My Blog List

Wednesday 22 January 2014

Merantau – Bagian 3

ISI laci dasbor mobil Erry pun tumpah ruah. Dari mulai barang tak penting seperti botol air, lap, tempat tisu, tempat sampah kecil, dan… kondom. “Kon.. dom?” tanya Ruslan sedikit tak enak hati menyebut nama benda itu. Tangannya memungut kotak kecil berwarna biru tua yang seukuran telapak tangan. Erry pun menghentikan mobilnya dan menepi di pinggir jalan raya. “Eh, maaf mas Er, ini aku kembalikan,” kata Ruslan malu-malu. Erry menyambar kotak kondom yang diulurkan Ruslan dengan wajah kurang senang. “Dasar si Burhan! beli ginian bukannya disimpan sendiri!” umpatnya. “Mobil ini kemarin dipakai sama teman, kadang-kadang… ah, aku nggak tahu dia pakai buat ke mana dan suka beli apa aja,” jelas Erry berusaha menjelaskan. Nadanya terdengar gugup sambil sesekali melirik ke arah Ruslan. “Oh, gitu ya mas?” respon Ruslan. saat itu Ruslan seolah hendak bilang, sudah tak usah dibahas lagi, Mas! Selama beberapa saat tercipta keheningan yang amat-sangat canggung di antara keduanya. Kemudian keduanya terbahak. “Udah lah Mas, enggak perlu dijelasin ke aku,” ujar Ruslan sambil tersenyum nakal yang membuat Erry semakin salah tingkah. “Beneran Rus, itu bukan punya aku,” kata Erry. “Iya mas, percaya,” kata Ruslan lagi. Kali ini sambil siul-siul. Erry tak merespon ucapan Ruslan dan memperpanjang perdebatan. Anehnya, kotak kondom itu malah Erry masukkan ke dalam saku celananya. Ruslan mengikuti gerakan Erry dengan lirikan matanya. Dalam hatinya, Ruslan kembali bertanya-tanya. Sepertinya Erry bukanlah orang yang harus dicurigai. Setidaknya saat ini. DUA – PENJARA YANG INDAH Isi laci dasbor mobil Erry pun tumpah ruah. Dari mulai barang tak penting seperti botol air, lap, tempat tisu, tempat sampah kecil, dan… kondom. “Kon.. dom?” tanya Ruslan sedikit tak enak hati menyebut nama benda itu. Tangannya memungut kotak kecil berwarna biru tua yang seukuran telapak tangan. Erry pun menghentikan mobilnya dan menepi di pinggir jalan raya. “Eh, maaf mas Er, ini aku kembalikan,” kata Ruslan malu-malu. Erry menyambar kotak kondom yang diulurkan Ruslan dengan wajah kurang senang. “Dasar si Burhan! beli ginian bukannya disimpan sendiri!” umpatnya. “Mobil ini kemarin dipakai sama teman, kadang-kadang… ah, aku nggak tahu dia pakai buat ke mana dan suka beli apa aja,” jelas Erry berusaha menjelaskan. Nadanya terdengar gugup sambil sesekali melirik ke arah Ruslan. “Oh, gitu ya mas?” respon Ruslan. saat itu Ruslan seolah hendak bilang, sudah tak usah dibahas lagi, Mas! Selama beberapa saat tercipta keheningan yang amat-sangat canggung di antara keduanya. Kemudian keduanya terbahak. “Udah lah Mas, enggak perlu dijelasin ke aku,” ujar Ruslan sambil tersenyum nakal yang membuat Erry semakin salah tingkah. “Beneran Rus, itu bukan punya aku,” kata Erry. “Iya mas, percaya,” kata Ruslan lagi. Kali ini sambil siul-siul. Erry tak merespon ucapan Ruslan dan memperpanjang perdebatan. Anehnya, kotak kondom itu malah Erry masukkan ke dalam saku celananya. Ruslan mengikuti gerakan Erry dengan lirikan matanya. Dalam hatinya, Ruslan kembali bertanya-tanya. Sepertinya Erry bukanlah orang yang harus dicurigai. Setidaknya saat ini. **** Rumah Oom Alfin tak sebesar rumah-rumah yang sering dilihat Ruslan di televisi. Terdiri dari tiga lantai, dengan lantai teratas dibuat seperti teras dan taman dan hanya terdapat dua kamar. Rumah itu terletak di sebuah kawasan pusat kota yang jalan-jalannya masih ditumbuhi pohon rindang. Rumah-rumah di daerah itu nyaris serupa dengan rumah Oom Alfin. Besar, dingin, berpagar tinggi, dan diawasi oleh petugas-petugas keamanan. Ruslan menganggap semua rumah ini adalah penjara yang indah. Seorang petugas keamanan berseragam hitam-hitam yang masih muda, kekar dan simpatik, membukakan pintu pagar ketika mobil Erry tiba. Ruslan kemudian turun dari mobil. Dilihatnya sekeliling salah satu penjara yang indah itu. Halamannya tak terlalu besar. Seeokor anjing langsung menyalak ketika melihat kedatangan Ruslan. Untungnya anjing itu dikurung dalam sebuah sangkar lebar di pojok halaman. Garasi mobil terletak di sebelah kanan sejajar dengan pintu gerbang masuk. Luas garasi itu bisa memuat kira-kira hingga tiga mobil. Jelas sekali rumah Oom Alfin bukan rumah yang baru dibangun. Pintu utama terletak di tengah bangunan dengan dua pilar marmer antik tinggi yang terletak tiga meter di depannya. Pintu itu sangat kokoh dan berat. Erry terlihat sedikit berusaha keras mendorong pintu itu agar terbuka lebar. Sejenak Ruslan melirik sebuah benda hitam bulat yang menempel di langit-langit tepat depan pintu. Kamera pengawas. Sambil matanya tak lepas mengawasi benda itu, Ruslan mengikuti Erry masuk ke dalam rumah. “Di rumah ini ada aku, Papa, Nando, sama Albie. Selain itu masih ada pak Wahyu, tukang kebun yang biasa datang dua hari sekali, sama Bi Leni yang bantu beresin rumah dan cucian di sini. Dua-duanya hanya datang siang hari. Kalau satpam, biasanya mereka bergantian setiap shift. Papa tak terlalu ngurus soal satpam yang bergantian jaga, tapi kadang aku suka cek juga kalau dari penyalur ada pergantian personel,” Jelas Erry. Mata Ruslan tertumbuk pada sebuah foto keluarga yang terletak tepat di ruang tamu. Di situ jelas terlihat Oom Alfin dan Erry yang Ruslan kenal. Tapi ada dua lelaki lagi di foto itu serta seorang perempuan cantik paruh baya seusia Oom Alfin. Lelaki pertama cukup tampan, namun terlihat kurang ramah. Matanya seperti terpaksa berada dalam foto keluarga. Rambutnya ikal seperti Erry namun memiliki rahang yang lebih tegas. Hidungnya mancung mirip sekali dengan perempuan itu. Kalau dilihat dari foto Erry dan Oom Alfin yang terlihat lebih muda beberapa tahun, Ruslan hampir yakin kalau pria tampan itu seusia dengannya kini. Pria kedua yang ada di foto itu masih kanak-kanak. Mungkin usianya sekitar 5 tahun. Wajahnya agak bundar seperti Oom Alfin. Senyumnya terlihat ceria. Sedangkan perempuan itu? ah, Ruslan tak bisa menebak apa yang dia pikirkan. Senyumnya misterius dengan pandangan lurus ke depan, seolah-olah sedang menatapnya. Hal itu membuat Ruslan teringat pada mendiang ibunya. Melihat Ruslan yang khusuk memandang foto keluarga itu, Erry langsung menjelaskan. “Yang paling besar selain aku itu namanya Nando. Dia seusia sama kamu Rus. Masih kuliah. Anaknya… ah, mas gak mau bilang dia nakal, tapi yah… memang dia sulit di atur. Kalau ketemu dia, jangan ambil hati apapun yang dia katakan ya?” Kata Erry. “Nah, kalau yang kecil itu namanya Albie. Dia sekarang kelas empat SD. Kadang kita kasihan dengannya karena dia tidak sempat berlama-lama mengenal mamanya…” ujar Erry kemudian terdiam. Ruslan menoleh kemudian bertanya. “Mama kalian…. sudah meninggal?” Erry menggeleng, “Tidak.. tidak… beliau pergi tiga tahun lalu. Papa tidak mau membahas masalah ini, tapi sepertinya Mama pergi dengan… ng… orang lain. Bisa dibilang, seperti kamu kita juga sudah merasa tak punya ibu.” “Oh.. maaf Mas,” kata Ruslan. “Ah, udahlah. Yuk! kita ke kamarmu. Maaf, kita belum sempat beli apa-apa untuk persiapan kamu datang,” ajak Erry sambil merangkul Ruslan. “Wah, gak usah ngerepotin segala lah Mas, aku bener-bener gak enak hati,” kata Ruslan sungkan. “Gapapa. Begitu masuk rumah ini, hak kamu sama seperti anak-anak papa yang lain,” Kata Erry sambil membuka pintu sebuah kamar di lantai dua. “Ini kamarmu. Mudah-mudahan kamu betah, Rus,” ujarnya. “Semuanya yang ada di kamar ini bisa kamu pakai buat keperluan kuliah kamu. Kalau ada yang kurang, kamu tinggal bilang aja ya?” lanjut Erry. Ruslan menarik nafas. Jelas kamar ini jauh lebih besar dari kamarnya di desa. Ada lemari kayu dan ranjang berukuran cukup besar di kamar itu. Kamar mandinya pun ada di dalam kamar, tak seperti kamar mandi di rumah Ruslan yang mengharuskannya keluar dari bangunan utama. “Rus, kamu istirahat dulu ya? kebetulan Bi Leni hari ini enggak masak apa-apa, jadi sehabis kamu istirahat dan mandi, nanti temani aku cari makan buat semua, ya?” kata Erry. Ruslan mengangguk. Setelah Erry menutup pintu, Ruslan duduk di atas ranjangnya yang baru. Spreinya masih tercium aroma wangi bersih. Mungkin baru saja dipasang. Sebuah meja belajar lengkap dengan seperangkat komputernya berada tak jauh dari lemari kayu. Dan, apa itu? Mata Ruslan melihat pula sebuah laptop tipis berwarna putih tergeletak di atas meja. Ruslan menghela nafas. Ini terlalu berlebihan, pikirnya. Kemudian Ruslan mencari ponselnya. Dia tak sabar ingin memberitahu Bapak kalau dirinya telah tiba dengan selamat. Segera dia mencari nomor ponsel ayahnya dan menghubunginya. Ruslan mengetuk-ngetuk jarinya di meja sebelah ranjang saat menunggu nada panggilan tersambung. Satu kali… dua kali… sampai sembilan kali nada sambung terdengar, ponsel bapak tak kunjung diangkat. Ruslan mencobanya sekali lagi. Namun kali ini malah tak tersambung sama sekali. “Nomor telepon yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi,” begitu pesannya. Ruslan menghela nafas. Pasti sinyal ponsel bermasalah lagi di desanya, pikirnya. Lalu Ruslan memutuskan untuk memberitahu bapak lewat pesan singkat. Mudah-mudahan terkirim, harap Ruslan. Setelah mengirim pesan singkat pada ayahnya, Ruslan mengeluarkan isi tasnya dan mengambil selembar handuk. Dia menuju kamar mandi. Rupanya di dalam kamar mandi sudah disediakan dua buah handuk putih bersih. Ruslan pun menghela nafas dan menggantung handuk miliknya sendiri dan memutuskan untuk tak memakainya. Saat Ruslan membuka kausnya, dia terkesiap. Matanya melihat sekeliling kamar mandi saat merasa dirinya ada yang mengawasi. Tapi rupanya kekhawatirannya tak beralasan. Tak ada siapapun di kamar mandi itu. Ruslan melucuti semua pakaiannya dan masuk ke dalam bilik kaca tempat shower berada. Dia memutar-mutar kerannya berusaha mencari suhu air yang pas untuk tubuhnya. Ruslan memejamkan mata saat air hangat mulai mengalir membasahi seluruh badannya mulai dari kepala hingga kakinya. Segar sekali rasanya setelah perjalanan cukup jauh yang melelahkan. Dia menggosok-gosokkan badannya dengan sabun. Seperti biasa, saat dia mandi penisnya ikut menjadi tegang. Tapi Ruslan tak berani melakukan ritual tambahan bermasturbasi di tempat yang baru dikenalnya ini. Jadi dia membiarkan penisnya tetap tegang seperti itu. Yang Ruslan tidak sadari, seseorang memperhatikan dirinya yang sedang mandi lewat sebuah monitor televisi. Di suatu ruangan yang gelap. Orang itu bernafas dengan berat, menahan nafsu melihat keindahan tubuh Ruslan…

No comments:

Post a Comment