Wednesday, 22 January 2014
Merantau – Bagian 2
RUSLAN berteriak kencang sambil memukul-mukulkan tangannya ke udara saat dia merasakan seseorang mengguncang-guncang bahunya.
“Hei, Rus! kamu kenapa?” tanya Bapak heran.
Ruslan terduduk di ranjang. Nafasnya tak beraturan. Matanya liar memandang ke sekeliling kamarnya yang sekarang sudah terang mencoba mencari sosok yang rasanya baru sedetik lalu membekapnya. Tapi yang ada di situ hanya sosok Bapak yang memandangnya cemas.
“Kamu mimpi, Rus?” tanya Bapak lagi.
Ruslan tak menjawab. Dia bangkit dari ranjang dan menghambur ke pintu kamar mencoba melihat kalau orang itu bersembunyi di baliknya. Kemudian dia memeriksa setiap bagian jendela kamarnya yang berteralis besi. Tak ada tanda-tanda kerusakan. Lalu dia melihat sekeliling kamarnya, mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Ruslan pun menyambar raket nyamuk di dinding. Dia berlutut dan melongokkan kepalanya ke bawah ranjang sementara tangan satunya bersiap dengan raket nyamuknya. Tapi tak ada siapa-siapa di situ. Ruslan pun kembali berdiri dengan heran.
“Bapak gak kenapa-napa?” tanya Ruslan. Ruslan yang sudah mulai sadar sepenuhnya, sayup-sayup mendengar suara adzan subuh dari mesjid terdekat dari rumahnya.
“Bapak gak kenapa-napa, Rus. Memang ada apa? Bapak mau bangunin kamu salat subuh biar sekalian siap-siap ” tanya Bapak semakin cemas.
“Tadi ada rampok masuk kamar Ruslan, Pak! dia.. dia.. bekap ruslan di kasur!” jerit Ruslan.
“Ah, yang benar?!” kata Bapak lalu menghambur keluar. Bapak kemudian memeriksa pintu depan, pintu belakang, dan seluruh jendela di rumah. Tapi tak ada tanda-tanda kerusakan maupun barang hilang atau berpindah, apalagi bertemu sosok yang dibilang Ruslan sebagai perampok.
“Kamu yakin, Rus?” tanya Bapak lagi. Ruslan masih terengah-engah masih belum percaya orang itu sudah menghilang. Kausnya basah karena keringat.
“I.. Iya, pak! dia bilang… dia bilang…” Ruslan tiba-tiba enggan meneruskan.
“Dia bilang apa, Rus?” tanya Bapak.
Ruslan tak ingin membuat ayahnya khawatir lalu memutuskan untuk tak memberitahu Bapak ancaman si penyusup. “Eng.. Ruslan lupa, pak.”
“Ya sudah, kamu ambil air wudhu, sana. Sholat dulu, mungkin kamu mimpi buruk gara-gara cemas mau berangkat,” saran Bapak.
“Oiya, adek kamu tuh tenangin dulu sebelum sholat. Bapak yakin, kamu gak mimpi buruk… Bapak duluan…” kata Bapak sambil ngeloyor pergi.
Hah? tanya Ruslan dalam hati. Kemudian dia menunduk. Rupanya penisnya menegang alias dirinya sedang mengalami ereksi pagi. Sialnya, dia hanya memakai celana pendek yang berbahan ringan sehingga jelas menonjol di selangkangannya. Wajahnya memerah dan Ruslan segera berlari ke kamarnya.
Di dalam kamar, Ruslan mencari-cari ponselnya karena dia yakin saat penyusup itu membekapnya, ponselnya terlempar ke lantai. Tapi Ponsel itu rupanya berada di atas meja, tepat seperti saat dia meletakkannya sebelum tidur. Ruslan mengambil ponselnya sambil menghela nafas. Apa benar tadi itu cuma mimpi? tapi kenapa terasa begitu nyata? Bahkan tas nya pun masih ada di tempat. Kalau memang benar dirinya dilarang pergi, pastilah orang itu sudah mengacak-acak isi tasnya.
****
“Ruslan pamit dulu pak,” kata Ruslan sambil mencium tangan Bapak. Kemudian dia memeluk Ayahnya erat-erat.
“Baik-baik kamu di sana, Rus. Jangan bikin malu Oom Alfin. Jangan malas bantu-bantu di rumah mereka,” pesan Bapak.
Ruslan mengangguk mantap. Sementara itu, Anto, teman Ruslan sudah bersiap di motornya. Pagi itu matahari baru saja menyembul merah di ufuk timur. Udara masih sangat dingin. Namun Ruslan sudah siap berangkat menuju terminal bus untuk selanjutnya pergi ke stasiun kereta menuju Jakarta.
“Sehat-sehat ya, Pak. Nanti Ruslan bakal sering-sering telepon Bapak,” kata Ruslan. Ia naik ke jok belakang motor sambil memeluk tasnya.
Giliran ayahnya Ruslan yang mengangguk-angguk.
Dengan tatapan sedih, Ayah Ruslan melambaikan tangan melepas kepergian anaknya sampai motor itu menghilang di kejauhan.
Perjalanan menuju terminal bus cukup melelahkan. Ruslan sampai kerepotan ketika dia dan motor temannya menembus perbukitan yang menjadi semacam pagar alam yang mengisolir kehidupan desanya dari dunia luar. Beberapa kali nyaris saja Ruslan menjatuhkan tas bajunya. Untungnya, Anto sahabatnya jago mengendarai motor, sehingga segala rintangan dan jalan yang kurang bagus dapat ditembusnya.
“Kalau udah jadi orang kota, jangan lupain kita ya Rus!” sahut Anto. Pemuda kurus berkacamata itu memeluk erat Ruslan.
“Jangan cengeng ah! gue gak akan berubah, To!” sahut Ruslan.
“Nanti gue kangen main ke curug (air terjun) sama elu…” kata Anto.
“Loh, kok? kangennya cuma karena main ke situ?” tanya Ruslan heran.
Muka Anto tiba-tiba bersemu dan sumringah.”Iya Rus, gue sukaaaaaa banget liat kamu berenang, seksi tau… nah.. nah.. mana ini ciuman perpisahannya buat gue? mana? mana?” kata Anto sambil memonyong-monyongkan bibirnya seolah hendak mencium Ruslan.
Bletak! Sedetik kemudian Anto sudah jongkok di tanah sambil meringis kesakitan. Tangannya dia usap-usapkan pada bagian dekat pelipisnya yang berdenyut-denyut dan mulai tumbuh benjol karena baru saja dijitak Ruslan dengan cukup keras.
“Becanda atuh Rus, kamu mah… jitaknya beneran…” rengek Anto sambil memandang sebal pada Ruslan.
Ruslan tak menggubris rengekan Anto. Dia kemudian menarik Anto bangun dan mengajaknya pergi menuju Bus menuju stasiun kereta.
Kira-kira perjalanan menuju Jakarta memakan waktu lima jam dengan menggunakan kereta. Ruslan yang duduk di dekat jendela lama kelamaan merasa mengantuk. Kepalanya masih terasa pusing. Masih jelas di ingatannya bau menyengat yang tercium sebelum dia tertidur kembali. Itulah sebabnya, sesaat setelah kereta mulai bergerak, Ruslan tak kuasa menahan kantuknya. Dipeluknya erat-erat tasnya yang berisi bekal uang dan surat-surat penting, kemudian dia pun tertidur.
****
Ruslan terbangun saat ponsel di kantung celananya berbunyi. Matanya mengerjap-ngerjap mencoba menyesuaikan dengan cahaya silau matahari yang sudah meninggi hampir di atas kepala. Kereta masih bergerak, namun Ruslan tak tahu sudah sampai di mana keretanya. Diusapnya dahinya yang berkeringat, lalu Ruslan buru-buru mengangkat telepon. Dari Erry.
“Rus? Kamu udah sampai mana? Aku dah di jalan nih, mau jemput kamu!” kata Erry di seberang telepon.
“Ngg.. aku juga baru kebangun nih, mas! sebentar ya kutanya dulu,” Jawab Ruslan.
“Maaf Mas, masih lama ya sampai Jakarta?” tanya Ruslan pada seorang pria yang duduk di depannya.
“Mm… kira-kira sih setengah jam-an lagi mas,” jawab Pria itu mengalihkan perhatiannya dari koran yang dibacanya untuk menjawab Ruslan.
“Oh… oke.. makasih mas,” ujar Ruslan sambil tersenyum.
“Mas Erry, kayaknya sih sekitar setengah jam lagi, mas!” ujar Ruslan.
“Oke, kalau kamu sampai duluan, jangan pergi dulu dari stasiun ya? tunggu Mas jemput,” perintah Erry.
“Iya, Mas. Makasih…” pungkas Ruslan.
Karena merasa sebentar lagi dirinya akan tiba di Jakarta, Ruslan segera memeriksa kembali semua barang bawaannya. Masih lengkap. Memang benar, tak sampai setengah Jam, Kereta yang ditumpangi Ruslan tiba di stasiun Gambir. Ruslan berdiri sambil meluruskan tulang-tulangnya yang rasanya mau patah karena terlalu lama tidur dalam posisi yang kurang enak di kursi kereta. Dia pun mencoba menghubungi Erry sambil menuruni tangga.
“Halo, Mas? aku udah sampe stasiun nih? Mas di mana?” tanya Ruslan.
“Aku di depan, Rus. Kamu keluar aja dulu,” kata Erry.
Ruslan pun mencari jalan keluar stasiun yang dindingnya didominasi warna hijau cerah itu. Dari kejauhan, terlihat Erry melambaikan tangannya, menyuruh Ruslan menghampirinya. Erry, seperti biasanya, wajahnya selalu tersenyum.
“Kenapa datang sendiri, Rus? kita bisa jemput kok ke sana,” ujar Erry sambil menjabat tangan Ruslan.
“Gak apa-apa, Mas! aku enggak enak udah ngerepotin kalian semua,” tolak Ruslan halus.
“Kamu ini… Yasudah, ayo cepat, kita ke tempat parkir. Kebetulan aku juga dari luar kota, Rus, belum pulang ke rumah,” kata Erry.
Ternyata Erry menjemput Ruslan dengan mobil Jeep yang sama yang pernah digunakan Erry dan Oom Alfin saat berkunjung ke desa Ruslan. Dari luar kota? tanya Ruslan dalam hati. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak. Mungkinkah Erry yang menyusup ke rumahnya tadi malam? lalu buru-buru pergi kembali ke Jakarta, menjemputnya seolah tidak terjadi apa-apa. Dan… apa itu? mengapa Jeep ini kotor sekali? hampir semua ban nya tertutup oleh tanah cukup tebal dan mulai mengering. Belum lagi cipratan bekas air bercampur tanah yang sudah mengering di sisi-sisinya. Jantung Ruslan mulai berdegup kencang. Dia diam tak bergerak di samping mobil Erry, tak mau mengikutinya masuk.
“Rus? kamu kenapa? ayo masuk.” ajak Erry.
“Mas Erry dari mana?” selidik Ruslan.
“Dari mana apa, Rus?” tanya Erry tak mengerti.
“Iya, Mas Erry dari mana? luar kota mana?” tanya Ruslan menyelidik. Suaranya yang berubah ketus tak bisa disembunyikan.
Erry diam sesaat. Tak menyangka Ruslan bakal bertanya menyelidik seperti itu. Erry menatap Ruslan kurang senang, namun beberapa saat kemudian dia kembali tersenyum.
“Oke. Kalau kau memang mau tahu, aku baru dari Jonggol, mau lihat tanah yang bakal dibuat perumahan. Jalannya di sana becek sekali. Kamu lihat kan? mobil aku jadi kotor begitu?” jelas Erry sambil terkekeh.
“Ayo masuk, Rus! aku pengen mandi dan istirahat. Capek sekali,” ajak Erry sekali lagi.
Walau masih ragu dengan penjelasan Erry, Ruslan merasa kali ini dia tak punya pilihan lain selain ikut dengan Erry. Dia butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Erry bukanlah orang yang menyekap dan mengancamnya tadi malam.
Ruslan tetap terdiam saat sudah masuk ke dalam mobil. Erry yang entah lelah ataukah memang kurang suka dengan pertanyaan menyelidik Ruslan, tidak memulai percakapan. Wajahnya masih sesekali tersenyum, tapi diselingin oleh wajah datar sambil menatap jalan.
Mata Ruslan tertumpu pada laci perkakas di dasbor mobil Jeep Erry. Pikirnya, kalau memang pelakunya Erry, dan syukur-syukur dia belum membuang perlengkapan menyusupnya, pasti semuanya masih dia simpan di situ. Kemudian Ruslan memikirkan sebuah skenario. Dia lalu menjatuhkan ponselnya ke lantai mobil.
“Eh, hape-ku!” jerit Ruslan sambil pura-pura lepas kontrol dengan ponsel yang digenggamnya.
Lalu Ruslan membungkuk berusaha mengambil ponsel yang terjatuh di lantai. Dengan sekali hentakkan, tanpa berusaha membuat Erry curiga, dia menggunakan bahunya untuk menggebrak laci perkakas di dasbor mobil Erry. Brak! dan seluruh isi laci perkakas itu pun tumpah.
Ruslan membelalak melihat sesuatu yang terjatuh dari dalam laci tersebut. Begitu pula dengan Erry. Dia sama terkejutnya ketika benda itu terjatuh dan Ruslan kini melihatnya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment