My Blog List

Wednesday 22 January 2014

MAS BIMA PAK POLISIKU – Bagian III

MATAKU terkantuk-kantuk menatap detik jam weker yang sedari tadi kupegang di atas ranjang. Rasanya tiap gerakan jarum penunjuk detiknya terasa lama sekali. Bodohnya aku! tadi malahan tidak sempat menanyakan nomor hape Mas Bima saat dia datang. Sekarang, malahan aku yang tersiksa karena sudah hampir jam sebelas malam belum ada tanda-tanda Mas Bima akan datang. Aku memukul-mukul kasur kesal. Ah! apa mungkin kedatangan Mas Bima tadi sore cuma mimpi ya? Arrrgggh… aku mengacak-acak sprei kesal. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. “Fin.. Findra…” Suara ibu kos. Tumben. “Ya, Bu?” Ternyata Mas Bima datang ditemani ibu kos. Aku mendelik sedikit kesal pada Mas Bima. Tapi hatiku langsung meleleh melihatnya datang dengan jeans, kaus hitam ketat yang membuat dada bidangnya membusung, dan jaket kulit yang membuatnya tampak keren! “Nih.. Mas kamu datang. Tadi dia ketok pintu agak lama soalnya gerbang udah dikunci semua. Kamu sih, bukannya kasih tahu nomor hape kamu ke kakak kamu sendiri.. jadinya Mas kamu nunggu lama di luar…” kata Ibu kos sambil mengusap-usapkan tangannya pada lengan kokoh Mas Bima. Dasar tante-tante gatel! aku memaki dalam hati. Mas Bima nyengir. “Jadi, saya kalau nginap di kosan ini kena charge berapa, tante?” Sekarang Mas Bima memanggil Ibu Kos dengan sebutan Tante. Pasti si tante ganjen itu yang minta. Aku langsung teringat salah satu peraturan tidak boleh mengajak teman nginap atau kena biaya 100 ribu semalam. “Oohh.. kalau kakaknya sih enggak apa-apa… Itu kan buat mencegah anak-anak sini berbuat mesum. Apalagi Nak Bima kan polisi. Tante seneng kok, jadi ngerasa aman gitu.. hihihi..” kata ibu kos makin genit. “Findra suka bawa temen ya bu kesini?” tanya Mas Bima. Dia bertanya sambil melirik nakal kepadaku. “Ooh.. Findra sih enggak pernah ajak temennya nginep. Malah setahu tante dia enggak pernah bawa temen perempuan ke sini, Findra anak baik-baik kalau kata tante…” “Ooo.. kalau temen perempuan enggak pernah… paling temen laki-laki ya tante?” tanya Mas Bima lagi dengan suara jahil. Aku menatap Mas Bima sewot seakan bilang “Apaan sih?” “Wah, kalau dipikir-pikir, Findra ini kayak enggak punya teman ya? kok enggak pernah ajak temennya mau lelaki atau perempuan?” giliran si Ibu kos yang bingung. Aku menatap Mas Bima penuh kemenangan. “Ooo.. gitu ya, tante? laporin saya ya kalau Findra macem-macem.” ujar Mas Bima berusaha terdengar seperti kakak yang overprotektif sama adiknya. “Iya nak Bima.. Denger tuh Fin.. jangan macem-macem apalagi berbuat mesum. Nanti tante laporin sama mas mu ini..” “Iya bu.. makasih…” sahutku malas. “Tante tinggal dulu ya? oh iya, Findra kan punya kunci, kalau mau jalan keluar, enggak usah mencet bel lagi ya? tante mau tidur dulu…” kata ibu kos sambil berlalu. Matanya tak lupa mengedip pada Mas Bima. “Issh…. dasar ganjen!” aku mengutuk ibu kos sambil menutup pintu. “Hahahahaha… biarin lah Fin.. kan biar Mas Bima aman bolak-balik kemari..” kata Mas Bima. Aku memeluk Mas Bima. Bukan karena kangen sebenarnya. Tapi hendak mencari ponselnya. “Hei.. hei… enggak sabar amat main peluk-peluk?” protes Mas Bima kegelian. Aku berhasil menemukan ponselnya di saku belakang celana jeansnya. Sambil cemberut, aku menekan nomor ponselku sendiri dan menekan tombol panggil. Tak lama ponselku berbunyi dan kumatikan sambungan lalu menyerahkan ponsel itu kembali kepada Mas Bima sambil nyengir. “Makasih…” “Dasar kamu, Fin!” gerutu Mas Bima sambil mengantungi kembali ponselnya. Dia meletakkan ranselnya di lantai. “Lama banget!” protesku. “Mas mu ini tadi diajak jalan dulu sama temen, Findra maniss…. makanya telat,” terangnya. “Terus?” tanyaku. “Terus? kita mau jalan-jalan kan?” jawab Mas Bima mengingatkan rencana kami semula. “Udah malem!” sahutku sambil membanting tubuhku ke atas ranjang. “Lah? lalu mau ngapain dong?” goda Mas Bima pura-pura bego. “Aaaahh…. ngeselin!” kataku sambil menarik Mas Bima ke atas ranjang supaya menindihku. Mas Bima terbahak. Tapi segera kuingatkan agar dia tak bersuara keras. Aku pun membantu Mas Bima melepaskan jaketnya. Mmm… bau colognenya yang segar tercium menempel di kaus hitamnya. “Ah, Mas Bima.. ke sini bukannya pake seragam…” protesku. “Kenapa emang?” tanya Mas Bima. “Kepengen main ama pak polisi yang pake seragam…” kataku manja. Mas Bima memencet hidungku gemas. “Aku bawa seragam, Fin.. ada di tas. Kan mau nginap?” kata Mas Bima sambil tersenyum. “Oh, ya? pake dong Mas.. yah? yah?” bujuk aku. “Kamu itu…” gerutu Mas Bima. Tapi dia menurut juga. Mas Bima menyambar ranselnya dan membawanya ke kamar mandi. Aku bangkit lalu mengetuk pintu kamar mandi. “Mmmm..” gumam Mas Bima kesal. “Jangan pake daleman ya, Mas? biar langsung… hehehe..” aku berujar dari balik pintu mengingatkan Mas Bima. Lalu aku melompat kembali ke atas ranjang dengan bahagia. Lima menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Mas Bima berdiri di pintu sambil bergaya. Pakaian seragamnya dia kenakan lengkap, hanya saja dua kancing atasnya dia biarkan terbuka, topinya dia miringkan, dan… dari tonjolan pada area selangkangannya, Mas Bima rupanya memang tidak memakai dalaman. Aku memekik gembira. “Pak Polisi… ke sini pak…” “Ada masalah apa, dik?” tanya Mas Bima dengan suara macho. “Anu Pak.. saya sakit… bisa minta obat kesepian enggak pak?” jawabku manja. “Eng… Fin, kayaknya itu lebih cocok buat main dokter-dokteran deh,” protes Mas Bima. “Oh, iya.. sori.. hehe.. dari ulang Mas,” perintahku geli. Mas Bima berdeham “Ada masalah apa, dik?” “Anu pak, saya enggak bawa SIM..” kataku pura-pura ketakutan. “Kalau begitu kamu saya tilang,” ujar Mas Bima. “Baik pak, mana surat tilangnya? saya bayarnya nanti di pengadilan,” kataku. “Yaaah… gimana sih? langsung beres dong?” protes Mas Bima lagi. “Ups.. oh, iya ya? hehehe.. mulai lagi Mas, dari bagian tilangnya..” kataku geli. “Kamu saya tilang…” kata Mas Bima. “Jangan pak… damai aja ya? Bapak minta berapa? atau bapak mau bayaran lain?” “Tidak! saya tidak menerima uang sogokan! kamu jangan macam-macam ya! mau coba suap saya?” bentak Mas Bima. “A..ampun, pak! iya.. saya bersedia ditilang..” kataku memohon. “Nah. Kamu saya tilang. Tapi kamu tetap saya kasih hukuman karena udah coba menyuap saya..” ancam Mas Bima. “Hukumannya apa pak?” tanyaku pura-pura takut. Mas Bima menurunkan risleting celananya dan mengeluarkan penisnya. “Hisap punya saya!” perintahnya. “Waaw… mau… eh, salah. Aduh paak.. jangaaan… ” aku mencoba fokus pada peranku. “Ayo hisap!” kata Mas Bima galak. “Di.. di sini pak?” tanyaku ketakutan. “Bukan! di rumah nenekmu!” teriak Mas Bima. Keduanya langsung terdiam cukup lama dan mendadak hening. “Mas.. jangan bawa-bawa nenek dong, jadi keingetan nenek di rumah..” kataku. “Iya. Mas juga jadi inget nenek kamu… dari ulang…” gumamnya. Aku mengangguk. “Ya di sini! cepat!” kata Mas Bima kembali galak. “Ba.. baik pak..” aku pun menuruti perintah Mas Bima dan mulai mengoral penisnya. “Hisap yang benar!” kata Mas Bima galak sambil menjambak rambutku. Pura-pura tentunya. Mesra malah.. hihihi.. “Mmm.. mmm.. mm…” aku tak bisa menjawab. Dengan penuh semangat kukulum penis Mas Bima. “Aaah… ya.. kayak gitu.. enak…” desah Mas Bima keenakan. Cukup lama aku mengoral Mas Bima hingga… “Balik badan! Nungging!” perintah Mas Bima. Aku menurut. Mas Bima menarik kaus ku hingga