Wednesday, 22 January 2014
MERANTAU – Bagian 17
JEEP milik Erry menepi tepat di depan gerbang kampus. Pagi itu dia mengantar Ruslan pergi ke kampus.
“Nah. Saya ke kantor dulu,” kata Erry datar.
“Makasih, Mas,” balas Ruslan basa-basi. Dia pun turun dari mobil dan membetulkan letak ranselnya di pundak. Hari ini Ruslan diantar Erry ke kampus. Menurutnya, sebagai hukuman, dirinya sementara waktu tak diperbolehkan memakai motornya. Sebenarnya bagi Ruslan tak mengapa. Hanya saja, jika pilihannya harus diantar oleh Erry, lebih baik dia naik kendaraan umum atau berjalan kaki sekalian daripada harus terjebak dalam kecanggungan berdua Erry selama perjalanan ke kampus. Sepanjang perjalanan dari rumah ke kampus, Ruslan dan Erry lebih banyak diam. Sesekali Erry menasehati Ruslan agar lebih patuh dan penurut kepada Oom Alfin. Nasehat itu Ruslan tanggapi sambil lalu.
Tadi pagi untungnya Ruslan sarapan tak bertemu dengan Oom Alfin. Tapi dia juga tidak melihat Nando. Apakah dia sudah berangkat ke kampus lebih dulu? apakah surat yang dia kirim semalam untuk bertemu dengannya di kampus ini cuma kesalahan dan jebakan saja? Ruslan pun tadi enggan mengorek keterangan dari Erry. Entah mengapa rasanya malas berurusan dengannya, apalagi bertanya-tanya mengenai Oom Alfin dan bercerita padanya bahwa dia sudah dilecehkan secara seksual ketika menjemputnya dari desa. Bagi Ruslan, Erry sama saja dengan Oom Alfin. Dia seperti boneka suruhan yang dikendalikan Oom Alfin. Seperti robot.
Sebenarnya agak aneh juga kalau Ruslan ke kampus sekarang karena perkuliahan baru dimulai minggu depan. Namun dia meyakinkan Erry ada hal yang perlu dia urus di kampus. Sedangkan Nando, selain karena harus mengikuti mata kuliah susulan saat yang lain libur, dia juga memiliki alasan untuk datang karena beberapa kali dalam seminggu untuk latihan basket.
Kampus masih sepi. Tak ada aktivitas berarti di lingkungan kampus kecuali beberapa mahasiswa (mungkin yang ikut perkuliahan tambahan seperti Nando) yang sesekali terlihat berkeliaran. Ruslan pun berjalan menuju fakultasnya sambil sesekali melihat ke sekeliling siapa tahu dirinya menemukan sosok Nando.
Ah, mungkin dia sedang di lapangan basket, pikir Ruslan. Dia pun menuju taman hendak duduk sejenak. Kali ini dia tak lagi punya keinginan untuk menelepon ayahnya. Apalagi, dia tahu usaha itu percuma saja karena telepon ayahnya sudah di’sandera’ oleh Oom Alfin. Memikirkan nasib ayahnya membuat dada Ruslan sesak. Tapi satu hal yang menjadi penyemangatnya adalah, dalam hati kecilnya dia merasa yakin bahwa ayahnya di suatu tempat dalam keadaan baik-baik saja.
Saat melamun, tiba-tiba seseorang menariknya dari bangku taman. Ternyata Nando. Dia menyeret Ruslan menuju gedung kampusnya. Sepertinya dia baru saja latihan Basket karena dirinya masih mengenakan kostum basket kampus mereka.
“Ndo! mau ke mana?” desis Ruslan gusar.
“Sssst.. ssst…” kata Nando sambil terus menarik tangan Ruslan ke sebuah ruangan. Ternyata ruangan itu adalah ruang locker di gedung olahraga.
“Jangan ribut. Sebisa mungkin kita enggak kelihatan ketemuan. Gue enggak mau ambil resiko,” kata Nando sambil membuka pintu sebuah locker. Dia pun membuka kaus basket dan celananya di depan Ruslan lalu berganti pakaian dengan t-shirt dan jeans. Ruslan berusaha mengalihkan pandangannya dari tubuh telanjang Nando.
“Kenapa sih elu? kayak belum pernah lihat gue telanjang aja!” kata Nando terkekeh.
Ruslan berdeham salah tingkah.
“Nah, sekarang lo masukkin hape elo di sini. Gue juga tinggalin hape gue di sini,” perintah Nando.
“Memang kita mau ke mana?” tanya Ruslan bingung.
“Ada yang mau gue bicarakan. Tapi gue mau kita aman, jadinya hape kita tinggalin di sini. Soalnya gue yakin, mereka pasang pelacak di hape kita buat mendeteksi keberadaan kita,” kata Nando sok misterius.
Ruslan langsung teringat kamera pengawas yang dia temukan di kamar. Sepertinya tak ada alasan untuk tak mempercayai Nando. Dia pun mengikuti saran Nando untuk meninggalkan ponselnya di locker milik Nando.
“Gue jalan duluan. Lima menit lagi elo ke gerbang belakang kampus, ketemu gue di sana. Gue udah tukar motor sementara, oke?” kata Nando sambil menepuk bahu Ruslan. Dia menyambar jaketnya dan mengenakan tudungnya hingga wajahnya nyaris tak terlihat. Sebelum pergi, dia mengunci lockernya rapat-rapat.
Ruslan mengikuti perintah Nando dan menunggu sekitar lima menit. Setelah itu dia pun bergegas menuju tempat yang ditentukan.
Di gerbang belakang kampus, Ruslan melihat Nando sudah mengenakan helm dan mengendarai motor hitam besar yang belum pernah Ruslan lihat. Entah dia apakan motor skuter antik miliknya, yang pasti setelah melihat kedatangan Ruslan, Nando memacu motornya ke dekat Ruslan dan menyerahkan helm padanya cepat-cepat.
Setelah Ruslan berada di jok belakang, Nando memacu motornya dengan cepat meninggalkan kampus.
“Kita mau ke mana?” teriak Ruslan.
“Nanti juga kamu tahu!” sahut Nando.
****
Sudah hampir dua jam mereka berkendara dengan kecepatan tinggi. Ruslan tak mau mengganggu Nando yang sepertinya buru-buru sekali menuju tempat yang dia bilang. Mereka pergi meninggalkan kota, pergi ke daerah yang belum pernah Ruslan kunjungi. Jalannya agak rusak dengan kebun-kebun di sisi kanan dan kiri jalan raya. Setelah itu, mereka berkendara di jalan raya tepat di pinggir pantai. Kebun-kebun pohon besar di sisian jalan berganti menjadi puluhan pohon kelapa dan perdu. Saat Ruslan menoleh ke kiri, dia bisa melihat pantulan sinar matahari di atas ombak air laut yang sedang tenang. Suhu panas dan udara terik siang itu tak dia rasakan.
Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu pekarangan yang terbuat dari pagar besi yang sudah cukup tua. Nando turun dari motornya dan membuka pintu kawat yang sepertinya tak dikunci melainkan hanya dililit kawat berkali-kali.
Pekarangan yang dikelilingi pagar kawat itu cukup luas. Di ujung sana terlihat sebuah pondok mungil tepat di bibir pantai. Ruslan sampai terbengong-bengong melihatnya. Asyik sekali rasanya bila tinggal di pondok sederhana itu setiap hari menikmati deburan ombak. Ruslan mengacak-acak rambutnya yang tertiup angin laut sambil bertanya pada Nando, “Ini rumah siapa?”
“Salah satu rumah milik papa, Rus. Sepertinya pemilik lama tidak bisa membayar hutang sehingga rumah ini Papa ambil alih kepemilikannya. Gue yakin, Papa sebenarnya sudah lupa sama rumah ini. Makanya, waktu gue diem-diem ambil kuncinya, papa enggak sadar. Akhirnya, gue jadiin rumah ini tempat pelarian gue, dan.. ehm… lo tau lah…” kata Nando tak berniat memperjelas kalimatnya.
Ruslan menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengikuti Nando yang mendorong motornya pada jalanan berpasir menuju pondok.
Pondok itu berukuran kecil saja seperti bungalow yang ada di penginapan-penginapan pinggir pantai. Mungkin hanya ada satu ruang tamu dan satu kamar tidur saja. Tapi walaupun kecil, letaknya yang berada di pinggir pantai menjadikan pondok ini juara. Apalagi, sebagian besar material rumahnya terdiri dari kayu sehingga terkesan sangat asri.
Walaupun terlihat sederhana dari luar, namun perabotan di dalamnya cukup lengkap selengkap kamar hotel. Ada lemari pendingin, ranjang besar, televisi, pendingin udara dan peralatan dapur komplit.
“Sebagian besar gue yang isi. Lumayan kalau mumet di rumah, biasanya gue kabur ke sini,” kata Nando.
Tiba-tiba dia terdiam. Ranselnya dia jatuhkan dan kepalanya menunduk.
“Ndo? elo kenapa?” tanya Ruslan.
Tiba-tiba Nando berbalik dan menubruk Ruslan dan memeluknya sambil menangis. “Maafin gue Rus, enggak bisa nemenin elo ke desa,” isaknya.
“Loh.. gue yang harusnya minta maaf. Gue terpaksa ninggalin elo begitu aja di rumah padahal elo lagi dalam keadaan pingsan.” Kata Ruslan memeluk Nando berusaha menenangkannya.
“Mas Erry sialan!” kata Nando tiba-tiba sambil melepaskan pelukannya.
“Apa? yang bikin elo pingsan itu Mas Erry?” selidik Ruslan.
“Gue enggak lihat jelas orangnya karena si bangsat itu pakai topeng. Tapi gue masih ingat cologne yang biasa dipakai Mas Erry. Gue cium bau itu sebelum gue cium bau obat bius yang bikin gue pingsan kemarin,” ujar Nando geram.
“Terus, gimana caranya si satpam yang namanya Fajar itu bisa ada di kamar elo?” tanya Ruslan lagi.
Nando menoleh ke arah Ruslan. “Kalau itu… gue emang kasih kebebasan dia supaya datang kapan aja dia mau,” kata Nando tersipu malu. “Mungkin pas dia mau ketemu gue, timing-nya tepat ngelihat gue lagi pingsan. Jadilah dia manfaatin kesempatan.”
Ruslan berdeham. Ingatannya kembali saat dia memergoki aksi Nando dan satpam itu di kamar Nando secara diam-diam.
Nando menghela nafas. “Lalu, pas gue sadar, gue coba caritahu diam-diam ke kamar Mas Erry. Tahu apa yang gue temuin, Rus?”
Ruslan menggeleng.
“Foto-foto elo… Foto-foto elo dari kecil sampai SMA ada semua!”
“Fo.. foto gue?” tanya Ruslan tak percaya.
“Ya… tapi ada yang aneh. Enggak satupun foto-foto elo yang menghadap kamera. Itu artinya kemungkinan…”
“…diambil gambarnya diam-diam,” kata Ruslan meneruskan. Tubuhnya bergidik ngeri. Jadi selama ini ada orang, jika bukan hanya Erry, yang selalu membuntutinya sejak kecil.
Nando mengangguk pelan. Matanya menyorotkan kekhawatiran saat menatap Ruslan.
Ruslan menjatuhkan tubuhnya ke kursi karena merasa lemas.
“Tapi sorenya sepertinya Mas Erry tahu kalau gue udah bongkar-bongkar kamarnya. Dari situ gue yakin, kalau selama ini gue dimata-matai. Gue diem-diem ngecek kamar dan memang ada kamera terpasang di kamar gue yang disembunyikan di situ. Lalu handphone. Handphone gue sepertinya dikasih alat pelacak lewat GPS, makanya mereka selalu tahu gue ada di mana dan nelepon nyuruh gue pulang setiap gue main kejauhan dari rumah atau kampus…” jelas Nando panjang lebar.
“Di kamar gue juga ada kamera Ndo. Udah gue ancurin,” kata Ruslan.
“Tahu apa yang dibilang Mas Erry tentang elo?” tantang Nando. “Dia bilang elo mau dijadikan pewaris tunggal usaha papa, dan gue enggak akan dapat apa-apa jika papa meninggal nanti. Hah! bullshit! dia pikir gue peduli sama hal itu? lagipula enggak masuk akal. Gue bisa deteksi kebohongan Mas Erry dari bicaranya. Tapi gue pura-pura percaya dan bilang gue benci sama elo. Itulah sebabnya, gue yang emang dilarang lebih dekat sama elo, terpaksa harus pura-pura nyerang elo waktu makan malam kemarin,”
Ruslan tak berkomentar.
Nando menarik nafas dan mendekati Ruslan. Kemudian Nando mengangkat Ruslan dari duduknya dan memeluknya.
“Gue kangen… khawatir terjadi apa-apa sama elo…” kata Nando.
“Sama Ndo, gak tau kenapa gue juga ngeri ngebayangin kalo terjadi apa-apa sama elo, tapi.. tapi..” Ruslan tak bisa meneruskan kalimatnya. Mendadak dia merasa jijik pada dirinya sendiri mengingat pelecehan seksual yang dilakukan Oom Alfin padanya. Dia pun memeluk Nando dan terisak.
“Kenapa, Rus?” tanya Nando.
“Oom Alfin… waktu jemput gue di desa, dia tahu hubungan kita dan maksa gue buat.. maksa gue buat…” kalimat Ruslan terhenti. Lidahnya terasa tercekat tak sanggup meneruskan bercerita pengalaman yang dia rasakan.
“Papa maksa kamu gimana Rus?” desak Nando.
Dan Ruslan pun menceritakan kejadian di penginapan itu.
“Dasar tua bangka brengsek!” cetus Nando. “Denger Rus, ada satu hal yang elo harus tau.. Alfin itu… Alfin itu… dia BUKAN PAPA GUE!” ujar Nando geram.
“A… Apa? bukan papa elo? Kok?” tanya Ruslan terkejut.
“Nanti ceritanya Rus, kita istirahat aja dulu di sini..” ajak Nando berusaha menenangkan Ruslan dan juga menenangkan dirinya.
Keduanya kemudian duduk di ranjang saling bertatapan. Nando meraih wajah Ruslan dan menghapus air mata di pipinya dengan ujung jarinya. Walau masih penasaran, Ruslan berupaya untuk tak mengungkit rahasia yang baru diungkap Nando. Tanpa dikomando keduanya saling mendekatkan wajah dan berciuman mesra. Tangan mereka bergeriliya saling meraba, merangkul, memeluk satu sama lain.
Ruslan membantu Nando meloloskan kausnya begitu pula tangan Nando dengan cekatan melepas kaus Ruslan. Ruslan mencium bibir Nando sambil mendorong badannya perlahan hingga Nando terlentang di atas ranjang sementara Ruslan berada di atasnya. Lidah Ruslan menyelusup masuk ke dalam mulut Nando dan berusaha menggumul lidah Nando di dalam mulutnya. “Umm…” gumam Nando. Tubuhnya bergelinjang saat Ruslan semakin bersemangat mencumbunya. Nando membiarkan pemuda itu menciumi lehernya, bergeser hingga dadanya.
Nando mengerang sambil mencakar lembut punggung Ruslan dengan ujung jemarinya. Matanya dia pejamkan sementara kedua belah pahanya menjepit tubuh Ruslan.
Tak lama Ruslan berusaha melepaskan celana jeans Nando. Setelah terbuka dia mendekatkan bibirnya pada penis Nando. Jantung Nando berdebar menantikan apa yang akan diperbuat oleh Ruslan. Walau agak canggung Ruslan kemudian mencoba mengulum penis Nando. Nando mendesis sementara tubuhnya menegang saat untuk pertama kalinya mendapat servis oral dari Ruslan, pemuda yang dia kagumi.
“Rus…” desah Nando saat penisnya terasa basah oleh kuluman bibir Ruslan.
“Aaah…” erangnya ketika Ruslan berusaha mengikuti permainan oral yang dicontohkan Nando padanya. Belum terasa nikmat sekali, tapi untuk seorang pemula, inilah sensasinya diservis oleh mulut yang masih perjaka.
Nando kemudian mengangkat tubuh Ruslan. Sambil tersenyum dirinya membantu melepas celana Ruslan hingga pemuda itu telanjang bulat. Nando meraih sesuatu dari laci meja sebelah ranjang, sebuah tube botol berisi cairan bening. Ruslan belum pernah melihat benda seperti itu sebelumnya. Lalu dia memerhatikan Nando menuangkan isinya dan mengoleskannya pada lubang pantatnya sambil menatap Ruslan penuh arti.
Dituangkannya lagi cairan bening itu lebih banyak di tangannya dan kini dia oleskan cairan itu pada penis Ruslan yang sudah menegang.
“Ouh.. apa itu?” tanya Ruslan ketika sensasi dingin menerpa kulitnya saat cairan kental bening itu dioleskan pada penisnya oleh tangan Nando.
Nando tak menjawab. Dia kemudian meraih bantal dan meletakkannya di bawah pinggangnya hingga panggulnya terangkat. Kedua kakinya dia lingkarkan pada pinggang ramping Ruslan sementara sebelah tangannya masih menggenggam penis Ruslan.
Setelah posisinya dirasa cukup nyaman, Nando menuntun batang penis Ruslan tepat ke arah lubang pantatnya. Ruslan yang agak ragu sempat bereaksi menolak, namun dirinya tak kuasa dengan tatapan sayu Nando yang menggoda seolah berkata dirinya sangat menginginkan ini… menginginkan diri Ruslan seutuhnya.
“Ndo…” ujar Ruslan. Nando tak menjawab. Ketika kepala penis Ruslan menyentuh pintu lubang pantatnya, Nando berusaha rileks dan mendorong batang itu agar melesak ke dalam.
“Ooouuuh…” erang Nando ketika akhirnya sebagian kepala penis Ruslan berhasil masuk pada lubangnya. Dinding anus Nando berdenyut-denyut menerima ‘tamu’ baru yang hadir di dalamnya.
Ruslan sendiri merasakan sensasi enak seperti tersengat listrik menggelenyar ke seluruh tubuhnya.
“Dorong Rus…” perintah Nando ketika batang penis Ruslan sudah mantap tertancap sehingga Nando melepaskan tangannya yang tadi menuntunnya.
Ruslan menuruti keinginan Nando dan mulai mendorong pinggangnya sehingga penisnya semakin melesak masuk.
“Hmmf..” tubuh Nando berkontraksi saat batang penis Ruslan semakin masuk ke dalam. Bibir bawahnya dia gigit sementara tangannya mencengkeram lengan kekar Ruslan.
“Sakit?” tanya Ruslan khawatir.
Nando menggeleng cepat, “Enggak.. pelan-pelan aja Rus…” pintanya. Ruslan pun menuruti keinginan Nando dan mulai meneruskan aksinya.
“Ooouuh…” desah Nando sambil mengangguk memberitahukan bahwa yang dilakukan Ruslan sudah benar. Kini Seluruh batang penis Ruslan nyaris tenggelam di dalam pantat Nando.
“Sekarang goyang Rus…” desis Nando. Ruslan yang masih membiasakan diri dengan sensasi jepitan otot-otot pantat Nando menuruti keinginan pemuda itu. Dia pun menarik pinggulnya keluar dan menghujamkan penisnya lagi ke dalam pantat Nando berkali-kali.
“Aaah… Aaaah…” erang Nando nikmat. Dia bangkit dan berusaha mengisap puting Ruslan sebagai balas jasa.
“Ooooouuh… Oooouuuh…” keluh Nando berkali-kali setiap kali Ruslan dengan hentakan pinggulnya berhasil mengenai titik prostatnya.
“Gila Rus… enak banget, lo bikin gue mau keluar…” desah Nando sambil menatap sayu Ruslan. Ruslan yang juga merasakan nikmatnya menyetubuhi Nando semakin bersemangat. Peluhnya mulai membasahi tubuhnya.
Dia pun menatap penis Nando yang menegang tanpa dipegang. Rupanya Nando tak tahan lagi. Dia menggenggam penisnya yang sudah sangat tegang itu sambil berseru “Gila Rus.. gue mau keluar.. gue mau kelu–akh…!” erangnya sambil melengkungkan pinggangnya. Spermanya memancar dari penisnya hingga mengenai dada dan perutnya serta sedikit mengenai dada Ruslan.
Rupanya Ruslan pun hendak mencapai klimaks. Dia sedikit bingung bagaimana harus mengeluarkan amunisnya. Apakah dia harus mencabut penisnya, ataukan membiarkannya tetap di dalam dan mengeluarkannya di dalam pantat Nando.
“Rus.. keluarin di dalam Rus…” pinta Nando. Dia sangat ingin merasakan sensasi semburan sperma milik Ruslan di dalam tubuhnya.
“Akh…” erang Ruslan tak tahan. Dia merasakan penisnya mengeluarkan sperma berkali-kali di dalam terowongan pantat Nando. Nando pun merasakan sperma Ruslan mengalir hangat di situ dan menggumam puas.
Ruslan menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Nando. Penisnya yang melemas keluar dengan sendirinya dari pantat Nando. Keduanya berusaha mengatur nafas sambil berpelukan. Tak lama keduanya tertidur.
***
Ruslan terbangun satu jam kemudian. Sinar matahari sore yang menembus jendela kamar pondok itu dan menyilaukan mata Ruslanlah yang membuatnya terbangun. Ruslan melihat ke sebelahnya dan melihat Nando masih tertidur pulas. Sebenarnya dia ingin menanyakan lebih lanjut mengenai fakta bahwa Oom Alfin bukanlah ayah Nando, tapi dia tak tega membangunkan anak itu.
Ruslan pun bangkit dari tidur dan meraih celana pendeknya. Dengan bertelanjang dada dia keluar pondok dan berjalan ke arah pantai. Deburan ombak membasahi kakinya yang menjejak pasir pantai. Dia bersandar di sebuah batu sambil berpikir. Ada yang tidak sinkron di sini. Jika memang Erry yang membius Nando menggunakan bahan yang sama yang dia gunakan saat mengancam Ruslan dulu agar tak pergi, itu berarti dua hal yang sangat kontradiktif. Bila pembius itu berusaha mencegah Ruslan mendatangi rumah Oom Alfin, berarti orang itu seakan berusaha mencegah dirinya masuk dalam perangkap. Tapi… apa motifnya membius Nando juga? Kepala Ruslan mendadak pening.
Saat pikirannya semakin melayang kemana-mana, Ruslan dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dengan keras.
*bersambung*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment