Aku tidur membelakanginya. Aku merasakan Mas Bima memelukku. Hembusan nafasnya yang hangat terasa di tengkuk. Aku tak bereaksi. AKu membiarkan pelukannya dan bertingkah seperti sebuah batu. Aku pun tertidur sambil menangis. **** Udara hangat pagi menjelang siang membangunkanku. Aku mengusap wajahku dan membetulkan rambutku yang acak-acakan. Aku menoleh ke samping, ternyata Mas Bima sudah tak lagi ada di sebelahku. Aku menghela nafas dan dengan malas aku turun dari ranjang dan menuju cermin. Ah, mataku bengkak. Pasti karena menangis. Jangan cengeng, Fin! kataku dalam hati. Aku memeriksa ponselku. Mas Bima rupanya mengirimkan pesan singkat. “Mas pulang dulu. Enggak tega bangunin kamu. Hubungi Mas ya? kita bicarakan lagi.” Aku melempar ponselku ke atas ranjang. Apa lagi yang mau dibicarakan jika akhirnya tak ada yang berubah: Mas Bima tetap akan pergi. Aku memang tidak mengharapkan bertemu Mas Bima lagi sejak kejadian pertama kali. Tapi kedatangannya setelah setahun seperti melambungkan harapanku lagi sekaligus mengempaskannya ke aspal yang keras. Apapun ucapannya tidak akan bisa membuatku menerima keputusan itu dengan lapang dada. **** Sudah tiga hari sejak peristiwa di gunung itu. Aku bersikeras tak ingin menghubungi Mas Bima. Mas Bima pun tumben tidak menelepon atau mengirim sms padaku. Sebenarnya aku kangen, tetapi rasa gengsiku mengalahkan segalanya. Tapi semuanya berubah. Sore itu Mas Bima mengirim sms yang memberitahukan hari keberangkatannya pada akhir pekan. Itu artinya Mas Bima dua hari lagi berangkat. Aku menelepon Mas Bima. “Tumben…” kata itu yang pertama dia ucapkan saat menerima teleponku. “Kenapa, Mas? Mau dibantuin?” ujarku mencoba terdengar bersikap tenang. “Kalau bisa sih, barang-barang Mas di rumah kontrakan ini perlu dirapihin. Karena di mess tidak ada perabotan, terpaksa Mas bawa sebagian besar,” ujar Mas Bima. “Mas enggak tugas?” tanyaku. “Enggak Fin. Kamu ada kuliah?” tanya Mas Bima balik. “Baru pulang Mas. Rumah Mas di mana? Biar aku bantuin beres-beres,” tawarku. Aku mendengarkan dengan seksama petunjuk arah dan patokan menuju rumah Mas Bima. Merasa kenal dengan daerah itu, aku menyanggupi untuk datang ke rumahnya. **** Aku mendorong motorku di depan teras rumah kontrakan yang kupastikan adalah rumah Mas Bima. Setelah meletakkan helm, aku membetulkan rambutku yang acak-acakan dan mengetuk pintu rumahnya. Pintu rumah itu terbuka. Mas Bima keluar dengan hanya mengenakan celana pendek. Dari lehernya menetes sedikit keringat. Sepertinya dia sedang beres-beres. Aku mengalihkan wajahku yang memerah karena melihat tubuh Mas Bima sambil berdeham. “Masuk Fin…” ajak Mas Bima. Dia membuka pintu lebar-lebar mempersilakan aku masuk. Aku membuka tali sepatu ketsku dan melepas kaus kaki sebelum masuk. Rumah kontrakan Mas Bima cukup luas dengan dua kamar dan sebuah dapur. Sepertinya memang Mas Bima sedang merapikan barang-barang yang akan dibawanya. Beberapa tumpukan barang sebagian telah diikat rapi, sementara banyak yang masih perlu disusun. “Aku bantuin dari mana nih, Mas?” tanyaku. “Santai dulu aja Fin, ambil minum dulu gih di kulkas,” perintah Mas Bima sambil mengikatkan tali rapia pada sebuah tumpukan buku. Aku menuruti anjuran Mas Bima dan mengambil sebotol minuman dingin dari kulkas. Memang sore itu cukup panas dan aku kehausan. “Mas?” panggilku. “Ya, Fin?” sahut Mas Bima tanpa menghentikan pekerjaannya. “Udah enggak bisa dirubah ya rencananya?” tanyaku muram. Mas Bima menghentikan usahanya mengencangkan tali dan menghela nafas. Diapun menoleh ke arahku. “Enggak Fin… maafin mas ya?” ujarnya sambil mendekat ke arahku. Aku membiarkan Mas Bima memelukku sambil mencium pipiku mesra. Aku kembali merasa meleleh dalam pelukan tubuh kekarnya yang memang sangat menggoda itu. “Semoga ini yang terbaik buat Mas dan keluarga. Dipercaya ikut pendidikan itu bukan main-main, Mas…” kataku mencoba membesarkan hati. Mas Bima mengangguk sambil tersenyum. “Kalau memang kita harus ketemu lagi, kita ketemu… sementara itu, Mas enggak ngelarang kamu bergaul sama cowok lain. Kamu masih muda Fin,” “Mas… janji ya?” kataku. “Janji apa?” “Jangan nakal sama cowok lain di Mess…” pintaku manja. Mas Bima terbahak. “Susah Fin, emangnya kamu pikir gampang apa berhubungan sama cowok? apalagi Mas ini Polisi. Bahaya kalau sampai sembarangan.” “Iya, Mas. Enggak rela aja…” ujarku sambil mengetatkan pelukanku dan menikmati setiap lekukan otot-otot tubuhnya. Sungguh, sebenarnya Mas Bima akan sangat mudah mencari cowok manapun dengan fisik dan ketampanannya. Itulah sebabnya, memikirkannya saja aku tak rela dan cemburu. Mas Bima terdiam. Dia mengangkat wajahku dan menatapku. Sebuah ciuman lembut dan lama dia daratkan pada bibirku. Aku membalasnya dengan lelehan air mata. Inikah perpisahan itu? Mas Bima merangkul pinggangku dan menuntunnya ke kamarnya. Berkali-kali aku menciumnya dengan mesra seolah tak ingin berpisah dengan bibir itu selamanya. Dengan lembut Mas Bima membimbingku membuka seluruh pakaianku. Setelah sama-sama bertelanjang dada, kami kembali berangkulan dan berciuman mesra. Aku merinding saat dada bidang Mas Bima dan putingnya menekan dadaku. Mas Bima menciumi leherku dan pundakku seolah tak ingin membiarkan sesentipun lolos dari cumbuannya. Tapi kali ini aku ingin yang mengambil kendali. Aku ingin melakukan apa yang ingin kulakukan sebelum tak bisa menemuinya lagi. Kurebahkan tubuh Mas Bima di atas ranjang. Mas Bima sepertinya tahu aku ingin mengambil kendali. Dia tersenyum dan mengangkat tangannya dan berpegangan pada besi pinggiran ranjangnya hingga ketiaknya yang berbulu rapi itu terekspos jelas. Aku menciumi Mas Bima mulai dari perut sixpacknya, bergeser hingga dadanya. Seperti biasa aku berikan servis lidah terbaikku untuk melumat dada bidang dan puting kecoklatannya itu hingga Mas Bima menggelinjang dan mengerang. Dengan ujung jari telunjukku yang kubasahi dengan liur, kutekan dengan gerakan memutar puting Mas Bima. Sesekali kuhisap dan kugigit lembut bergantian dengan gerakan jariku. “Ssssh.. bangke… enak banget Fin….” racau Mas Bima. Aku pun sepertinya. Tak ingin melewatkan sesenti pun bagian tubuhnya untuk aku cumbu. Aku menghirup dalam-dalam aroma tubuh Mas Bima yang wangi cologne maskulin bercampur dengan aroma alami tubuhnya. Tak tahan, aku menjilat ketiak Mas Bima dan menciumi tonjolan otot lengan bisep dan trisepnya bergantian. Aku memang mengagumi pria ini. Lambang kejantanan pria lengkap dengan profesinya sebagai polisi dan seragamnya yang membuatnya makin gagah. Mas Bima melenguh. Aku pun mencium bibirnya dengan lembut dan lama. Lalu aku melepas celana pendek Mas Bima. Penisnya yang sudah nyaris tegang sempurna itu kuusap dan kukocok perlahan. Dengan lidahku kusapu seluruh batang penis itu hingga basah mengilap. Mas Bima bergumam sambil menggerak-gerakan kakinya. Mungkin sedang menikmati perlakuanku. Tangannya masih berpegangan pada besi ranjang. Aku melahap penis Mas Bima dan mengulumnya dengan gerakan cepat dan bernafsu. Kuhisap kuat hingga kupikir Mas Bima akan merasakan tekanan pada penisnya dan bisa membuatnya keenakan. “Fin…” desahnya sambil menengadahkan kepalanya ke atas dan memejamkan mata. Kujulurkan lidahku dan kusapu dari buah zakarnya dengan tekanan konstan bergerak ke atas hingga kepala penis Mas Bima. Kusapukan lidahku dengan gerakan melingkar pada kepala penis itu dan kuberikan bonus dengan memberikan rangsangan tepat pada lubang kencingnya. Kudengar Mas Bima mendesis-desis sambil sesekali tubuhnya menegang. Setelah cukup lama aku bermain-main dengan penisnya yang sudah sangat basah, aku melepas celanaku dan menghimpit kedua pinggangnya dengan pahaku. Aku ingin Mas Bima menjelajahi diriku dengan posisiku di atas tubuhnya. Aku kemudian menurunkan pinggangku hingga penis Mas Bima melesak masuk ke dalam anusku. “Aaaaah…” desah Mas Bima keenakan. Aku masih ingin mengambil kendali atas Mas Bima. Itulah sebabnya kemudian aku menggoyangkan tubuhku di atas tubuhnya sehingga membuat penis Mas Bima ikut bergerak seirama dengan tubuhku. “Aaah.. aaah…” Mas Bima terus mendesah ketika penisnya yang melesak di dalam anusku terasa nikmat oleh jepitan pantatku. Kemudian aku berpegangan pada perut Mas Bima dan mengambil posisi berjongkok. Lalu aku bergerak cepat naik turun hingga penis Mas Bima keluar masuk anusku berkali-kali. Giliranku yang mengerang menikmati batang penis Mas Bima yang kubuat mengentotiku berkali-kali dengan gerakanku. “Oh.. oh.. ohh…. kontol Mas Bima emang hebat…” aku meracau. “Terus Fin… terus.. enak…” ujar Mas Bima sambil merengkuh kedua pantatku dan meremasnya sambil terus memerhatikan penisnya yang keluar masuk lubang anusku. Tenagaku hampir habis. Aku kemudian melengkungkan punggungku ke belakang dan bertumpu pada lututnya. Kubiarkan Mas Bima mengambil kendali. Dia kemudian mengangkat pantatku sedikit hingga dia leluasa mengambil alih menusuk anusku berkali-kali. Dengan kecepatan sepeti mesin, Mas Bima berkali-kali menghujamkan penisnya hingga tubuhku ikut terlonjak-lonjak di atas tubuhnya. Hantaman demi hantaman batang keras Mas Bima membuatku hilang kendali. Rintihan kenikmatan keluar dari mulutku. Tubuhku masih terlonjak-lonjak seiring dengan tusukan Mas Bima yang berada di bawahku. Mas Bima menggeram sambil mencengkeram betisku kuat-kuat. Sungguh hebat stamina pria ini. Aku mengocok penisku dan tak lama menyemburkan sperma yang memancar ke atas dan jatuh sebagian pada perut Mas Bima. “Aaaaaaaah….” pekik aku keenakan. “Aaaaarggh…..” Mas Bima mengerang saat dia pun hendak keluar. Dengan sekali hentakkan keras, dia mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dan membiarkannya agak lama sehingga penisnya melesak dalam-dalam pada terowongan anusku. Kurasakn penis Mas Bima berdenyut-denyut sebelum memuntahkan kembali isinya, yaitu cairan sperma hangatnya yang terasa membanjiri anusku. “Oooooouuuuh….” desahku dan Mas Bima bersahutan. Aku kemudian menjatuhkan diriku ke atas tubuh Mas Bima dan menciumi tubuhnya yang semakin berkeringat. **** Seks itu merupakan seks perpisahanku dengan Mas Bima. Setelah membantunya berkemas, aku ditraktirnya makan. Malam itu kami berkencan semalaman di luar. Aku kini lebih bisa merelakan dirinya pergi walau masih sedikit berat. “Makasih ya Mas…” kataku sambil melepas pergi Mas Bima yang mengantarku hingga kost. Mas Bima mengangguk sambil tersenyum. Kupeluk Mas Bima dan menciumnya lembut. “Semoga sukses pendidikannya Mas…” kataku memberinya semangat. Setelah mengucapkan perpisahan, Mas Bima berpamitan. Akupun menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Merasa sedih namun bercampur bahagia. Baru saja aku hendak melihat sudah jam berapa sekarang, aku baru sadar tak lagi mengenakan arloji. Apakah tertinggal di rumah Mas Bima? Entahlah. Aku tidak memikirkannya. Perpisahan Ini yang terbaik.. ini yang terbaik.. entah untukku, untuk Mas Bima, atau untuk keluarganya, ujarku dalam hati. Hari Minggu ini adalah hari keberangkatan Mas Bima. Sepertinya Mas Bima diantar oleh beberapa kawannya di kesatuan. Aku sengaja tak mengantarnya karena memang akan terlihat aneh jika aku berada di sana. Baru saja aku hendak mengucapkan selamat jalan dan berhati-hati melalu pesan teks, Mas Bima lebih dulu mengirimkan sebuah file catatan. “Findra, walau pertemuan kita ternyata sangat singkat, Mas enggak bisa menyangkal kalau kamu udah jadi bagian spesial dari Mas. Maaf karena selama ini Mas berbagi dengan kau dan Mbak Tika. Salah ataupun benar, Mas hanya berpikir kalau Mas tidak bisa jauh dari kamu Fin. Seandainya tidak ada penugasan untuk pendidikan ini mungkin kita bisa lebih lama bersama-sama. Mas pasti kangen sama Findra. Tapi Mas juga enggak mau jadi halangan untuk kamu berkenalan dengan orang lain. Semoga ada orang yang bisa bahagiakan kamu. Oh iya, waktu itu arloji kamu tertinggal…” Aku belum sempat menyelesaikan kalimat selanjutnya dari surat Mas Bima ketika perhatianku teralihkan oleh suara ketukan di pintu. Aku berjalan dan membuka pintu dan agak terkejut karena ada seorang pria berseragam polisi berdiri sigap di depan kamarku. “Ya?” tanyaku. Polisi itu berwajah tampan namun sepertinya agak canggung dan agak menundukkan kepalanya. Tubuhnya kekar seperti Mas Bima hanya saja sepertinya dia beberapa tahun lebih muda dari Mas Bima. Cambangnya dan alisnya yang tebal membuat pak polisi ini terlihat makin gagah. “Findra? saya umm.. saya dititipkan sesuatu oleh Mas Bima sebelum dia berangkat…” katanya sambil mencari-cari sesuatu dengan gugup di jaketnya. Aku terpana melihat dia mengeluarkan sebuah arloji yang kukenali sebagai milikku. Dia mengulurkan benda itu padaku dan aku menerimanya. “Oh! jam tangan saya… terima kasih ya, udah repot-repot nganterin.” Kataku. “Oh, iya, ehm.. sama-sama… kalau begitu.. saya permisi dulu…” kata Pria itu canggung berpamitan. Aku mengangguk. Kemudian begitu kulihat polisi itu melangkah meninggalkanku, cepat-cepat kuselesaikan surat dari Mas Bima. “…jadinya saya titip teman saya yang bernama Arjuna untuk nganterin arloji kamu ke sana. Oh iya, dia suka antusias kalau aku bicara soal kamu Fin. Sepertinya dia pengen sekali kenalan sama kamu. Kalau kamu bertanya apa dia… hmm.. mungkin. Sepertinya kita tahu sama tahu, dan selera dia juga sama seperti Mas. Brondong kayak kamu. hahaha.. Tolong Fin, kalau dia datang, ajak saja kenalan. Dia agak pemalu soalnya. Itu saja dari Mas. Semoga kuliah kamu cepat selesai dan cepat jadi orang sukses ya.. Salam sayang, Mas Bima..” Aku meneguk ludah. Jadi polisi tadi namanya ARJUNA? Aku buru-buru keluar kamar mengejarnya. Syukurlah dia masih terlihat berjalan menuju gerbang depan. “Pak! eh, Mas.. Mas! Mas Arjuna!” Rupanya ketika aku menyebut namanya, hal itu berhasil menghentikan langkah polisi muda itu. “Ya?” tanyanya canggung. “Emm.. terima kasih ya udah repot-repot antar. Oh iya, nama saya Findra, adik sepupunya Mas Bima,” kataku sambil mengulurkan tangan. “Oh.. iya.. ehm.. nama saya Arjuna,” katanya sambil membalas jabatan tanganku dengan jabat tangan yang tegas dan tanpa ragu. “Teman Mas Bima teman saya juga… Salam kenal ya? oh iya, saya masih baru di kota ini. Kalau enggak keberatan, kapan-kapan kita jalan sama-sama, aku mau kunjungin tempat wisata di sini,” tawarku simpatik. “Benar? Oh, eh.. ehm.. oke Fin, nanti hubungin saya aja.” Aku menahan tawa saat melihat reaksi antusias Arjuna namun buru-buru dia kembali menjaga sikapnya. “Handphone,” kataku sambil mengulurkan telapak tangan meminta ponselnya. Arjuna mencari-cari ponselnya dan menyerahkannya padaku. Sambil tersenyum aku menekan tombol pada ponselnya dan ponselku berdering. Kemudian aku mengembalikan ponselnya. “Disimpan ya nomornya, itu nomorku… Sampai ketemu,” ujarku sambil berpaling hendak kembali ke kamar. “Oh, oke.. makasih.. nan.. nanti saya hubungi…” kata Arjuna masih canggung. Aku mengangkat ibu jariku dan mengangguk padanya sambil tersenyum. Hmmm… apakah artinya dia bisa menjadi MAS ARJUNA, PAK POLISIKU? Membayangkan itu saja aku tiba-tiba merasa senang. Terima kasih, Mas Bima… sudah mengirimkan pengganti Mas yang tidak kalah tampan, gumamku dalam hati. (TAMAT) Bonus: “Action!” teriakku dari atas ranjang. Tapi dari kamar mandi tidak ada seorang pun yang muncul. “Action!” sahutku sekali lagi. Tak lama keluarlah seorang pria berpakaian seragam polisi. Gagah, tampan, dan sengaja membiarkan dua kancing seragamnya terbuka sehingga tampak nakal. “Kamu tahu apa kesalahan kamu?” tanyanya galak. “Eh.. ehm.. ampun Pak Polisi Juna.. saya.. saya… cuma masuk ke halaman rumah ini untuk ambil bola saya…” kataku pura-pura ketakutan. “Ambil bola? tapi pemilik rumah bilang kamu mencuri buah plum dari pagarnya!” kata polisi bernama Arjuna itu galak. “Ampun pak.. jangan tangkap saya… saya enggak niat buat makan buahnya…” kataku sambil berlutut di depannya. “Buka baju kamu! kamu harus dihukum…!” kata polisi itu lebih galak. Aku menuruti keinginannya dan melepas kausku. “ADA APA INI??!” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami berdua. Seorang pria lain berseragam polisi menghampiri kami berdua. Dia memakai seragam seperti Mas Juna dengan dua kancing teratas yang sengaja di buka. “Ini Pak Bima… saya menangkap anak ini. Dia mencuri buah dari rumah pak pejabat. Saya mau hukum dia..” kata Mas Juna pada polisi satunya yang ternyata adalah Mas Bima. Mas Bima mengangguk-angguk dengan senyuman licik. “Anak ini memang harus diberi pelajaran. Saya bantu kamu beri hukuman supaya dia jera…” kata Mas Bima dingin. “Oke. Mari kita kasih anak ini pelajaran…” kata Mas Juna kejam. Kemudian Mas Bima dan Mas Juna masing-masing memegang lenganku dan mengangkat tubuhku yang sedang berlutut serta melemparku ke atas ranjang. Aku memekik gembira tatkala melihat Mas Bima dan Mas Juna di hadapanku melepas seragam polisi mereka secara bersamaan sambil tersenyum licik dan menatapku penuh nafsu…. (TAMAT LAGI)

No comments:

Post a Comment