Wednesday, 22 January 2014
MAS BIMA PAK POLISIKU – Bagian II
RASANYA aku pantas mendapat pujian atas aktingku yang sekuat tenaga bersikap biasa-biasa saja setelah peristiwa malam itu saat Mas Bima merenggut keperawananku. Keeseokan harinya, kami bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Malah terlalu biasa sampai-sampai aku sedikit kesal dengan “amnesia” nya Mas Bima karena menganggap peristiwa yang bagiku sangat penting itu terlihat tak istimewa baginya.
Hatiku sedikit terluka. Mungkin bagi Mas Bima, yang kami lakukan semalam hanyalah sebatas seks belaka. Sebuah pelampiasan nafsu. Begitulah, nyaris setahun kemudian peristiwa itu berlalu. Aku sudah pindah ke luar kota dan sedang kuliah, jauh dari keluarga. Aku pun tak lagi peduli dengan Mas Bima dan Mbak Tika. Rasanya ingin sekali mengecek akun facebook Mbak Tika sesekali hanya ingin tahu keadaan mereka termasuk Mas Bima, tapi aku memutuskan untuk tak lagi berteman dengannya di jejaring sosial itu. Sejak nomor ponselku diganti, aku juga sepertinya sudah putus kontak dengan Mbak Tika.
Minggu sore itu di kamar kostku, aku sedang tiduran sambil mendengarkan musik. Kamar kostku bisa dibilang cukup premium. Fasilitasnya lumayan mewah untuk anak kuliahan seangkatanku, tapi ini semua keputusan papa. Bukan soal kemewahannya yang jadi pertimbangan orangtuaku, di tempat kost ini soal moral sangat dijaga. Pemiliknya rutin mengingatkan penyewa agar tak melakukan tindakan asusila atau dia tak akan segan mengusir penghuninya yang ketahuan berbuat tak sopan.
Padahal kalau dari segi privasi, jika ada penghuninya melakukan hubungan intim pun sepertinya tak akan ada yang tahu. Jarak antara kamar berjauhan dan lingkungannya sepi. Aku yang sering bergeriliya di situs khusus gay sudah beberapa kali berkenalan dengan orang-orang yang menyukaiku. Namun semuanya tak kurespon dengan baik. Entahlah, mungkin aku masih terbayang-bayang oleh Mas Bima sehingga sulit untukku membuka hati terhadap orang lain.
“Fin… Findra…” suara Ibu kos terdengar dari luar sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
Aku bangun dari ranjang dengan malas. Mau apa ibu kos sore-sore begini? Tidak biasanya dia bertamu.
Aku pun membuka pintu kamar. Di depan pintu ibu kos berdiri sambil tersenyum.
“Findra, sore ini kita kedatangan tamu. Tadi dia sudah keliling ke kamar-kamar yang lain dalam rangka penyuluhan dan peringatan mengenai pengedaran narkoba. Nah, coba kamu dengarkan dulu wejangan pak polisi yang di sebelah saya ya?” kata Ibu kos ramah.
“Oh.. i.. iya bu, perlu diajak masuk atau gimana?” tanyaku tanpa melihat sosok yang berdiri di sebelah ibu kos.
“Selamat siang dik, saya minta waktunya sebentar,” kata suara berat yang berasal dari pria berseragam polisi yang berdiri di sebelah ibu kos.
“Selamat siang, pak… bagaimana pak?” tanyaku gugup.
Petugas polisi yang sedari tadi menunduk, tiba-tiba tertawa dan mengangkat wajahnya. Dan itu adalah wajah orang yang kukenali.
“Mas Bima??” teriakku takjub.
“Hahahaha… kamu ini, masa enggak kenal?” kata Mas Bima sambil tersenyum. Wajahnya masih setampan terakhir kali kulihat. Dan badannya… badannya makin kekar saja kelihatannya.
“Loh, kalian saling kenal?” tanya Ibu kos heran.
“I.. iya bu… dia..” aku berusaha menjelaskan namun dipotong oleh Mas Bima.
“Iya bu! saya kakaknya Findra. Kebetulan saya baru ditugaskan di kota ini dan saya enggak kasih tahu Findra karena mau bikin kejutan,” kata Mas Bima sambil merangkul leherku.
“Oooo.. Masnya Findra toh? wah, senang ya deket sama keluarga?” kata ibu Kos ramah. Terlalu ramah bahkan! malah cenderung genit. Mungkin dia genit karena melihat ketampanan Mas Bima. Entahlah, yang pasti aku cemburu dan sebal.
“Yaudah.. kalian ngobrol aja dulu di dalam, Ibu balik dulu ke rumah ya?” kata Ibu kost pamit.
Masih agak canggung, aku mempersilakan Mas Bima masuk ke kamar. “Sori mas, agak berantakan,” ujarku sambil menutup pintu. Aku memang tidak tahu harus bersikap bagaimana. Sudah cukup lama dia menghilang begitu saja tanpa kabar setelah perbuatan terlarang kami.
“Duduk mas,” kataku basa-basi.
“Gimana kuliah kamu, Fin?” tanya Mas Bima sambil meletakkan topi pet polisinya di meja belajarku.
“Yah, lumayan lancar Mas,” jawabku sambil mengangkat bahu.
“Mas Bima tahu kost-an saya dari mana?” tanyaku menyelidik.
Mas Bima tertawa, “Mas mu ini polisi Fin, ya bisa tahu lah gampang…”
Aku diam tak bereaksi atas jawaban Mas Bima.
“Dari bapak kamu, hehehe.. dia cerita kalau kamu kuliah di sini.” kata Mas Bima akhirnya.
“Oh, pantes,” ujarku datar.
Mas Bima tersenyum. Dia kemudian menghampiriku dan merangkul pinggangku. “Kamu enggak kangen sama Mas, Fin?” godanya.
Aku secara reflek berusaha melepaskan pelukan Mas Bima karena merasa kesal. Enak saja, setelah hampir satu tahun, baru ketemu main peluk-peluk aja.
“Maafin aku ya, Fin? setelah malam itu, tiba-tiba Mbak mu bilang kalau dia sedang hamil. Aku shock. Mulai saat itu aku bertekad untuk mencurahkan perhatian 100% dan menjaga kehamilan istriku supaya keluarga kami lengkap dan selamat,” kata Mas Bima.
“Mbak Tika sudah melahirkan?” tanyaku penasaran.
Mas Bima mengangguk. “Laki-laki Fin. Ganteng kayak kamu,”
“Ah, masa kayak aku Mas? ganteng kayak bapaknya lah..” ujarku spontan.
“Oh, akhirnya kamu ngakuin juga kalau aku ganteng,” kata Mas Bima sambil tertawa.
Aku tersipu malu. Lama-kelamaan tubuhku luluh juga dalam pelukan Mas Bima.
“Maafin Mas Bima ya, Fin?” bisik Mas Bima di telingaku.
Rasa kangen yang membuncah membuatku meneteskan air mata. Aku melingkarkan lenganku pada lehernya yang kokoh. Kubenamkan wajahku pada pundaknya sehingga seragamnya terkena air mataku.
Kemudian Mas Bima mengangkat wajahku. Perlahan wajahnya didekatkan pada wajahku hingga kedua bibir kami bertemu. Aku menciumnya dengan lembut, seakan tak ingin momen ini segera berakhir. Cukup lama bibir kami berpagutan sampai akhirnya Mas Bima melepaskan ciuman kami.
“Nanti malam Mas kemari lagi ya? Mas harus pergi karena masih dinas,” kata Mas Bima menyesal.
“Yah… masa langsung pergi Mas?” protesku.
“Iya Fin, nanti malam Mas ajak kamu jalan-jalan deh sehabis tugas,” kata Mas Bima melepas pelukannya dan meraih topinya dari atas meja.
Aku merasa berat ditinggal oleh Mas Bima. Rasanya baru sebentar, namun seakan dia mau pergi meninggalkanku lagi tanpa kabar.
Baru saja Mas Bima hendak meraih pegangan pintu untuk keluar, aku menariknya masuk dan mendorongnya ke dinding dan mencium bibirnya.
“Mas gak boleh pergi dulu sebelum kasih oleh-oleh sama aku,” ujarku nakal.
Kemudian aku berlutut dan mulai membuka ikat pinggang celana Mas Bima dan melepaskan pengaitnya serta menurunkan risleting celananya.
“Fin… kamu mau apa?” protes Mas Bima.
“Mmm…” dengan tak sabar aku menurunkan celana dalam Mas Bima dan mengeluarkan penisnya yang terasa mulai mengeras.
“Hhh….” Mas Bima mendesah ketika aku mulai mengulum penisnya dan memain-mainkan kepalanya dengan lidahku.
Perlahan kudorong kepalaku maju sehingga sedikit demi sedikit penis Mas Bima yang masih kuingat jelas bentuknya dan yang pernah merenggut keperawananku itu masuk ke dalam mulutku. Kukatupkan bibirku dan kulakukan gerakan mengisap serta menekan-nekan batang berurat itu dengan lidahku di dalam mulut.
“Ouuuh…” erang Mas Bima. Telapak tangannya mengusap-usap rambutku. Memberikan servis oral kepada Mas Bima yang masih berseragam polisi lengkap benar-benar melecut gairahku. Ini seperti fantasi seksual banyak pria gay yang akhirnya terwujud.
Kugenggam pangkal penis Mas Bima dan memainkan buah zakarnya hingga Mas Bima mendesis-desis keenakan. Punggungnya yang bersandar pada dinding bergerak naik turun sementara pinggannya bergoyang-goyang mengikuti irama hisapan mulutku.
“Ouuh.. Fin.. kau tuh bener-bener…” ujar Mas Bima tanpa menyelesaikan kalimatnya.
“Mas… entot mulutku mas..” pintaku sambil terengah-engah saat kulepaskan batang penis Mas Bima yang basah dan hangat dari dalam mulutku.
Mas Bima menyeringai, kemudian kedua tangannya memegangi kepalaku lalu dia memasukkan penisnya kembali ke dalam mulutku dan pinggangnya mulai bergerak maju mundur.
“Ooh.. oooh… ” desah Mas Bima sambil terus melakukan gerakan memajumundurkan pinggangnya hingga penisnya keluar masuk mulutku.
“Uumm… Uum….” gumamku mencoba mengimbangi gerakan liar Mas Bima sekaligus membiasakan diri penisnya memenuhi mulutku.
“Aaaakkh…” gerakan Mas Bima makin cepat. Aku mencengkeram betis Mas Bima mencoba meraih keseimbangan.
“Ooh… Fiin…” erangnya. Aku tahu Mas Bima sebentar lagi mau keluar. Kurasakan penisnya berdenyut-denyut pada lidahku. Tubuhnya gemetar sementara jemarinya meremas rambutku dan…
“Aaaaaaaaaaah….” gempuran demi gempuran cairan isi batang penis Mas Bima memancar di dalam mulutku dan langsung mengalir ke tenggorokanku. Kulihat lengan Mas Bima yang kekar sedikit basah oleh keringat. Aku mengatupkan bibir mencoba agar tak setetespun ‘oleh-oleh’ Mas Bima keluar dari mulutku.
Setelah selesai, Mas Bima terengah-engah dan bersandar lemas pada dinding. Penisnya keluar dari mulutku dalam keadaan basah oleh air liur bercampur spermanya.
“Kamu itu.. bikin Mas terlambat balik ke kantor,” kata Mas Bima berlagak marah namun wajahnya tetap tersenyum puas.
Mas Bima kemudian beranjak ke toilet dan membersihkan diri sekaligus ‘menenangkan’ diri. Toh, celana seragamnya yang ketat akan kesulitan menyembunyikan batang penisnya yang tegang bila keluar kamar nanti.
“Sampai nanti malam ya, Fin…” ujar Mas Bima sambil mengecup pipiku. Dia pun memakai topinya dan mengangguk padaku sambil tersenyum sebelum keluar. Ah, Mas Bimaku gagah dan tampan sekali.
Aku pun menjatuhkan tubuhku ke ranjang dengan perasaan bahagia. Tak sabar rasanya menunggu Mas Bima kembali nanti malam…
*bersambung*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment