Thursday, 23 January 2014
Bercinta dengan Kakak Ipar (Bagian 2)
HARI berikutnya saat sarapan semuanya terulang… Shep dengan celana pendeknya membuatku horny dan terganggu.
Saat pulang kerja, aku membuat lasagna dan menghangatkan roti bawang putih. Shep memuji masakanku dan membuatku tersanjung.
Setelah makan malam, kami beristirahat di ruang tamu sambil menonton tv. Shep membuka kausnya dan melepas kancing celananya sambil bersantai di sofa. Dia duduk di sebelah tanpa sadar akan efeknya padaku.
“Aku ngobrol sama pengacaraku hari ini,” kata Shep tiba-tiba.
“Sungguh?”
“Yeah. Aku mengajukan gugatan cerai. Ibuku bilang kalau aku berbuat kesalahan besar, tapi aku sudah tak tahan, Billy.”
“Aku juga tak tahu bagaimana kau bisa bertahan dengan Wendy bertahun-tahun.”
Shep tertawa kecil. “Yah. Dia lumayan oke kok,” ujarnya sambil nyengir. Aku mendelik seolah menyatakan tak tertarik dengan detil ceritanya.
“Aku mencintainya,” tambahnya. “Bukannya aku tak mencintainya. Aku hanya lelah… lelah selalu disuruh-suruh. Lelah melakukan apa yang dia mau. Aku hanya ingin jadi diri sendiri. Seperti kau.”
Aku menatapnya terkejut. Shep menatapku beberapa saat, tapi aku tak bisa menebak isi hatinya. Kemudian dia menenggak birnya dan kembali menonton tv.
Keesokan harinya di tempat kerja. Aku terkejut menerima telepon dari Wendy.
“Aku tahu dia tinggal ditempatmu,” bisiknya.
“Ya. Shep menginap di apartemenku. Halo juga untukmu.”
“Terserah. Bilang pada si brengsek pemalas impoten itu kalau dia harus membayar separuh sewa di sini. Mungkin bila dia menghabiskan uang untuk membeli viagra daripada bir–”
“Pertama-tama, aku bukan sekretarisnya dan–”
Terdengar bunyi klik dan nada sambung. Aku memandang takjub pesawat telepon. Dia menutup telepon begitu saja.
Dasar jalang.
* * *
Beberapa minggu berikutnya, Shep dan aku menjalani rutinitas. Tiap pagi, dia akan sarapan di dapur dengan celana pendek, dan kami makan sereal bersama. Malamnya, aku memasak makan malam. Dia ikut membantu mengurus apartemen, mencuci piring, bahkan membersihkan kamar mandi. Dia tak pernah menyebut-nyebut soal mencari tempat tinggal lain, begitu pula aku.
Kami mengobrol lebih nyaman saat makan malam dan ketika menonton televisi. Aku terbuka cerita padanya, sesuatu yang sudah lama tak kulakukan pada orang lain. Kuceritakan soal hubunganku terdahulu dan bagaimana perasaanku. Dia akan bercerita bagaimana kehidupannya bersama Wendy dan aku akan menggelengkan kepala tak percaya. Dia cerita soal dirinya yang tak lagi memiliki teman. Wendy telah membuat teman-teman Shep pergi bertahun-tahun lalu. Ketika Shep pergi, hanya akulah yang ada di pikirannya.
Aku makin suka Shep setiap harinya. Aku suka dia berada di sini bersamaku. Aku tak lagi kesepian. Aku menginginkan lebih, tentu saja. Dalam fantasiku, kami berdua adalah pasangan. Kecuali saat malam hari, dia tidur di matras di kamar lain, dan aku tidur di kamarku. Aku akan berbaring di kamarku sambil membayangkan Shep yang nyaris telanjang dan membayangkan sesuatu yang ada dibalik celana pendeknya.
