My Blog List

Saturday 13 March 2010

Petualangan Aji 2, Part 9

18 Pekan-pekan pertama di bulan Mei 1998. Tit, tit. Suara klakson mobilku mengagetkan Sony yang sedang duduk serius menonton televisi di ruang satpam. Saking seriusnya menonton dia tidak menyadari kalau aku sudah mengamatinya hampir dua menit dari jendela mobilku. Satpam satu ini gak kalah menarik dibanding si Jono. Kapan ya kurealisasikan rencanaku ngerjain dia seperti si Jono. Hehe. “Eh, Mas Aji, mau ke kampus mas?” katanya, tangannya segera memencet tombol pembuka pintu gerbang otomatis. “Iya. Nonton apa sih Son? Serius amat sampe gak dengar suara mobilku. Nonton bokep ya,” tegurku sambil senyum nakal padanya. “Enggaklah mas. Masak pagi-pagi begini nyetel gituan,” jawabnya. Dia tersenyum mendengar pertanyaanku, memamerkan deretan giginya yang putih. Wajahnya yang dihiasi kumis tipis itu membuatku jadi terangsang deh. Hehe. “Terus nonton apaan sampe segitu seriusnya,” tanyaku lagi. “Berita Mas, soal kenaikan BBM,” jawabnya. “Pemerintah kita aneh ya Mas, rakyat udah susah malah dibebani lagi dengan kenaikan BBM,” sambungnya lagi. “Sabar aja Son, hari ini kita mau unjuk rasa memprotes kenaikan harga BBM nih. Unjuk rasa besar-besaran,” kataku sebelum meninggalkannya. Diatas mobil dalam perjalanan menuju kampus kata-kata Sony menggugah fikiranku. Benar apa yang dikatakannya itu. Apa-apa semua sekarang sudah naik. Nasi goreng Mbok Nah juga ikut-ikutan naik. Hanya nilai tukar rupiah saja yang tidak naik, malahan terus merosot dibandingkan dollar dan mata uang negara lain. Dari cerita Mas Doni kepadaku, kepulangannya ke Indonesia juga akibat merosotnya nilai tukar rupiah. Setahun setelah lulus kuliah di Australia ia belum juga memperoleh pekerjaan yang layak. Sementara biaya hidupnya disana disuplai seluruhnya oleh Bapak Arifin Wijaya dari Indonesia. Nilai tukar rupiah yang terus merosot sejak tahun 1997 lalu membuat majikanku itu cukup kerepotan juga membiayai dua anaknya yang tinggal di Australia. Akhirnya Mas Doni yang sudah selesai kuliah disarankan untuk sementara pulang saja dulu dan mencari mencari-cari pekerjaan disini atau membantu usaha majikanku. Di Indonesiapun sepertinya peluang Mas Doni untuk mendapatkan pekerjaan juga susah, perusahaan banyak yang kollaps. Bank banyak yang di likuidasi. Akhirnya mau gak mau Mas Doni terpaksa di rumah saja. Karena kebanyakan di rumah akhirnya harap dimaklumi saja kalau Mas Doni jadi gila ngesex. Aku, Jono dan Mbak Ayu akhirnya jadi pelampiasan nafsunya setiap hari. Lebih gila lagi sekali waktu kami mengentot rame-rame berempat di ruang tamu. Sofa, lantai, dan tangga menuju lantai dua merupakan saksi bisu sekaligus arena tempat kami memuaskan nafsu sex. Meskipun pada mulanya Mbak Ayu kaget melihat prilaku homoseksual kami tapi akhirnya dia menikmatinya juga. Malahan jadi ketagihan, hehe. Gimana gak ketagihan, bayangin aja tiga cowok ganteng, atletis berkontol gede ngerjain dia rame-rame. Bahkan pernah kami melakukan triple penetrasi padanya. Memek, lobang pantat, dan mulut Mbak Ayu diisi oleh kontol kami yang mengebor-ngebor pada saat bersamaan. Asik kan. Berhubung Bapak dan Ibu Arifin Wijaya sudah balik dari Australia, pesta sex jadi tidak bisa dilakukan lagi. Akhirnya terpaksalah aku yang jadi bulan-bulanan pemuasan nafsu Mas Doni karena aksesnya lebih mudah. Sesekali Jono juga dapat jatah. Karena gimanapun awalnya lobang pantat Jono yang masih lumayan sempit itu memiliki rasa yang lebih, karenanya sayang untuk dilewatkan. Selain itu kamipun pengen variasi merasakan kontol Jono dalam lobang pantat kami. Ngentot dengan Jono kami lakukan di dalam mobilku pada malam hari saat semua sudah tidur. Belakangan ini Mas Doni suka memberikan tip pada Jono seusai kami berpesta sex. Pengaruhnya cukup bagus. Jono semakin senang saja melayani kami. Apa yang kami inginkan selalu dipenuhinya. Meski sangat kesakitan dia tak menolak ketika kami memasukkan kontol kami berdua bersama-sama didalam lobang pantatnya. Meski air matanya mengalir karena menahan sakit, dia tetap merelakan lobang pantatnya kami nikmati. Tapi lama kelamaan bosan juga mengentoti Jono. Apalagi setelah dia kami anal bersamaan. Lobang pantatnya sudah mulai melebar. Keinginan untuk mencoba Sony akhirnya semakin kuat. Hanya saja kesempatannya belum pernah ada. Ketika aku mengatakan pada Mas Doni agar dia mencobanya sendiri dulu, ia tidak mau. Dasar mau terima bersih aja dia. Huh! Tak lama aku sampai juga di kampusku di kawasan Salemba. Ketemu Zaki hari ini gak ya. Kok tiba-tiba aku kangen sama dia ya. Undangannya untuk aku hadir pada acara orasi politik beberapa hari lalu tak kupenuhi. Kalau ketemu pasti bakalan ditanya ini itu deh. Tapi kalau gak ketemu kok rasanya kangen juga ya. Hehehe. Halaman depan kampusku sudah rame. Mahasiswa-mahasiswi berkumpul tumpah ruah mengelilingi sebuah panggung yang terletak ditengah-tengah halaman depan kampusku. Kulihat ada seorang tokoh nasional yang sedang berorasi dengan penuh semangat diatas panggung itu. Pada acara orasi kali ini semua elemen mahasiswa bergabung, ada kelompok nasionalis dan juga ada kelompok agama. Agenda yang diusung adalah memprotes kenaikan harga BBM. Hujatan-hujatan pada kebijakan Soeharto berhamburan dari tokoh yang sedang berorasi itu. Setiap hujatannya pasti ditingkahi dengan tepuk tangan dan sorak-sorai penonton yang sangat bersemangat. Benar-benar rame deh. Selain mahasiswa kulihat masyarakat juga banyak yang ikut mendengarkan orasi daro tokoh nasional itu. Mahasiswa dan juga masyarakat kayaknya sudah benar-benar bosan dengan Soeharto dan kebijakannya. Sampai-sampai tuntuntan “Turunkan Harga!” yang didengung-dengungkan oleh mahasiswa diplesetkan menjadi Turunkan Harto dan keluarga. Setelah memarkirkan mobil, aku segera bergabung. Kunyalakan rokok mildku sambil menggenakan jaket mahasiswaku. Selanjutnya aku bergabung dengan teman-temanku di lapangan. Mataku mencari-cari orang yang kukenal. Pertama sekali yang kulihat adalah Rama Pratama, Ketua Senat Mahasiswa UI dan jajaran pengurusnya. Mereka berdiri dekat sekali dengan panggung. Aku termasuk pendukung Rama lo waktu pemilihan Ketua Senat lalu. Rama itu anaknya alim, ramah, pinter dan tidak banyak bicara. Apa yang dikatakannya enak didengar dan menyejukkan. Rasional dan gak muluk-muluk. Mataku mencari-cari lagi. Hei, itukan Ricky dengan Andrea pacarnya. Si maniak sex itu tumben ikut mikirin situasi negara juga, hehehe. Aku pikir dengan banyaknya perkuliahan yang kosong akhir-akhir ini dia sedang sibuk mencari-cari mahasiswa junior untuk dikerjainya bersama kelompoknya. Bram, Margaretha, Andreas dan Fiona juga ngumpul di lapangan beserta teman-temanku dari kelompok yang disebut Zaki nasionalis. Mereka memakai ikat kepala bertuliskan kata-kata “Reformasi Sekarang Juga!”. Untung mereka tidak melihat kehadiranku. Aku lagi malas gabung dengan mereka, soalnya lagi kangen Zaki sih. Akhirnya mataku menemukan Zaki dan genk mesjidnya. Kulihat dia sedang berdiri menenteng pengeras suara. Ferdinand si tampan itu berdiri disampingnya. Juga ada Ilham dan Amri aktivis mesjid dari kampus Depok. Dua nama terakhir kurang menggairahkan menurutku, tapi kalau dua nama yang pertama itu menggoda syahwatku banget deh. Kapan ya aku bisa merasakan mereka, hehehe. Dasar gila deh. Masak anak alim seperti mereka mau berhomosex ria denganku. Gak mungkin deh kayaknya. Zaki melihatku, dilambaikannya tangan memanggilku. Segera kudekati dia kesana. Tak lupa rokokku kumatikan terlebih dulu, Zaki tak suka melihat perokok. “Masih ngerokok juga Ji?” tanya Zaki. Ups, dia sempat melihatku merokok rupanya. Aku nyengir mendengar pertanyaannya, Zaki geleng-geleng kepala melihat cengiranku. “Lama gak kelihatan Ji, kemana aja?” tanya Ilham. “Iya nih si Aji, gak mau lagi gabung dengan kita Ham,” sambar Zaki. “Dia sekarang udah masuk kelompok nasionalis,” kata Zaki. “Ah enggak gitu, cuman emang belum sempat aja Zak,” “Alasan,” katanya tersenyum. “Buktinya kemaren kok gak datang di acara orasi yang kita adakan Ji?” Bingung jawabnya aku jadi senyum aja dan kemudian berpura-pura serius mendengarkan orasi dari panggung. “Zaki suka kangen