Wednesday, 22 January 2014
Merantau – Bagian 11
TANGAN Ruslan terasa kebas saat perlahan mendorong pegangan pintu kamar dimana bunyi suara dering ponsel yang dia curigai ikut berbunyi saat dirinya menghubungi nomor ayahnya. Jantungnya berdebar kencang. Apa mungkin ayahnya berada di kamar ini? tanya Ruslan dalam hati.
Baru sedikit terbuka, Ruslan terlonjak ketika seseorang menarik gagang pintu itu dan membukanya lebar-lebar. Hampir saja dia tertabrak oleh seseorang yang keluar dari kamar secara tiba-tiba kalau saja dirinya tak menghindar secara reflek.
“Ya-ya.. sebentar, di dalam kamar sinyalnya tidak bagus, saya keluar kamar dulu…” ujar Erry yang berjalan ke arah tangga. Sebelumnya dia menoleh kepada Ruslan dengan tatapan keheranan, namun dia tak menghentikan percakapannya di telepon.
Ruslan yang masih kaget mencoba mengatur nafasnya. Tatapannya tak dia lepaskan dari Erry yang terdengar sedang bercakap-cakap di ponselnya dengan entah siapa.
“Yes.. saya tahu ada perbedaan waktu. Tapi di sini masih jam tiga dinihari. Tolong tahan dulu semampu kamu, saya segera ke kantor lebih cepat…. oke… oke… baik… terima kasih…” Erry menutup teleponnya.
“Kenapa Rus?” tanya Erry keheranan. Lorong di lantai dua itu masih gelap, tapi Erry bisa merasakan tatapan Ruslan mengarah padanya dengan penuh curiga.
Seperti tersadar sesuatu, Ruslan segera menelepon kembali nomor ayahnya. Tidak aktif. Masih curiga, Ruslan mencari-cari nomor kontak ponsel Erry dan meneleponnya.
Erry terlonjak saat ponselnya berbunyi. Saat dia melihat layarnya, alisnya bertaut kebingungan. “Ngapain kamu nelepon saya, Rus?”
Ruslan tak menjawab. Dia mendengarkan sesaat untuk mencoba memastikan bunyi nada dering ponsel milik Erry sama dengan yang dia dengar beberapa saat yang lalu. Dan ternyata memang sama.
“Kenapa Rus? Kamu gak enak badan?” tanya Erry sambil mendekat ke arahnya.
Ruslan secara reflek mundur. Dia masih mencurigai Erry. Ada perasaan mengganggu dari Erry yang membuat dirinya sedikit takut. Tapi Ruslan segera menguasai dirinya. Cepat-cepat dia putuskan sambungan telepon ke ponsel milik Erry.
“Eh.. enggak mas, kepencet. Barusan saya mau coba telepon bapak, soalnya tadi saya lihat misscall dari bapak pas kebangun…” ujar Ruslan berusaha tak terdengar gugup.
“Oh… kamu tidur di mana Rus? kamar Nando? tadi saya sempat ke kamar kamu enggak ada,” selidik Erry.
Sial! Erry pasti memata-matai dirinya. Pikir Ruslan. Bayangkan saja, dia senang sekali keluar masuk kamar orang lain hanya karena tak ada kuncinya… tunggu! apakah.. apakah Erry juga sempat melihat perbuatannya bersama Nando? Ruslan mendadak ketakutan. Kamar Nando juga tak memiliki kunci.
“I.. iya mas.. tadi kita ngobrol kelamaan, jadinya saya ketiduran di kamar Nando,” jawab Ruslan.
“Ooh… yasudah… masih gelap. Kamu tidur lagi aja, Rus!” perintah Erry. Dirinya kemudian menepuk bahu Ruslan dan masuk ke kamarnya.
Ruslan mengangguk gugup sambil tersenyum. Dia kemudian kembali ke kamar Nando. Tadinya Ruslan hendak meneruskan tidur di kamarnya sendiri. Entah mengapa suatu perasaan menuntunnya kembali ke kamar Nando. Dia berdiri di samping ranjang mengawasi Nando yang sedang tidur.
Dalam keremangan kamar Ruslan memerhatikan Nando yang terlelap. Badannya memunggungi Ruslan. Tapi Ruslan melihat sesuatu yang aneh. Secara konstan bahu Nando bergerak seperti menggigil. Ruslan yang curiga segera mendekati Nando.
“Ndo… kamu kenapa?” tanya Ruslan. Telapak tangannya menyentuh bahu Nando. Dan dia merasakan tubuh Nando panas seperti terbakar, namun basah oleh keringat.
“Nando? kamu sakit?” Ruslan membalik tubuh Nando. Wajahnya kini terlihat tampak pucat, bibirnya gemetar, sementara matanya tak menutup sempurna.
“Ndo? Nando?!” sahut Ruslan panik. Sadar Nando tak merespon panggilannya, Ruslan melompat dari ranjang dan keluar kamar menuju kamar Erry.
“Mas! Mas Erry!” panggil Ruslan sambil mengetok pintu kamar Erry berkali-kali.
Tak lama pintu kamar Erry terbuka. “Kenapa Rus?” tanya Erry sambil mengenakan kacamatanya.
“Nando, Mas! kayaknya.. kayaknya dia sakit…” beritahu Ruslan panik.
Erry tak menjawab. Dia segera melesat ke kamar Nando. Erry lalu membungkuk untuk meraba dahi Nando. Ekspresinya terlalu tenang untuk seseorang yang mengetahui adiknya sakit, seolah-olah ini bukan pertama kali Erry menghadapi situasi seperti ini.
“Pasti dia tidak minum obatnya…” gumam Erry sambil menekan-nekan ponselnya berusaha menghubungi seseorang.
“Obat? Obat apa mas? Nando sakit?” tanya Ruslan.
Dengan ponsel menempel di telinga, Erry tak menjawab pertanyaan Ruslan. Dia hanya menatap Ruslan seolah enggan menjelaskan. Ruslan pun tahu diri tak bertanya lagi.
“Ambulan? iya. Ya.. ya… adik saya sakit,” kata Erry sambil menyebutkan alamat rumah mereka pada seseorang di ujung sana.
Setelah menutup telepon, Erry mencoba meluruskan badan Nando yang menggigil kaku. “Dia tidur enggak pakai baju lagi…” gumam Erry. Ruslan terkesiap saat Erry tiba-tiba menatapnya penuh selidik. Buru-buru Ruslan mengalihkan pandangan.
“Tolong ambilkan handuk Rus, di kamar mandi,” perintah Erry.
Ruslan pun segera mengambil handuk bersih yang terlipat di rak dalam kamar mandi dan menyerahkannya pada Erry.
Erry dengan telaten mengelap keringat dingin yang membasahi tubuh Nando. Getarannya sudah berkurang sekarang. Erry juga mematikan pendingin udara dan mengambil kaus Nando yang tersampir di kursi dan berusaha memakaikannya pada adiknya.
“Kenapa Nando?” tiba-tiba Oom Alfin menyeruak masuk ke dalam kamar. Hampir saja dia menubruk Ruslan yang berdiri di dekat ranjang.
“Biasa Pah, tadi aku udah panggil Ambulan.” jelas Erry.
Oom Alfin terdiam. Dia menoleh sebentar pada Ruslan dan menatapnya curiga.
“Nando sudah agak tenang, tapi kita tetap harus bawa dia ke rumah sakit. Sebaiknya kita tunggu di bawah saja,” usul Erry.
****
Sepuluh menit kemudian, saat Oom Alfin, Erry, dan Ruslan sedang menunggu di ruang tamu, terdengar suara raungan ambulan. Dua orang petugas medis langsung naik menuju kamar Nando ditemani Erry. Tak lama Nando yang terbaring di ranjang dorong dibawa oleh petugas medis itu menuju ambulan. Ruslan hanya sempat melihat wajah Nando yang masih pucat namun terlihat tidur tenang.