terbuka dan menurunkan celana pendekku hingga lutut. Kini pantatku terekspos tepat di hadapan Mas Bima. “Jangan pak… kontol bapak gede banget… takut sakit…” “Gak usah banyak omong!” sahut Mas Bima. Dia mulai membuka kancing seragamnya. Aku berbisik “Mas.. jangan dibuka seragamnya ya? kancingnya aja..” “Hah? iya..iya…” kata Mas Bima. Melihat seluruh kancing Mas Bima terbuka, aku tak tahan ingin merabanya. “Kamu nafsu ya? katanya enggak mau!” bentak Mas Bima. “Iya pak.. saya nafsu.. masukkin pak…” rintihku. “Nih! rasakan!” kata Mas Bima sambil langsung menghujamkan penisnya pada lubang pantatku. “Ouuuuwwww…” aku memekik kesakitan. “Gimana? enak? hah? enak?” tanya Mas Bima sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya hingga penisnya keluar masuk lubang pantatku. Aku menggigit bibir sambil memejamkan mata menikmati sensasi perih namun nikmat oleh goyangan penis Mas Bima. “Terus mas.. terus… ooh…” desisku. “Ooh.. Fin… pantat kamu masih enak aja… udah berapa orang yang gantiin mas ngentotin kamu, Fin?” racau Mas Bima. Aku terdiam cukup lama. Lalu menoleh pada Mas Bima sambil menggeleng, “Aku nunggu buat Mas Bima.. belum pernah ada yang lain,” kataku mencoba menahan tangis dengan senyuman. Mas Bima mendadak menjadi terharu. Dia membalik badanku dan mulai menciumiku dengan penuh kasih sayang. Aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Seragamnya menutupi tanganku di punggungnya. “Maafin Mas Bima Fin…” desah Mas Bima sambil menciumi sekujur tubuhku. Dia pun kembali melakukan penetrasi. Penetrasi terindah yang Mas Bima berikan. Laksana seorang ksatria yang baru saja kembali dari medan perang dan memberikan hadiah terindah berupa kemesraan tiada tara sebagai balasan atas kesetiaan sang istri selama ditinggalnya pergi. “Oouuh… Mas Bima…” desahku. Air mataku meleleh. Aku sangat mencintai Mas Bima. Kuberikan tubuhku untuk dinikmatinya. Kucurahkan jiwa ragaku untuk menyempurnakan kenikmatannya. Aku melingkarkan kakiku pada pinggang Mas Bima sambil terus menikmati setiap dorongan penisnya yang menjelajahi pantatku. Setiap desakan kunikmati dan kuberikan sentuhan dan pijatan untuk Mas Bima rasakan. “Fin… Fin….” desah Mas Bima. “Akhh…..” Aku diam. Mencoba menikmati setiap aliran hadiah lahar cintanya mengalir di dalam tubuhku. Aku mengelus tubuh Mas Bima yang bergetar hebat dalam puncak orgasme tertinggi dari persetubuhan kami berdua. Aku mencium Mas Bima. Kali ini kubiarkan ego Mas Bima. Biarkan dia yang keluar. Aku bisa menunggu nanti. Mas Bima berusaha mengatur nafasnya. Dia merebahkan tubuhnya di sampingku. Cepat-cepat dia membuka seragamnya tak ingin ternoda oleh residu permainan cinta kami. Tapi momen bahagia itu harus terganggu ketika Mas Bima menyadari bahwa ada telepon masuk beberapa kali ketika kami bersetubuh. Mas Bima tidak menyadarinya karena ponselnya dibuat dalam mode hening. Mas Bima menghubungi nomor itu dan menyuruhku diam dengan menempelkan telunjuk pada bibirnya. “Mah..? ada apa?” tanya Mas Bima lembut. Dia mengaktifkan pengeras suara agar aku mendengarnya. Ternyata yang menelepon adalah Mbak Tika. “Papa di mana sih?” tanya Mbak Tika. Suaranya nyaris menangis. “Maaf Ma.. tadi papa ketiduran… ada apa mah?” tanya Mas Bima lembut. Ah, aku cemburu. “Kenzo tadi panas pah.. Mama cuma mau bilang ke papa.. tapi sekarang udah mendingan… Mama panik pah..” isak Mbak Tika. “Iya.. iya.. maaf… maafin papa ya mah… tapi Kenzo udah enggak apa-apa?” tanya Mas Bima. “Udah turun panasnya.. Papa bikin mama khawatir…” “Iya.. iya… papa minta maaf…” Mbak Tika mengakhiri percakapan. Mas Bima mendadak murung. Kepalanya tertunduk. Dan akupun merasa bersalah… *bersambung*

No comments:

Post a Comment