kamu tuh Ji,” kata Ferdinand. “Dia suka nanyain kalau sehari aja gak liat kamu,” sambungnya lagi dengan senyum lucu padaku. Deg, kangen? Beneran gak nih? Tiba-tiba muncul harapan mesum di otakku padanya. “Iyalah suka nanyain, soalnya sampe sekarang dia suka ngilang-ngilang sih, dan punya segudang alasan untuk gak ngumpul dengan kita,” kata Zaki membuyarkan harapanku. Dasar ge er aku ini. Kirain kangen karena emang dia suka. Gak mungkin lah ya, hehehe. “Kamu dibilangin Zaki kangen kok jadi salah tingkah gitu Ji,” goda Ferdinand dengan senyum jenaka. Apa aku kelihatan salah tingkah ya? Gawat deh. “Gila aja nih si Ferdinand, emangnya gua banci kayak si Bimo and the genk,” jawabku segera menetralisir keadaan. Soalnya sempat kulihat Zaki melirikku dengan tatapan yang aneh. Aku gak tau apakah tatapannya itu berarti dia sedang memastikan aku memang salah tingkah seperti yang dikatakan Ferdinand atau tidak. Atau tatapan itu memiliki arti lain. Entahlah. Aku gak mau berpikir yang aneh-aneh tentangnya, membuatku semakin berharap namun tak beroleh harapan. Seperti pernah kukatakan, di kampusku memang ada sekelompok mahasiswa banci. Terus terang aku mual melihat mereka. Kok bisa sih cowok cakep kayak Bimo dan teman-temannya bisa feminin melebihi perempuan kayak gitu. Lebih parah lagi, secara terbuka mereka suka menggoda cowok cakep tanpa pandang bulu. Termasuk menggodaku juga. Terus terang aku gak suka ngelihat mereka. Meskipun aku doyan cowok, tapi aku tidak mau seperti mereka. Aku tidak pernah mau mereka tahu rahasiaku. Tapi rasanya kok aneh ya. Kenapa Ferdinand tiba-tiba ngomong begitu. Apa maksudnya nih? Masak cowok-cowok alim seperti mereka becandanya seperti itu sih? Aku jadi curiga nih sama Ferdinand. Soalnya nih anak dulunya begaul juga. Bandel, dan dekat dengan dunia maksiat. Beda sama Zaki yang emang dari awalnya udah alim. Jangan-jangan si Ferdinand.... Tapi apa iya sih? Aku jadi mencuri-curi pandang pada si Ferdinand. Dan ketika pada suatu saat pandangan kami bertumbuk, kulihat ia membalas tatapanku lama untuk selanjutnya membuang muka dengan tersipu. Aku jadi semakin curiga. Siang itu, ba’da dzuhur, acara orasi dilanjutkan dengan long march di jalan-jalan utama Jakarta. Jalanan menjadi macet. Tapi masyarakat tidak ada yang kelihatan marah dan kesal dengan aksi kami. Mereka sangat mendukung. Seorang bapak bermobil mewah memborong air minum kemasan dari pedagang kaki lima dan membagi-bagikannya ke mahasiswa. Benar-benar unjuk rasa yang menyenangkan. Aku ikut berjalan kaki bersama-sama dengan kelompok Zaki. Berjalan beriringan dengan Zaki aku terus mengamati segala tingkah polah Ferdinand. Aku benar-benar penasaran dengan anak satu ini. Sepertinya dia juga menyadari kalau aku mengawasinya. Sesekali dia memandangku dan kemudian membuang muka. Hari ini harus kukuak tabir yang menyelubungi Ferdinand. Menjelang ashar kami kembali ke kampus. Seusai sholat ashar acara unjuk rasa hari ini usai. Kutawari mengantarkan Zaki dan Ferdinand pulang. Awalnya Ferdinand menolak. Tapi dia tak punya alasan lagi untuk menolak ketika Zaki memaksanya ikut. Kuantar terlebih dahulu Zaki ke kosnya yang tidak terlalu jauh dari kampus. Tinggallah Ferdinand bersamaku berdua didalam mobil meluncur di jalan tol menuju rumahnya yang terletak di kawasan Slipi. Dia tidak banyak bicara. Sesekali dia memejamkan matanya, kelelahan atau sekadar berpura-pura tidur di kursinya? Nekat kuraba selangkangannya saat dia memejamkan mata. Ferdinand kaget. Terlonjak dari kursinya. “Kamu ngapain Ji?” tanyanya menepis tanganku. Aku tersenyum menyeringai. “Jangan membohongiku Fer,” kataku. “Apa maksud kamu?” “Tak usah bohong, kamu tau maksudku,” “Gila kamu Ji. Kamu homo ya?” “Tepatnya biseks Fer, seperti kamu. Atau malah kamu yang homo mungkin,” kataku. “Jangan macam-macam Ji,” Ferdinand mencoba mengancam. “Kalau aku macam-macam kamu mau apa? Mau turun di jalan tol ini. Turun aja,” kataku santai. “Apa mau kamu Ji?” tanyanya melemah. “Aku mau kamu mengaku sekarang,” kataku tegas. Bersambung.............

No comments:

Post a Comment