“Kamu di rumah aja ya Rus, biar Oom sama Erry yang ke rumah sakit. Kamu temani Albie di rumah,” kata Oom Alfin sambil mengikuti Nando.
“Iya Oom,” kata Ruslan.
Albie tadi memang sempat terbangun. Mungkin karena masih mengantuk, dirinya tertidur kembali di sofa. Praktis di rumah ini hanya ada dirinya, Albie, dan satpam yang kebetulan jaga karena seperti biasa, Bi Leni dan tukang kebun pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Bie.. Albie.. pindah ke kamar yuk?” kata Ruslan berusaha membangunkan Albie. Albie hanya bergerak sedikit, merengut dan kembali tertidur. Ruslan menghela nafas.
Tiba-tiba terpikir olehnya untuk memeriksa kamar Erry. Sebelum beranjak ke atas, Ruslan menyelimuti Albie yang tertidur di sofa terlebih dahulu.
Namun sebelum memeriksa kamar Erry, Ruslan kembali ke kamar Nando. Di situ dia memeriksa setiap laci yang ada di sana. Saat tak bisa menemukan apapun yang bisa menjadi petunjuk penyebab sakitnya Nando, kaki Ruslan menendang sesuatu yang tampaknya seperti sebuah botol kaca kecil.
Botol itu menggelinding jauh ke bawah ranjang. Ruslan yang curiga berusaha meraih benda itu dengan tangannya. Usaha Ruslan berhasil. Tangannya menggenggam sebuah botol bening berisi belasan butir pil berwarna hijau. Tak ada keterangan apapun pada botol itu. Hanya ada bekas sobekan kertas yang sepertinya menempel di botol itu sebelumnya.
Ruslan mengangkat botol itu hingga dekat dengan wajahnya berusaha mengenali butiran pil yang ada di dalamnya. Kemudian dia membuka tutupnya dan mengendus isinya. Baunya seperti bau obat biasa. Ruslan menutup botol itu kembali dan menaruhnya di saku celana. Kali ini dia tak mau membuang waktu. Ruslan bergegas menuju kamar Erry. Seperti dugaannya, kamarnya tak dikunci. Perlahan Ruslan masuk ke kamar anak tertua dari Oom Alfin itu.
Ruslan belum pernah melihat kamar Oom Alfin untuk membandingkan, tapi dibandingkan kamar milik Nando, kamar Erry lebih besar dan lebih lengkap isinya. Sepertinya tak cuma tempat beristirahat, kamar Erry dilengkapi dengan sebuah meja kerja yang letaknya dekat dengan jendela besar balkon. Beberapa tumpukan dokumen dan buku ada di atasnya, tepat di sebelah lampu meja hitam. Anehnya, ranjang Erry masih terlihat rapi seperti belum ditiduri. Apakah semalaman ini Erry bekerja? Ruslan baru sadar, Erry tak tampak seperti baru saja bangun tidur saat memergokinya keluar kamar tadi. Tak membuang waktu, Ruslan mulai memeriksa laci-laci dan meja di kamar Erry. Sayangnya, laci meja kerja Erry terkunci. Ruslan lalu beralih pada meja di samping ranjang Erry. Di dalam lacinya, Ruslan hanya menemukan benda-benda tak penting seperti majalah lama dan koran bekas. Ruslan mendengus. Dia melirik jam dinding di kamar Erry. Sudah hampir jam setengah lima pagi. Sebentar lagi pasti Oom Alfin dan Erry akan pulang. Ruslan lalu bergegas menuju lemari pakaian milik Erry. Satu laci di dalamnya terkunci rapat, namun satunya lagi tak terkunci. Ketika dibuka, Ruslan menemukan dua botol yang sama dengan yang dia temukan di kamar Nando. Hanya saja, botol obat di kamar Erry masih tersegel dengan rapi dan tanpa ada label keterangan apapun.
Puluhan pil hijau identik dengan isi botol obat milik Nando masih memenuhi kedua botol itu. Tanpa perlu memeriksanya, Ruslan yakin isi ketiga botol itu sama. Pelan-pelan ditutupnya kembali lemari Erry dan Ruslan kembali ke kamarnya.
****
Ruslan sudah berpakaian rapi. Limabelas menit yang lalu Oom Alfin meneleponnya dan memintanya menjaga Nando di rumah sakit sebentar sementara dia dan Erry pulang.
“Kamu temani Nando dulu enggak apa-apa kan? kita terpaksa tinggalin Nando karena ada rapat penting di kantor yang enggak bisa ditunda,” pinta Oom Alfin.
“Iya Oom, enggak apa-apa. Toh, saya belum mulai kuliah dan di rumah enggak ada kegiatan,” kata Ruslan.
Sambil menunggu Oom Alfin dan Erry datang, Ruslan berbaring di ranjangnya sambil mengamati botol obat yang dia temukan di kamar Nando. Ruslan sempat berpikir untuk mengembalikannya ke kamar Nando sebelum Oom Alfin atau Erry curiga. Tapi dia memilih untuk menyimpannya sebagai petunjuk atas misteri yang merundungi keluarga ini.
Setelah keduanya tiba di rumah, Ruslan berpamitan hendak pergi ke rumah sakit. Dia tiba di sana sekitar lima belas menit dengan motornya. Dari informasi nomor kamar yang diberikan oleh Erry, Ruslan mencari kamar tempat Nando di rawat.
Rumah sakit itu lebih menyerupai hotel menurut Ruslan. Semua kamar dan furnitur ditata sedemikian rupa sehingga tampak nyaman dan tak menakutkan. Tetapi walaupun tampak seperti hotel, bau obat-obatan dan alkohol yang menguar dimana-mana tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit.
Kamar Nando terletak di ujung lorong di lantai delapan. Sebuah kamar VIP dengan hanya satu ranjang. Padahal tadi Ruslan sempat mengintip ke kamar kelas satu di sebelahnya, mewahnya seperti kamar hotel berbintang banyak. Ruslan mengetuk pintu kamar sebelum masuk.
Di dalam, Nando sedang berbaring sambil memejamkan mata. Selang infus menempel pada punggung tangan kirinya. Dadanya terlihat naik turun, tapi Ruslan tahu, sepertinya Nando tidak sedang tidur. Ruslan melangkah mendekati ranjang Nando. Dia meletakkan telapak tangannya pada lengan Nando, mencoba mengecek apakah demamnya sudah turun sekaligus membangunkannya.
“Ndo..” bisik Ruslan.
Perlahan mata Nando terbuka. Dia melirik ke arah Ruslan dan begitu tersadar Ruslan sudah berdiri di sebelahnya dia membuka matanya lebar-lebar tampak begitu lega.
“Oh, Syukurlah elo udah datang Rus!” sahut Nando lega.
“Loh, kenapa? elo udah mendingan? masih sakit?” tanya Ruslan cemas.
“Gue udah enggak apa-apa. Sewaktu sampai kemari juga gue udah sadar kok. Cuma karena gue males ngehadapin Papa sama Mas Erry, gue dari tadi berusaha pura-pura tidur dan berusaha tidur supaya enggak usah ngobrol sama mereka,” ringis Nando.
Ruslan mencoba memahami Nando yang begitu sekuat tenaga menghindari komunikasi dengan keluarganya. Ruslan pun enggan membahas masalah itu lebih jauh dan memilih untuk menanyakan kondisi Nando.
“Tapi sekarang elo udah mendingan? gue panik banget pas ngeliat elo tiba-tiba enggak sadar dan demam tadi subuh,” ujar Ruslan jujur.
Nando tidak menjawab. Dari sudut matanya muncul setitik air dan bibirnya gemetar tersenyum. “Makasih ya udah khawatir sama gue,” kata Nando. “Gue enggak apa-apa, tapi belakangan emang gue males minum obat,” lanjutnya tanpa merinci lebih jauh obat apa yang dimaksud. Hal ini memancing Ruslan bertanya lebih jauh.
“Iya, tadi gue sempet denger Oom Alfin sama Mas Erry bilang sesuatu tentang obat elo yang gak diminum. Memang obat apaan itu?” tanya Ruslan hati-hati.
Nando terdiam. Sepertinya dia enggan menjelaskan. Namun akhirnya dia buka mulut.
“Gue… menurut dokter didiagnosa menderita gejala depresi. Kata Papa gue harus rutin minum obat itu. Memang benar sih, kalau gue minum obat itu gue bisa lebih tenang dan beraktivitas seperti biasa termasuk membenci mereka berdua. Tapi belakangan… setelah elo datang, gue males minum obat itu lagi. Kedatangan elo ngedatangin semangat baru yang seolah bilang ke gue, gue enggak butuh obat itu lagi. Gue pikir, kalau gue enggak minum sehari dua hari, gejala gue enggak akan kambuh. Tapi gue enggak nyangka soal efek sampingnya…” jelas Nando.
Ruslan terhenyak. “Jadi sekarang… mereka bikin elo supaya minum obat itu lagi?” tanyanya.
Nando mengangkat bahu. “Enggak tahu juga. Mungkin mereka udah masukkin di dalam infus… Tadi gue sempat muntah dan enggak bisa nelan apa-apa.”
“Belum makan?” tanya Ruslan.
Nando menggeleng. “Sayang ya, padahal gue enggak mau muntahin kenang-kenangan yang elo kasih semalam,” ujar Nando sambil tersenyum nakal dan mengusap-usap perutnya, merujuk peristiwa semalam saat dirinya memberikan servis oral pada Ruslan dan menelan spermanya.
Ruslan menjadi salah tingkah. Wajahnya bersemu merah. “Dasar…” ujarnya sambil menampar pipi Nando pelan.
Nando terkekeh. “Temenin gue sampe sore ya? biar Papa sama Mas Erry enggak ada alasan datang ke sini…” pinta Nando manja.
Ruslan tak menjawab. Dia masih berdiri mematung di pinggir ranjang Nando. Namun akhirnya dia mengangguk setuju. Bagaimanapun sepertinya rumah sakit adalah tempat yang tepat bagi dirinya untuk mulai menyelidiki obat yang diminum oleh Nando.
“Elo istirahat dulu gih. Gue enggak ke mana-mana kok,” ujar Ruslan menenangkan Nando.
Nando mengangguk, lalu mulai memejamkan matanya. Setelah beberapa lama, memastikan Nando sudah benar-benar tertidur, Ruslan keluar kamar dan menuju meja informasi.
Meja informasi terletak di depan lift. Seorang perawat berpakaian hijau-hijau duduk sambil menulis-nulis sesuatu pada buku catatan.
“Permisi sus, kalau dokter yang rawat pasien kamar VIP apa sudah datang?” tanya Ruslan.
“Maaf mas, dengan siapa?” tanya perawat itu ramah.
“Saya kakaknya pasien, mau tanya soal obat,” ujar Ruslan berbohong.
Perawat itu melirik jam tangannya. “Dia masih ada di lantai lain, mas. Sebentar lagi sih memang dia mau periksa kamar VIP. Mas tunggu saja ya?” jelas perawat itu.
“Oo.. baik Sus, terima kasih,” ujar Nando pamit.
Sambil menunggu dokter tiba, Ruslan duduk di sofa sambil menekan-nekan remote televisi mengganti-ganti saluran. Televisi itu Ruslan atur dengan volume kecil karena tak ingin menggangu Nando. Di meja yang terletak di depan sofa, tergeletak roti isi yang baru dimakan separuh dan gelas kertas berisi teh manis panas. Ruslan belum sempat sarapan saat ke rumah sakit. Sesekali dia menyentuh saku celana jeansnya memastikan botol obat milik Nando masih berada di tempatnya.
Ruslan terlonjak saat pintu kamar Nando terbuka. Seorang pria berperawakan tinggi besar berusia sekitar empat puluhan masuk sambil bercakap-cakap dengan dengan seorang perawat wanita muda yang berjalan di sebelahnya. Pria itu memakai jubah putih dokter. Dia menghentikan langkahnya sebentar saat melihat Ruslan. Kemudian Ruslan mengangguk dan dokter itu membalas dengan anggukan juga lalu menuju ranjang.
Ruslan tak bisa melihat apa yang mereka lakukan di dekat ranjang karena perawat itu menutupi ranjang dengan gorden. Keduanya bercakap-cakap seperti orang bergumam sehingga Ruslan tak bisa menangkap isi pembicaraan mereka.
Setelah beberapa saat, dokter dan perawat itu membuka tirai. Ruslan melirik ke arah Nando yang masih tampak tertidur pulas.
“Kamu keluarganya Pak Alfin?” tanya dokter itu ramah.
Ruslan mengangguk.
“Tolong kabari beliau, Nando kemungkinan besar sore ini sudah boleh pulang. Kondisinya sudah stabil.” lanjutnya.
Ruslan tersenyum sumringah. “Benar dok? baik, nanti saya kabari Oom Alfin.”
Dokter itu mengangguk sambil tersenyum seolah hendak pamit, namun Ruslan buru-buru mencegahnya.
“Maaf dok, saya mau menunjukkan sesuatu,” ujar Ruslan.
“Ya?” tanya dokter itu ramah.
Ruslan mengeluarkan botol obat dari saku celana jeansnya. “Ini dok… tadi saya temuin ini di kamar Nando. Mungkin dokter tahu ini obat apa? dan Na” ujar Ruslan sambil menyerahkan botol itu pada dokter.
Wajah dokter itu terlihat berubah. Dia dan perawat muda itu saling berpandangan sejenak. Lalu keduanya berusaha menguasai diri.
“Hmmm.. saya belum bisa pastikan dik, kalau boleh saya bawa dulu untuk diperiksa?” tanyanya.
Sebenarnya Ruslan enggan menyerahkan botol obat itu. Dia hendak protes namun dokter itu telanjur memasukkan botol obat itu ke dalam saku jubahnya.
“Mm… baik dok…” gumam Ruslan. Lalu dokter dan perawat itu keluar kamar.
Ruslan mendengus. Seperti teringat sesuatu, dia mencoba menghubungi nomor ayahnya kembali. Masih tidak aktif. lalu dia mencari nomor Anto dan menekan tombol dial dan menunggu.
Ternyata tersambung! Ruslan harus menunggu sampai lima kali sampai akhirnya panggilannya diangkat.
“Halo?” sapa sebuah suara di sana.
“Halo? Anto?” tanya Ruslan tak yakin karena suara itu tak mirip suara sahabatnya.
“Maaf dik, ini dengan siapa ya?” tanya suara itu ramah.
“Ini Ruslan… temannya Anto.. Antonya ada?”
Lama tak ada jawaban.
“Maaf dik, ini saudaranya Anto… Antonya sekarang lagi di rumah sakit, dua hari lalu dia kecelakaan. Motor ojek yang dia tumpangi nabrak pohon dik, sekarang kondisinya kritis dan belum sadar, jadi dia dirujuk ke rumah sakit besar….”
Jantung Ruslan serasa berhenti berdetak. Ya Allah! ada apa ini? Anto kecelakaan? benarkah? pikir Ruslan.
“Pak.. di rumah sakit mana ya, pak?” cecar Ruslan.
“Maaf dik, kami enggak boleh kasih tahu…” ujar suara di seberang.
“Loh? siapa yang larang? Anto di rawat di mana? halo? halo?” sahut Ruslan nyaris berteriak.
Ruslan semakin panik saat sambungan telepon diputus. Dia mencoba menghubungi nomor Anto kembali namun tidak diangkat.
“Brengsek!” maki Ruslan setelah usahanya yang ke lima menelepon Ruslan masih saja tak ada jawaban. Tangan Ruslan gemetar karena marah.
“Rus… ada apa?” tanya sebuah suara.
Ruslan menoleh. Ternyata Nando sudah terbangun dan menatapnya heran. Ruslan tak bisa menjawab.
*bersambung*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment