My Blog List

Wednesday, 22 January 2014

Merantau – Bagian 5

RUSLAN sudah berlari cukup jauh menyusuri jalan parkiran mall hingga tiba di bagian belakang gedung, namun dia tidak bisa menemukan orang yang tadi menabraknya dan kemungkinan besar telah mencuri ponselnya. Ruslan menunduk sambil memegang lututnya kelelahan. Nafasnya terengah-engah karena sebenarnya dia memang sedang lelah. Tak lama Erry yang menyusulnya sudah berada di dekatnya. “Rus, gimana?” tanya Erry sambil memegang punggung Ruslan. “Udah hilang, Mas. Enggak kekejar,” jawab Ruslan. “Yaudahlah Rus, kita pulang aja. Ada handphone yang gak kepake di rumah sebelum kita beli yang baru. Nanti kita urus juga nomor kamu yang hilang,” hibur Erry. “Tapi, semua nomor kontak teman-temanku ada di situ semua, Mas! aku paling cuma hafal nomor telepon bapak sama temenku satu orang aja! Aku cuma punya handphone satu!” tukas Ruslan. “Kamu kan bisa tanya sama temanmu nanti. Lagipula aku yakin satu-persatu nomor telepon kenalan kamu semuanya udah terkumpul kalau nomor kamu aktif lagi,” kata Erry menenangkan. Ruslan tak sanggup berkata apa-apa lagi. Kekesalannya sudah memuncak. Ingin rasanya kembali ke desa dan bertemu dengan bapak serta melupakan seluruh rencana tinggal dan kuliah di Jakarta ini. Dadanya terasa sesak karena belum ada sehari di kota ini, rasanya semua orang mempersulit dirinya. Itulah sebabnya, Ruslan tak banyak bicara saat dia dan Erry kembali ke rumah. Rasa-rasanya dirinya seperti putus dari kehidupan dan orang-orang disekitarnya. Dia merasa lelah. Lelah fisik dan emosi. Ketika keduanya tiba di rumah, ada sebuah mobil lain sudah terparkir di garasi. Ruslan membantu Erry membawa seluruh barang dan makanan yang mereka beli di mall. Ketika dia melewati pintu utama, suara Oom Alfin memanggilnya. “Rus? kamu sudah datang?” Melihat Oom Alfin yang sedang duduk di kursi ruang tamu, masih berpakaian kerja, Ruslan meletakkan belanjaannya dan menghampiri pria tersebut. “Iya Oom, tadi siang. Ini baru antar Mas Erry belanja,” jawab Ruslan sambil mencium tangan Oom Alfin. “Kalian beli apa?” tanya Oom Alfin. “Makan malam, Pa. Bi Leni enggak masak hari ini,” kata Erry sambil meletakkan barang bawaannya di atas meja. “Kamu sudah tahu kamarmu di mana?” tanya Oom Alfin pada Ruslan. “Sudah Oom,” jawab Ruslan pelan. Ketidakantusiasannya terlihat oleh Oom Alfin. “Hey, kamu kenapa, Rus?” Oom Alfin bertanya sambil memegang bahu Ruslan. “Ruslan kecapekan, Pa. Sudah digangguin orang di mall, handphone nya juga ada yang copet,” jelas Erry santai. Diceritakan seperti itu malah membuat Ruslan semakin lemas. “Heh! kok bisa? kamu gimana sih, Er? bukannya jagain tamu yang datang,” protes Oom Alfin. “Udah gapapa Oom, bukan salah Mas Erry, akunya aja yang ceroboh,” bela Ruslan. Erry mematung di sebelah meja. “Sekarang kamu istirahat dulu. Kamu pasti kecapekan. Kamu sudah makan siang tadi?” tanya Oom Alfin. Ruslan mengangguk. “Ya sudah. Kamu ke kamar dulu istirahat, nanti kalau waktunya makan malam, kita panggil,” kata Oom Alfin. Ruslan mengangguk. “Maaf Oom, baru datang gak bisa langsung ngobrol sama Oom,” kata Ruslan minta maaf. Tapi dirinya memang benar-benar merasa letih. “Gapapa,” kata Oom Alfin sambil menepuk punggung Ruslan dan menyuruhnya ke atas. Dengan lesu Ruslan meninggalkan Oom Alfin dan Erry di ruang tamu. Dia tersenyum sekilas kepada Erry saat naik tangga menuju kamarnya. Ketika sampai di lantai dua, Ruslan dapat mendengar Oom Alfin berdebat dengan Erry dan sekilas mendengar kata-kata seperti “..kamu gimana sih, Er?” dan “Besok kita ganti, Pa..” yang keluar dari mulut Oom Alfin dan Erry. Suara mereka tak lagi terdengar saat Ruslan menutup pintu kamarnya. Kemudian dia tersadar, tak ada kunci yang menempel pada pintu kamarnya. Begitu pula kunci selot. Artinya, Ruslan tak mendapat privasi di kamarnya sendiri. Tapi Ruslan terlalu lelah untuk memikirkan semua itu. Dia menghela nafas dan menjatuhkan diri ke atas ranjang, pikirannya masih menerawang sesaat. “Pak, aku kangen bapak…” ujarnya dalam hati. Kemudian Ruslan meringkuk dan tertidur. **** Ruslan terbangun saat dia merasa ada seseorang yang mengguncang-guncang lengannya. “Kak! bangun kak! dipanggil Papa buat makan!” sahut suara anak-anak yang berasal dari sebelah Ruslan. “Ng…” Ruslan berusaha membuka matanya. Rupanya kamarnya sudah gelap karena cahaya dari luar yang tadinya menerangi kamar Ruslan sekarang sudah hilang seiring dengan datangnya malam. “Kamu siapa?” tanya Ruslan saat dirinya melihat seorang anak lelaki berusia delapan atau sembilan tahun menatapnya sambil tersenyum. Wajahnya yang bundar dan tubuhnya yang sedikit gemuk membuat Ruslan teringat pada foto anak kecil berwajah ramah di ruang tamu, namun yang ini terlihat lebih tua beberapa tahun. “Aku Albie, Kak!” kata anak itu sambil menarik telapak tangan Ruslan dan menempelkannya di kening. Kemudian dia berlari menuju pintu dan menyalakan tombol lampu sehingga kamar RUslan menjadi terang benderang. Mata Ruslan berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya terang itu. Kepalanya terasa pusing. Tapi dia tetap berusaha menyapa Albie. “Halo Albie, aku Ruslan,” katanya sambil tersenyum. “Iya Kak! Albie udah tau. Hehehe.. ayo, kak! sudah ditunggu Papa di bawah,” ajaknya sambil menarik tangan Ruslan. “Iya.. iya… tapi boleh gak kalau kamu duluan? kakak mau cuci muka dulu sebentar ya?” kata Ruslan sambil mencubit pipi Albie. Albie mengangguk. “Albie bilang sama Papa deh,” katanya riang sambil keluar kamar. Ruslan kemudian beranjak menuju kamar mandi. Dia menyalakan kran air dan mencuci mukanya. Saat keluar kamar dan mengeringkan wajahnya dengan handuk, dia melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 7 malam lewat sedikit. Secara reflek Ruslan hendak mengambil ponselnya, namun dia kembali teringat kalau ponselnya telah hilang. Dia pun menghela nafas. Ruslan berjalan menuju ruang makan. Dari situ terdengar suara Oom Alfin, Erry, dan juga Albie sedang bercakap-cakap sambil makan. “Hey, Rus! ayo sini makan!” ajak Oom Alfin ketika melihat Ruslan datang. Oom Alfin sudah berganti pakaian dengan kaus polo dan celana yang agak longgar. Dia juga memakai sandal. Erry tampak baru saja mandi. Terlihat segar dengan memakai kaus putih dan makan dengan tenang di sebelah ayahnya. Albie duduk di ujung meja makan sambil memain-mainkan gelas minumnya. “Iya Oom,” sahut Ruslan. Dia duduk di sebelah Oom Alfin dan meraih piringnya. Diisinya dengan nasi dan lauk-pauk lalu mulai makan. “Kamu gak usah sungkan di rumah ini ya, Rus. Kita gak terlalu kaku di sini. Nyantai aja…” kata Oom Alfin ramah. Ruslan mengangguk. “Er, tolong bantu Ruslan urus handphone nya yang hilang ya?” pinta Oom Alfin. “Beres Pa!” jawab Erry. Dia kemudian menatap Ruslan sambil tersenyum. Ruslan membalas senyuman Erry lalu meneruskan makan. Untuk pertama kalinya Ruslan merasa nyaman di tengah keluarga barunya ini. Dia menggoda Albie yang terkekeh padanya dengan menjulurkan lidah. Saat Ruslan hampir menyelesaikan makannya, terdengar pintu depan rumah terbuka dan terbanting cukup keras. Oom Alfin membalik badannya berusaha mencari tahu siapa yang datang. “Nan? Nando? kamu udah pulang?” sahut Oom Alfin. Tak ada jawaban. Terdengar langkah seseorang di tangga menuju lantai atas. “Hey! Nando! kamu dengar Papa gak?” panggil Oom Alfin lebih keras. Suasana di meja makan mendadak hening. “Ada apa, Pa? Nando capek nih…” seru suara di atas. “Jangan gak sopan gitu! ada tamu ini… anak temennya bapak, cepet turun makan dulu!” kata Oom Alfin lebih kencang. Untuk beberapa saat tak ada respon. Lalu muncullah seorang pria seumuran Ruslan, berwajah tampan namun kurang ramah, dan hidungnya mirip dengan sosok wanita di foto keluarga. Rambutnya terpangkas pendek, dan dia memakai kaus tanpa lengan dan membawa ransel di pundaknya. Secara fisik, nyaris tak ada bedanya dengan Ruslan. Namun keduanya memiliki ketampanan yang berbeda. Dia menatap Oom Alfin seolah berkata ingin menantang, “apa maumu sih, Pa?”. Namun kontrol anak itu akan tubuhnya bisa dibilang luar biasa, walau tak bisa menyembunyikan rasa enggannya. “Ini Ruslan. Dia akan tinggal di sini dan kuliah di tempat yang sama dengan kamu. Papa harap kamu bisa berteman dengannya dan bantu dia kuliah. Nah, Rus, ini Nando, adiknya Erry. Dia seumuran sama kamu,” jelas Oom Alfin. Tadinya Ruslan ingin berinisiatif bangun dan menghampiri Nando untuk bersalaman dengannya. Namun niatnya urung dilakukan saat Nando mendelik padanya dengan tatapan kurang suka. “Anak dari kampung mana lagi yang Papa bawa?” ujarnya dingin sambil menatap Oom Alfin. Kalimat itu sudah cukup membuat Ruslan membenci anak itu dan ingin segera pergi dari rumah tersebut. Brak! Oom Alfin menggebrak meja. Semua mendadak terdiam. “Papa gak sekolahin kamu buat jadi anak yang gak sopan! cepat minta maaf!” Bentak Oom Alfin sambil bangkit dari kursinya. Nando tak bergerak. Dia melirik Ruslan dan kemudian melengos pergi begitu saja. “Hey! Nando! Nando! jangan pergi kamu!” seru Oom Alfin memanggil-manggil Nando yang naik ke atas. Terdengar bunyi pintu dibuka dengan tak sabar lalu dibanting. Oom Alfin duduk kembali sambil menghela nafas. Dia mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja dengan tidak sabar. “Anak itu… tiap hari selalu nguji kesabaran saya,” gumamnya. Seluruh orang di ruangan itu tak berani berkomentar. Setelah Oom Alfin meminta Ruslan memaklumi sikap Nando, Ruslan berpamitan untuk kembali ke kamarnya karena kepalanya masih terasa sakit. Erry memberinya obat sakit kepala dan Ruslan menerimanya. Di dalam kamar ketika pintunya sudah tertutup, Ruslan menghela nafas. Ingin rasanya hari ini cepat berganti dan berharap keesokan paginya semua hal bisa menjadi lebih baik. Kemudian dia naik ke atas ranjang dan berusaha untuk tertidur. Ruslan tak tahu sudah berapa lama dia tertidur. Tapi suara ketokan lembut di pintu kamarnya membuatnya terbangun. Dia melompat dari ranjang dan melirik arlojinya. Sudah jam dua pagi. Ruslan menekan-nekan pelipisnya berusaha untuk terjaga. Kemudian dia menuju pintu dan membukanya. Ternyata Nando sudah berdiri di luar kamarnya. “Eh, Mas Nando? ada apa ya?” tanya Ruslan heran. Dirinya agak canggung menyapa cowok itu. Selain karena belum sempat berbicara, ucapan Nando saat makan malam tadi masih membuatnya kesal. “Jangan panggil gue ‘Mas’, ah! kita kan seumuran,” pintanya. Ruslan baru sadar. Nando saat itu hanya mengenakan celana pendek selutut tanpa atasan. “Eh, iya, maaf…” kata Ruslan. Tak disangka-sangka Nando malah tersenyum pada Ruslan. Hal itu membuat Ruslan terheran-heran. “Rus, maafin gue ya tadi pas di meja makan. Gue sebenernya gak bermaksud ngehina lo, tapi tadi gue cuma cari perkara sama Papa,” katanya. “Loh? kenapa Nan? Oom Alfin kan Papa kamu,” tanya Ruslan bingung. Nando menghela nafas. “Denger ya, Papa gak kayak yang lo kira. Dia selalu aja ngelarang-larang gue. Bikin dia kesal semacam balas dendam yang bisa gue kasih sama dia, apalagi kalau sampai dia marah.” Ruslan tak menjawab. Dia tak tahu harus berkomentar apa saat itu. “Yah… gue cuma bisa ngucapin selamat datang di rumah ini buat lo,” kata Nando sambil meraih tangan Ruslan untuk menjabatnya. “Kalau nanti-nanti gue pura-pura cuek sama lo, jangan masukkin ke hati, ya? trus, kalau lo butuh bantuan gue, apa aja, jangan ragu tanya-tanya,” lanjutnya. Ruslan mengangguk. Dia masih heran dengan perubahan sikap Nando yang tiba-tiba. “Gue tidur dulu ya? met lanjut tidur,” kata Nando sambil menepuk bahu Ruslan sebelum dia kembali ke kamarnya. Ruslan terdiam di pintu sambil menatap Nando hingga dia masuk ke kamarnya. Dia masih bingung. **** Ruslan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Benar-benar hari yang aneh! pikirnya. Keluarga yang aneh pula! mudah-mudahan besok-besok tidak ada lagi kejadian aneh menimpanya. Harap Ruslan dalam hati. Tak lama dirinya pun kembali tertidur. Lima belas menit kemudian, ketika Ruslan tertidur pulas, seseorang membuka pintu kamarnya perlahan dan masuk ke dalam…

No comments:

Post a Comment