Kami nongkrong setiap malamnya dan di akhir pekan, kita berdua nongkrong seperti sahabat. Menonton film di bioskop, berbelanja, atau jalan-jalan dengan truknya. Aku menyukainya. Truk tuanya sangat hebat.
Sabtu malam itu kami memutuskan untuk tinggal di rumah dan menonton film. Aku ingin camilan, jadi kutawarkan untuk membuat kue.
“Membuat kue? biskuit?” tanya Shep dengan wajah tak percaya.
“Yah,” aku mengedik. “Bikin biskuit itu mudah.”
“Kue cokelat?” tanya Shep, nyengir seperti anak kecil.
Aku tak dapat menahan diri untuk tersenyum. “Tentu saja.”
“Yes!”
Dia bertepuk tangan antusias. Aku tertawa dan beranjak ke dapur untuk mulai membuatnya. Kukeluarkan sekantung cokelat-chips, tepung dan gula dan mulai membuat biskuit menggunakan resep yang ada pada kemasan cokelat-chips. Saat kutuang cokelatnya, Shep muncul di belakangku dan melongok lewat bahuku, dan mencolek adonan kuenya. Dia mengambil sedikit adonan dan memasukkannya ke mulut.
“Hey!” kataku sambil berusaha memukul tangannya.
“Jangan khawatir. Aku sudah cuci tangan.”
Dia tertawa saat aku berusaha mendorongnya dengan pantatku. Dia berkelit dan mengambil lagi adonannya dan memakannya.
“Kita gak akan punya biskuit kalo adonannya terus kau makan,” kataku berusaha terdengar kesal, tetapi aku tertawa saat mengatakannya.
“Tapi rasanya enaaak…”
Aku berputar dan tertawa saat kuletakkan tanganku di dadanya mencoba mendorongnya. Tubuhnya yang besar tak bergerak. Aku menatap mata birunya dan jantungku serasa berhenti berdetak. Dia sangat dekat denganku. Tanganku terasa panas saat menekan dadanya. Denyut nadiku terdengar di telinga. Dia berdiri di depanku dengan nafas berat. Perutku terasa kram saat tangannya bergerak di punggungku.
Shep tersenyum kecil. Kulihat di mulutnya ada bekas adonan dan cokelat yang dia makan. Aku menelan ludah dengan gugup mencoba menjauh, tap Shep maju dan mendorongku ke meja. Dia mengambil adonan lagi dengan jarinya, tapi kali ini dia mengarahkannya pada mulutku. Dia menatapku balik saat aku membuka mulut. Kukatupkan bibirku sambil mengulum jarinya yang dilumuri adonan. Aku menjilat jarinya dengan gerakan menggoda saat dia mengeluarkannya dari mulutku.
Mata Shep membelalak ketakutan dan mundur dariku. Dia mengalihkan pandangannya dan keluar ruangan.
Sial. Apa yang telah kulakukan?
Aku menarik nafas beberapa kali. Aku merasakan air mata mengalir di wajahku. Aku mengangkat kacamata dan mengusap wajahku. Setelah mencuci tangan, aku melanjutkan membuat kue. Tanganku gemetaran saat membuat adonan kue menjadi bulat. Kumasukkan adonan biskuit ke dalam oven dan mengatur waktunya. Tak ada tanda-tanda Shep saat aku duduk di sofa.
Shep muncul beberapa saat kemudian. Wajahnya sedikit basah seperti habis mencuci muka. Dia menatapku sebentar dan kemudian memalingkan wajah. Aku menyadari dia duduk di lengan sofa daripada duduk di sebelahku seperti biasanya. Kami duduk dalam kecanggungan sampai aku memungut remote dan mulai memutar filmnya. Aku berusaha berkonsentrasi pada film dan tidak pada Shep hingga aku merasa tertekan.
Saat pengatur waktu berhenti, aku mengeluarkan biskuit dari dalam oven dan menaruhnya di wadah. Aku kembali ke ruang tamu. Shep meneruskan lagi filmnya dan menaruh remote di atas meja.
Sesaat kemudian, aku beranjak ke dapur dan memeriksa biskuit-biskuit itu. Biskuitnya masih hangat, namun cukup dingin untuk dimakan. Kutaruh biskuit cokelat itu di atas kertas dalam keranjang dan membawanya ke ruang tamu. Aku duduk di sofa di sebelah lengan kursi dan kuserahkan kue-kue itu pada Shep. Dia meraup beberapa kue dan ahkirnya dia menatapku sambil memaksa untuk tersenyum.
“Maafkan aku, Shep,” ujarku pelan.
“Tak apa, Billy. Bisakah kita kembali seperti biasanya?”
“Yeah.”
Shep menggigit kuenya.
“Mm. Hangat dan enak.”
“Dia menatapku sambil tersenyum. Ketegangan di udara mulai menguap. Kubalas senyumannya dan ikut mengambil kue cokelat itu sambil terus menonton TV.
Malamnya saat aku beringsut ke ranjang, aku tak dapat tertidur. Penisku menegang hingga terasa sakit. Aku melepas celana dalamku dan melemparnya ke lantai. Kulihat selangkanganku. Penisku menegang menekan perut. Bentuknya mulus karena kulitnya tertarik saking tegangnya. Kepalanya memerah dan lengket oleh cairan pre-cum. Aku merabanya naik turun hingga gemetar.
Aku mencari-cari pelumas di dalam laci. Kutuangkan sedikit pada kepala penisku. Kumasukkan kembali pelumas itu ke dalam laci, dan mulai mengocoknya. Aku mendesis saat gerakanku membawa kenikmatan ke seluruh tubuh.
Kuraba tubuhku sendiri dengan tangan kiriku sementara tangan satunya terus mengocok penisku. Kututup mataku dan Shep mendadak muncul dalam bayanganku. Dia memakai celana pendek. Dadanya yang bidang berbulu itu mendekatkan diri untuk kuraba. Kucium bibirnya. Dan tonjolan dibalik celananya…
“Oh tuhan,” erangku. Tubuhku menegang saat ‘keluar’. Sperma hangat memuncrat ke seluruh tubuhku mengenai dada dan perutku. Aku merebahkan diri ke ranjang sambil terengah-engah. Kubersihkan diriku di kamar mandi. Setelah bersih, aku kembali ke kamar.
Saat melewati kamar Shep, aku mendengar dengkurannya melalui pintu tertutup. Kudengarkan beberapa saat, dan kembali ke kamarku untuk tidur.
* * *
Beberapa hari berikutnya, Shep tidak ikut sarapan. Ketika kami makan malam, kami lalui dalam diam. Aku yakin kalau aku telah menghancurkan persahabatan di antara kami. Tetapi lagipula, dia yang memulai semuanya.
Jumat pagi, Shep muncul di dapur seperti biasa dengan hanya memakai celana pendek. Dia tampak malu-malu dan akhirnya berani menatapku dan memberikan seulas senyuman. Dia menuangkan kopi dan duduk di meja sambil makan sereal. Aku beranjak untuk pergi kerja.
“Hei, Billy. Tak usah masak makan malam hari ini.”
Aku menatapnya bingung. “Kau yakin?”
“Aku akan pergi dengan teman-teman setelah kerja. Mungkin minum bir atau apa.”
“Oh. Baiklah.”
Aku mencoba menyamarkan sakit yang kurasakan, tapi mungkin tak terlalu berhasil.
Shep tampak bersalah saat dia berkata, “Kau bisa menyusul kita kalau mau.”
Aku menolak tawarannya sambil mengibaskan tangan. “Oh, tidak, tak apa. Bersenang-senanglah. Aku sendiri mau… terserahlah…”
Secepatnya aku menyambar kunci dan tasku. Pekerjaan hari itu sungguh membuatku sibuk. Saat aku tiba di rumah, aku kelelahan. Kurebahkan tubuhku di atas sofa. Lalu aku bangkit menuju ke dapur untuk melihat apa yang bisa kubuat untuk makan malam. Karena aku cuma sendiri, aku hanya memanaskan makanan beku.
Saat aku duduk di depan TV sambil mencerna makananku yang terasa hambar namun kelebihan garam itu, aku menyadari betapa kesepiannya diriku. Shep sudah tinggal di sini nyaris dua bulan. Aku benci kenyataan bahwa dia tak ada di rumah dan malah bersenang-senang bersama teman kerjanya. Aku sadar diriku cemburu dan menyedihkan, sehingga kusadarkan diriku sendiri karena telah merasa demikian. Kubuang sisa makan malamku ke tempat sampah dan duduk diam di sofa.
Sampai tengah malam, Shep belum juga pulang. Kubiarkan lampu menyala di ruang tamu untuknya dan pergi tidur. Aku berbaring miring dan melingkar di atas ranjang, tak kuasa menahan tangis hingga tertidur.
Aku terjaga saat kudengar pintu depan terbuka. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Kudengar Shep tersandung di lorong saat menuju kamar mandi. Dia menendang sesuatu sambil mengumpat. Sesaat kemudian, dia terjatuh di ranjangnya dan tertidur. Butuh beberapa lama buatku untuk kembali tidur, tapi kupaksakan diriku untuk beristirahat.
Aku bangun pagi-pagi sambil mengerang. Kulirik jam dan terkejut karena aku ketiduran sampai siang.
Kuraih kacamataku dan bangun menuju kamar mandi. Pintu kamar Shep terbuka dan aku tak tahan untuk mengintip. Dia tertidur di ranjang yang berantakan. Mulutnya mendengkur keras. Tangan dan kaki kirinya tergantung di pinggir ranjang. Spreinya kusut menggulung kaki satunya. Aku baru menyadari kalau tubuh Shep terlalu tinggi untuk tidur di ranjang itu. Kakinya menggantung di pinggir.
Shep hanya mengenakan celana pendek tipis. Aku bisa melihat penisnya tercetak di situ, menggantung hingga pahanya. Penis itu kelihatan setengah tegang dan terlihat besar. Aku menghalau pemandangan itu dari benakku dan pergi dari situ.
Setelah selesai dengan urusan kamar mandi, aku pergi ke dapur membuat kopi. Setelah mendidih, kutuangkan pada cangkir dan duduk tenang di meja sambil menyisipnya.
“Butuh kopi,” gerutu Shep saat muncul di dapur.
Rambut pirangnya seperti biasa tampak acak-acakan, tapi hari ini terlihat seperti habis terkena badai. Matanya masih nyaris tertutup. Di wajahnya masih terlihat guratan bekas bantal yang menempel. Dia tampak menggemaskan. Aku tak bisa menahan diri untuk tersenyum padanya.
Dia menuangkan kopi ke cangkirnya dan duduk di sebelahku.
“Selamat pagi, matahariku,” kataku sambil nyengir.
Dia hanya menggerung.
Aku berusaha tak tertawa. “Kau butuh obat sakit kepala?”
Dia menggerutu kembali sambil mengangguk. Aku bangkit dan mengambilkan sebotol obat sakit kepala untuknya dari lemari. Dia mengambil dua, berpikir sejenak, dan menambahkan satu lagi. Kemudian dia menelannya dengan bantuan kopi.
“Bisakah kau mengantarku ke bar untuk mengambil truk?” pintanya sambil menggaruk-garuk kepala.
“Baiklah. Kau mau sarapan dulu? atau perutmu masih terasa tak enak?”
“Yeah, sarapan boleh juga.”
Aku bangkit dan mulai menggoreng telur dan daging asap. Aku membuatnya sedikit lebih matang, sesuai selera Shep. Kupanggang juga empat lembar roti untuknya.
Kusajikan sarapan untuk Shep dan kemudian duduk. Dia memberikan senyum tulus padaku untuk pertama kalinya seminggu ini.
“Trims, Billy. Kau sungguh baik padaku. Aku hargai itu.”
Aku menatapnya sambil mengangkat bahu, lalu cepat-cepat kuhabiskan sarapanku.
Aku rela melakukan apapun untuk Shep. Perasaanku padanya semakin kuat beberapa bulan ini. Kucoba untuk menguburnya, tetapi perasaan tersebut terus muncul. Terlebih jika dia bersikap baik padaku.
Aku bisa merasakan matanya masih menatapku dan kucoba mengabaikannya. Kemudian dia menaburkan garam dan lada pada telurnya dan mulai makan.
Aku merasa canggung dan gugup, jadi kucoba memulai percakapan. “Jadi, apa yang kalian lakukan semalam?”
“Yah, kami pergi ke bar. Mac mentraktir kami bir dan makanan.”
“Mac? apa dia bosmu?”
“Yeah. Dia pria yang baik,” ujarnya setelah mengunyah beberapa gigit telur. “Kau pasti akan suka padanya. Dia banci. Menikahi pacar prianya di Massachusetts atau Vermont atau apalah. Tampangnya seperti kutubuku. Sering datang ke toko.”
Aku merengut saat mendengar Shep menggunakan kata ‘banci’. Aku tahu dia tak bermaksud jahat, tapi tetap saja…
Dia menatapku dan melihat ekspresi di wajahku, pipinya merona malu. “Maaf. Aku tak bermaksud seperti itu…”
“Aku tahu. Hanya saja jangan sampai bosmu mendengar panggilan itu.”
“Aku tak akan melakukan itu. Dia pria baik. Atasan yang baik. Omong-omong, setelah dari bar itu, kami lanjut minum di bar berikutnya.” Dia mengangkat kepalanya seperti berpikir keras, “Aku mungkin terlalu banyak minum.”
Aku tertawa. “Yeah, aku pikir juga begitu saat kudengar kau masuk.”
“Maaf. Aku yakin sudah berusaha tak membuat kau bangun.”
Aku tertawa lagi. “Yeah. Kupikir juga begitu.”
Shep ikut tertawa.
Setelah kami selesai makan, Shep membantuku mencuci piring dan berpakaian. Dia memberiku arah tempat bar dia minum-minum semalam dan menemukan truk merahnya. Dia masuk ke dalam truk dan melambai padaku saat dia keluar tempat parkir.
Kuputuskan untuk pergi berbelanja. Kucoba untuk tak memikirkan Shep beberapa lama saat mendorong kereta belanja di lorong supermarket. Tentu saja tak berhasil, karena setiap barang yang kuambil membuatku selalu berpikir ‘Shep pasti suka ini’ atau ‘Shep tak suka ini’ atau ‘Mungkin akan kumasak ini untuk Shep’.
Saat tiba di rumah, Shep sedang menonton sepakbola di ruang tamu, hanya mengenakan singlet dan celana pendek. Dia melompat dari sofa saat melihatku kerepotan membawa barang belanjaan. Dia meraih beberapa kantong belanja dari tanganku dan membawanya ke dapur.
“Seharusnya kau bilang kalau mau belanja,” katanya saat membantu mengeluarkan belanjaan. “Aku pasti temani kau.”
Aku mengangkat bahu. “Tak apa-apa.”
Dia menarik struk belanja dari salah satu kantong. “Biar kuganti separuhnya.”
“Gak usah, Shep.”
“Kau selalu bilang begitu. Dan aku tak akan membiarkanmu. Aku sudah merasa tak enak tinggal di sini secara gratis.”
Dia pergi mengambil dompetnya dan memberiku uang lebih dari separuh tagihan belanja. Aku mengucapkan terima kasih dan menyelipkan uang itu ke dalam dompetku.
* * *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment