My Blog List

Wednesday, 22 January 2014

Merantau – Bagian 12

“KENAPA Rus? ada berita buruk?” tanya Nando penasaran. Dia berusaha bangkit untuk duduk dari tidurnya. Ruslan segera menghampiri ranjang Nando mencegahnya terlalu banyak bergerak. “Eng.. enggak ada apa-apa… nanti gue ceritain di rumah,” janji Ruslan agar Nando kembali beristirahat. Perasaan Ruslan bisa dibilang sangat kacau. Sahabat satu-satunya yang menghubungkan dia dengan desanya kini juga tak bisa dihubungi. Ruslan keluar kamar menuju balkon dan terisak di sana. Sungguh, dia berharap Anto baik-baik saja. Membayangkan dirinya kini sebatang kara, tak ada lagi yang dikenalnya, serta terjebak dalam sebuah keluarga yang walau tampak baik dari luar tapi Ruslan mencurigai ada selubung misteri dalam keluarga itu. Cukup lama Ruslan menangis. Tapi kemudian dia bangkit dan menghapus airmatanya. Ini tidak benar! sahutnya dalam hati. Terlalu banyak kejadian untuk menjadi sebuah kebetulan. Pertama, ayahnya mendadak tidak bisa dihubungi. Ruslan sulit menerima alasan bahwa komunikasi ke desanya benar-benar terputus oleh rusaknya tower operator seluler satu-satunya di sana. Kemudian ponselnya hilang, lalu Anto yang dihubungi mendadak memutuskan sambungan dan kini dikabari mengalami kecelakaan. Tunggu… apa orang asing yang masuk ke kamarnya sebelum dia berangkat dan mengancamnya agar tak berangkat itu bukan mimpi? lalu… orang yang mengetahui bahwa selain ayahnya, Ruslan masih bisa kontak dengan Anto adalah Mas Erry… Mendadak Ruslan bergidik mengingat waktu itu dia sempat kelepasan bicara menyuruh Anto memeriksa rumah bapaknya pada Erry. Apakah Erry menyuruh seseorang untuk mencelakakan Anto? apalagi terakhir mereka bicara Anto sepertinya menemukan sesuatu yang mengganggunya saat memeriksa rumah ayahnya di desa. Otak Ruslan terasa panas. Dia menarik-narik rambutnya sendiri sambil berjalan mondar-mandir di teras balkon rumah sakit mencoba menghubung-hubungkan semua peristiwa di sekitarnya. Apa gunanya Erry atau Oom Alfin membuatnya putus hubungan dengan kehidupan lamanya? Apakah mereka tak mengizinkan dirinya kembali ke desa? lalu bagaimana nasib Bapak di desa? Berbagai pertanyaan yang muncul berulang-ulang di kepalanya membuat Ruslan semakin pusing. Tapi dia harus tenang. Walau rasanya dia ingin pergi selekas mungkin dari rumah Oom Alfin menuju rumahnya, dia tak bisa meninggalkan Nando begitu saja. Dia harus memastikan kondisi Nando yang rapuh sudah membaik dan kembali ke rumah. Sekuat tenaga Ruslan menahan amarah dan kesedihannya. Dia harus sabar, pikiran kalut tak akan membawanya menuju sebuah jawaban. Dia kemudian kembali ke kamar Nando. Nando rupanya terlihat cemas melihat Ruslan yang tiba-tiba berubah sikap dan keluar begitu saja dari kamar meninggalkan Nando. “Ada apa sih, Rus? elo enggak apa-apa?” tanya Nando. “Enggak, Ndo. Enggak ada apa-apa. Elo istirahat dulu supaya nanti sore bisa benar-benar pulang. Takutnya kalau elo kecapekan, dokter bisa nyuruh tinggal di rumah sakit lebih lama,” saran Ruslan. “Yakin?” tanya Nando curiga. Ruslan mengangguk mantap. “Gue tunggu di sofa ya?” kata Ruslan. Nando mengiyakan. Karena kelelahan dengan semua hal yang terjadi pada dirinya, Ruslan pun tertidur di sofa. Air mata meleleh tanpa dia sadari dari matanya saat dirinya tertidur. **** Keadaaan Nando memang sudah membaik. Tadi dia bersikeras tak ingin diantar dengan kursi roda menuju lobi rumah sakit dan memilih berjalan kaki. Yang menjemput Nando hanyalah Mas Erry. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil Ruslan terjebak dalam perang dingin kedua saudara ini. Sebenarnya bukan perang dingin juga, sih. Erry berusaha menanyakan kabar Nando sepanjang jalan, namun Nando hanya menjawabnya asal-asalan dan ketus. Ruslan hanya bisa terdiam dalam situasi seperti ini. Setelah Nando beristirahat di kamarnya, Ruslan bergegas ke kamarnya sendiri untuk bersiap-siap. Dengan ransel lamanya dia menjejalkan beberapa potong pakaian dan surat-surat penting termasuk ijazahnya. Sepertinya Ruslan tak ingin kembali lagi ke rumah ini. Satu hal yang paling dia inginkan adalah kembali lagi ke desa dan hidup normal seperti dulu. Ruslan menghela nafas. Ranselnya yang telah penuh oleh barang-barangnya dia sembunyikan ke dalam lemari. Tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk seseorang. “Mas… Mas Ruslan?” ujar suara wanita dari luar. “Ya, Bi Leni.. masuk aja..” sahut Ruslan. Pintu kamar Ruslan pun terbuka dan Bi Leni dengan takut-takut masuk. “Kenapa Bi?” tanya Ruslan. “Anu Mas, Mas Ruslan dipanggil Bapak.. Bapak ada di ruang kerjanya di bawah, Mas…” kata Bi Leni gugup. “Oh, iya Bi. Makasih… saya turun sekarang,” kata Ruslan. Kemudian dia keluar kamar menuju ruang kerja Oom Alfin. Hatinya bertanya-tanya, ada apa Oom Alfin memanggilnya? Ruslan mengetuk pintu ruang kerja Oom Alfin. “Masuk,” perintah Oom Alfin dari dalam. “Ya Oom? Oom panggil saya?” tanya Ruslan sambil melongokkan kepalanya di pintu. Oom Alfin sedang menulis-nulis sesuatu di meja kerjanya. Ruang kerja Oom Alfin persis sebuah ruang kerja kantor lengkap dengan segala barang pendukungnya. “Ya.. kesini, Rus..” pinta Oom Alfin. Ruslan melangkah mendekati meja kerja Oom Alfin. Namun langkahnya terhenti saat Oom Alfin meletakkan sebuah botol yang Ruslan kenal! botol kaca obat yang sempat dia serahkan pada dokter di rumah sakit. Ruslan tercekat. Dia meneguk ludah dengan perasaan gugup. “Kamu temukan ini di kamar Nando?” tanya Oom Alfin datar tanpa menatap wajah Ruslan. “I.. iya Oom… tadi.. tadi saya kasih ke dokter kalau-kalau Nando butuh obatnya…” jawab Ruslan terbata-bata. Oom Alfin tidak menjawab. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Ruslan tajam. “Kamu tahu itu obat apa?” tanya Oom Alfin. Ruslan menggeleng. “Obat itu berbahaya bila seseorang yang tidak memerlukannya seperti kamu, menelannya…” lanjut Oom Alfin. “Ma.. maaf Oom…” ujar Ruslan. Baru kali ini dia takut sekali pada Oom Alfin. Oom Alfin beranjak dari duduknya dan menghampiri Ruslan yang masih berdiri kaku di depan mejanya. Dia mengelilingi tubuh Ruslan yang sedang menunduk. Kemudian salah satu telapak tangannya dia letakkan di bahu Ruslan dan meremasnya. “Kadang kala, untuk menjadi dewasa seseorang harus tahu kapan untuk tidak ikut campur dengan masalah orang lain… kamu ngerti?” ujar Oom Alfin dingin. Kalimatnya serasa menusuk Ruslan. Ruslan mengangguk. “Nah, sekarang kita siap-siap makan ya! tadi Oom sudah suruh Bi Leni masak sesuatu yang spesial,” lanjut Oom Alfin. Suaranya tiba-tiba kembali terdengar ramah dan dia tersenyum. Ruslan terheran-heran dengan perubahan sikap Oom Alfin yang tiba-tiba. Namun dia tidak ingin lama-lama terjebak dengan Oom Alfin berdua saja. Dia pun kembali ke kamarnya. *** Hufffh… bagaimana caranya dia kabur dari rumah ini kalau sudah malam begini? apa dia harus menunggu nanti tengah malam? atau keesokan paginya? Ruslan membanting tubuhnya ke ranjang. Barusan dia kembali terjebak dalam perang dingin keluarga Oom Alfin di meja makan. Tak ada yang banyak bicara. Dirinya sendiri diam seribu bahasa. Sialan! siapa Oom Alfin ini sampai-sampai dokter di rumah sakitpun mengadukan perbuatannya pada dia? tanya Ruslan dalam hati. Baru saja dia memejamkan mata karena lelah, seseorang kembali mengetuk pintu kamarnya. “Rus, elo di dalem?” tanya suara milik Nando dari luar. “Iya Ndo.. masuk aja,” jawab Ruslan. Nando kemudian masuk ke kamar dan menutup pintu. Jalannya masih perlahan. Dia mendekat ke ranjang Ruslan dan duduk di sebelahnya. “Tadi elo mau cerita apa? ayo ceritain…” tagih Nando. Perasaan Ruslan tercabik antara ingin menceritakan semuanya pada Nando, namun dia tahu Nando adalah bagian dari keluarga Oom Alfin walau dia membenci ayahnya. “Ngg… gini Ndo, tadi gue denger kabar temen gue kecelakaan…” “Hah? terus? dia dirawat di mana sekarang? elo mau jenguk?” tanya Nando panik. Dan Ruslan pun bercerita mengenai berbagai kejadian yang menimpanya, kecurigaannya pada Erry, pada Oom Alfin, namun dia sangat berhati-hati cerita agar Nando tak merasa tersinggung. Setelah selesai semua dia dengarkan, Nando menggelengkan kepalanya. “Enggak mungkin… gue kenal Mas Erry. Dia memang menyebalkan dan kaku, tapi kalau memikirkan dia bisa merencanakan skenario seperti itu…. gue ragu.” Ruslan menghela nafas. “Bagaimanapun gue harus kembali ke desa secepatnya. Kalau memang semua ini tidak berkaitan, dan bapak baik-baik saja, gue akan buang semua kecurigaan ini dan kembali ke rumah ini,” ujarnya. “Gue ikut!” sahut Nando. “Enggak boleh! elo masih sakit!” tolak Ruslan. “Elo pikir gue bakal mau terjebak di rumah ini tanpa temen seperti elo lagi? bagaimana gue tahu kalau elo bakal balik?” desis Nando. Ruslan tak ingin mendebat Nando. Ide mengajaknya kabur dari rumah mungkin akan membuat Oom Alfin dan Erry murka. Itulah sebabnya dia membiarkan Nando berpikir akan diajak ke desa, toh, dia akan kabur diam-diam. Ruslan mengangguk. “Ya sudah… elo boleh ikut. Balik ke kamar gih, istirahat. Gue mau mandi dulu…” kata Ruslan sambil menepuk paha Nando. Tanpa menunggu Nando keluar kamar, Ruslan beranjak ke kamar mandi. Dia meninggalkan Nando yang masih duduk terdiam di ranjangnya. Ruslan menutup pintu kamar mandi dan menyalakan keran shower. Selama beberapa saat dia biarkan air mengucur. Setelah dia raba dengan tangannya dan memastikan airnya sudah panas sesuai dengan keinginannya, Ruslan melepas seluruh pakaiannya, lalu menuju pintu kamar mandi untuk menguncinya. Baru saja dia hendak mengunci pintu kamar mandi, mendadak Nando mendorong pintunya dan masuk ke dalam. “Eh, Ndo! mau ngapain?” tanya Ruslan gusar. Sadar dirinya telanjang, dengan reflek dia menutup kemaluannya dengan sebelah telapak tangannya. Nando tak menjawab. Dia kemudian mengunci pintu kamar mandi dan mulai melepas kausnya. Ruslan meneguk ludah beberapa kali saat melihat Nando melakukan itu semua, namun dia tak kuasa mencegahnya. Setelah telanjang bulat, Nando menghampiri Ruslan sehingga keduanya berdiri berhadap-hadapan. Ruslan menatap wajah Nando dengan perasaan campur aduk. Tangan Nando kemudian memegang lengan atas Ruslan. Perlahan didorongnya tubuh Ruslan hingga keduanya berada di bawah guyuran air shower. Ruslan megap-megap saat kepalanya basah oleh air. Kemudian Nando mendekatkan wajahnya seolah hendak mencium Ruslan. Ruslan mengelak, namun Nando kembali berusaha mendekatkan bibirnya pada bibir Ruslan. Merasa terpojok, dengan setengah hati Ruslan menyambut bibir Nando. Dia mengecupnya singkat, kecupan pertamanya dengan sesama pria. Nando ingin lebih, kembali dia daratkan ciuman pada Ruslan yang kini bersandar pada dinding kamar mandi, terpojok. Ruslan tak berdaya untuk mencegah Nando melakukan aktivitas itu. Akhirnya dia membalas ciuman Nando dan berusaha mengimbanginya walau masih takut-takut dan ragu. “Ndo…” protes Ruslan. Tapi protes itu tak digubris oleh Nando dan dia kembali mencium bibir Ruslan. Ruslan memejamkan matanya berusaha menghilangkan kegugupan. Dan di tengah guyuran air bibir keduanya berpagutan lama sekali… *bersambung*

No comments:

Post a Comment