My Blog List

Saturday 13 March 2010

Petualangan Aji 2, Part13

22

19 Mei 1998.

Aksi kemaren sore benar-benar seru. Setelah didatangi dan didesak terus menerus oleh mahasiswa, akhirnya, pimpinan DPR dikomandani Harmoko mengeluarkan pernyataan yang mengagetkan. Mereka menyerukan kepada Suharto agar secara legowo mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Meskipun pernyataan itu terasa menggelikan, karena sebelumnya Harmokolah orang yang paling sibuk mencalonkan Suharto untuk kembali menduduki jabatannya sebagai Presiden, tapi tak urung pernyataan itu membuat Harmoko dielu-elukan mahasiswa hari ini.

Malamnya, pernyataan pimpinan DPR itu langsung dibantah oleh Panglima ABRI, Wiranto. Dalam pernyataannya Wiranto mengatakan bahwa meskipun pernyataan para pimpinan DPR itu secara kolektif namun itu tak lebih dari sekadar pernyataan dari masing-masing pribadi mereka saja. Sebab secara nyata anggota DPR tidak dimintakan pendapatnya oleh para pimpinan DPR. Tidak ada sidang yang menghadirkan anggota DPR seluruhnya. Situasi benar-benar semakin rame deh. Diantara antek-antek Suharto juga mulai timbul perpecahan. Mahasiswa terus menerus memantau perkembangan situasi.

Suharto sepertinya mulai mengalami kepanikan melihat perkembangan situasi yang berubah dalam waktu yang sangat cepat, detik demi detik. Pagi hari ia sempat mengundang sembilan tokoh masyarakat untuk berdialog. Diantaranya yang hadir Nurcholis Madjid, Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, dan K.H. Ali Yafie. Suharto merencanakan akan membentuk Komite Reformasi dan me-ressufle Kabinet. Tokoh-tokoh itu diajak untuk bergabung dalam Komite, entahlah mereka mau atau tidak. Yang pasti kehadiran mereka ke Istana, memenuhi undangan Suharto, sempat menimbulkan kebingungan diantara mahasiswa. Apakah tokoh-tokoh itu sudah menjadi pendukung Suharto kini.

Hari ini, secara bergelombang puluhan ribu mahasiswa mendatangi gedung DPR/MPR mulai pukul 10 pagi tadi. Kedatangan mahasiswa ini dipicu oleh pernyataan Wiranto yang mencoba melakukan tekanan pada pimpinan DPR/MPR untuk tidak gegabah lagi mengeluarkan pernyataan yang meminta Suharto mundur.

Kedatangan puluhan ribu mahasiswa ke gedung DPR/MPR adalah ganti menekan Harmoko dan pimpinan DPR/MPR lainnya untuk memaksa Suharto turun dari kursinya. Mahasiswa menetapkan batas waktu pada pimpinan DPR/MPR untuk menggelar Sidang Istimewa apabila Suharto tidak juga meletakkan jabatannya pada tanggal 22 Mei 1998.

Suasana semakin tegang. Hari ini diedarkan seruan agar mahasiswa menghadiri acara peringatan Hari Kebangkitan Nasional esok hari di lapangan Monas. Acara tersebut digagas oleh Amien Rais dan teman-teman seperjuangannya. Rencananya besok akan diserukan pernyataan agar Suharto segera meletakkan jabatannya.

23

Masih tanggal 19 Mei 1998.

Selama unjuk rasa, pasukan marinir jadi idola mahasiswa. Berbeda dengan aparat keamanan lainnya yang kasar dan tidak bersahabat dengan mahasiswa, pasukan marinir begitu ramah. Seringkali mahasiswa dan mahasiswi terlibat ngobrol-ngobrol santai, bercanda-canda dengan marinir diantara keriuhan unjuk rasa. Karenanya tak salah bila kami memberikan sekuntum bunga kepada masing-masing mereka tanda simpati. Beberapa mahasiswi malah terlibat cinta lokasi dengan bintara-bintara muda marinir yang gagah-gagah itu.

Meskipun ngiler dengan bintara-bintara marinir itu, tapi kalau boleh memilih aku lebih tertarik pada seorang bintara Polri. Pada Bram kuceritakannya keberadaannya. Polisi itu seringkali kulihat saat kami berunjuk rasa. Dari badge nama yang menempel di dadanya yang bidang itu kuketahui namanya Romi. Karena dia adalah komandan regunya maka dialah yang selalu berbicara dengan mahasiswa mewakili regunya. Beberapa kali aku terlibat perdebatan dengannya. Yang terakhir tadi siang, saat Polisi mempersulit teman-teman pers yang sedang meliput kedatangan mahasiswa ke gedung DPR/MPR.

Meskipun terlihat sangat kesal, akhirnya dia menyerah juga. Tak sanggup melayaniku berdebat. Argumennya selalu bisa kupatahkan. Teman-teman pers diperkenankan masuk diikuti pandangan kurang suka dari Romi dan anggota regunya. Terus terang wajahnya yang macho dihiasi kumis tipis itu semakin enak dipandang saat dia marah.

Pukul 7 malam. Rokokku habis. Berjalan sendiri aku menuju pintu utama berniat mencari rokok. Disekitar situ memang banyak pedagang rokok asongan. Bram sedang pergi, meminjam mobilku ia mengantar Margaretha pulang katanya. Suasana yang semakin panas membuat Bram tidak tega melihat Margaretha menginap di gedung MPR/DPR. Takut ada apa-apa. Selama menginap di kampuspun Bram tidak pernah mengijinkan Margaretha untuk menginap. Romi sedang duduk-duduk dengan regunya di sekitar pos jaga. Kulihat dia, ternyata dia juga sedang melihat ke arahku. Pasti dia ingat peristiwa siang tadi. Dan peristiwa-peristiwa lainnya dimana kami sering berdebat. Sehabis membeli rokok, nekat kudatangi dia. Rencananya pura-pura minta maaf, kan aku bisa sekalian memandangi wajahnya yang macho itu. Kapan lagi aku bisa kenal dengannya kalau tidak dimulai.

“Malam Pak,” kataku menegurnya sambil tersenyum.

“Malam,” jawabnya dingin. Anggota regunya memandang curiga.

“Maaf ya pak atas peristiwa siang tadi, abisnya Bapak tadi keras banget sih. Saya kan jadi terpancing,” kataku dengan gaya sok akrab.

“Oh, gak papa dek, kami sudah biasa,” suaranya mulai mencair. Mungkin karena keakraban yang kuciptakan.

“Rokok Pak,” kutawarkan rokokku padanya juga kepada anggota regunya. Dia mengambil sebatang, “Terima kasih,” katanya tersenyum. Anggotanya bergiliran mengambili rokokku. Selanjutnya sambil merokok kami ngobrol-ngobrol. Melihat komandan regunya mulai bersahabat denganku satu per satu anggota regunya meninggalkan kami. Memberikan kesempatan kepada kami untuk lebih leluasa ngobrol.

Akhirnya keketahui kalau Romi ini usianya hanya lebih tua dua tahun dariku. Karena itu panggilanku padanya kuubah menjadi mas, seijinnya tentu saja. Pembicaraan kami semakin santai. Ngalor ngidul kesana kemari, buntut-buntutnya menyinggung soal pasangan hidup juga. Pengen tau Polisi macho ini udah nikah atau belon atau paling enggak punya cewek apa enggak.

“Dia ada di Palembang Ji, kami sama-sama wong Palembang. Belon menikah, baru tunangan aja. Dia teman sekolah saya dulu di SMA di Palembang. Kalau enggak ada halangan, dan situasi sudah normal mudah-mudahan pertengahan atau akhir tahun depan kami bisa. Sekarang ini apa-apa mahal,” katanya. Aku mengangguk-angguk. “Kamu sendiri gimana Ji?”

“Waduh Mas Romi, aku belum mikirin yang gituanlah. Masih sekolah. Koas aja belum,” jawabku.

“Paling enggak cewek udah punya kan?” katanya sambil tersenyum, matanya langsung menghujam ke mataku. Baru kusadari kalau ternyata bola matanya berwarna coklat. Membuatnya semakin cakep aja. Aku sedikit tergagap atas pertanyaannya itu.

“Masak gak ada cewek yang mau sama cowok secakep kamu,” sambungnya lagi. Makin bingung jawabnya deh.

“Masak sih Mas, aku cakep?” mencoba mengalihkan pertanyaannya.

“Iyalah. Udah cakep bodinya oke lagi. Cowok seperti kamu ini yang diincer cewek,” katanya tertawa. Tangannya meremas-remas lengan atasku yang terbentuk. Duh, bikin terangsang aja nih si Romi. Kontolku jadi bangun karenanya. Dudukku jadi gak tenang.

“Sekarang lagi kosong Mas,” kujawab juga akhirnya pertanyaannya.

“Carilah cepat Ji. Disini kan banyak tuh cewek-cewek manis. Kamu tinggal comoe aja satu,” dia tertawa lagi. Pengennya sih mencomot elo, kataku dalam hati. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, “Gak segampang itulah Mas,”

“Jangan terlalu milih-milih Ji,”

“Bukannya milih-milih Mas, memang belum ada yang cocok aja,”

“Atau mau saya kenalin sama Polwan? Polwan sekarang banyak yang manis lho,” ngotot banget sih si Romi ini. Jadi nyesel deh bicara ke arah sini tadi. Aku jadi salah tingkah, bingung. Sedang bingung seperti itu tiba-tiba ada yang memanggil namaku.“Aji!”

Kucari asal sumber suara itu. Berdiri tak jauh dari tempat dudukku kulihat Irfan bekas teman Pramukaku di SMU dulu. Kalian pasti masih ingat juga dengannya. Aku benar-benar bersyukur dengan kehadiran Irfan, akhirnya terlepas dari pertanyaan ngotot Romi. Segera aku permisi pada Romi dan anggota regunya.

“Besok kalo ketemu gak usah pake acara debat-debatan ya Ji,” katanya tersenyum.

“Iyalah Mas. Mas juga jangan terlalu keras lagi ya,” kataku sebelum meninggalkannya. Dia mengangguk sambil tertawa. Segera aku mendatangi Irfan. Dia bersama dua orang teman yang juga menggenakan jaket mahasiswa yang sama dengannya.

“Fan, kami duluan ya,” kata kedua temannya.

“Oke deh. Entar aku nyusul. Ini teman lama gua di SMU dulu, kenalan dulu deh” katanya menerangkan siapa diriku pada kedua temannya. Setelah saling memperkenalkan diri, kedua temannya meninggalkan kami.

“Lagi ngapain Ji?” tanya Irfan sambil berjalan beriringan denganku.

“Ngobrol-ngobrol dengan Polisi itu Fan,”

“Cakep juga tuh Polisi,” Irfan mulai menggoda.

“Biasa aja,”

“Cocok dengan tipe kamu kayaknya,” ditambahinya lagi godaannya. Aku tersenyum malu.

“Kamu kapan datang kemari?” aku mengalihkan pembicaraan.

“Gak usah mencoba mengalihkan pembicaraan deh. Udah dapat belom? Bisanya kamu kan gampang banget dapetin cowok,” cecarnya. Aku jadi tambah senyum malu.

“Belom,” jawabku menunduk. Irfan tertawa. Dasar nih anak. Entar aku kerjain juga deh dia.

“Kamu kok gak pernah ngubungin aku beberapa bulan ini Fan? Banyak kecengan baru ya di Bandung, sampe lupa denganku?” tanyaku.

“Enggaklah Ji. Kami di Bandung juga unjuk rasa terus,”

“Temen kamu tadi cakep-cakep juga lo. Terutama yang pake kacamata,”

“Kamu ini. Selalu deh mata kamu itu awas banget kalo ngelihat barang bagus,”

“Hehehe,”

Kami ngobrol berdua di tangga gedung. Bertukar cerita. Rupanya kedua cowok itu udah pernah diembat si Irfan juga. Yang berkacamata namanya Rio, sedangkan yang satu lagi Teddy. Keduanya tidak saling mengetahui kalau masing-masing mereka sudah pernah dientot Irfan. Rio mengganggap Teddy adalah cowok normal demikian juga sebaliknya. Hehehe, pinter juga si Irfan.

Pukul 9 malam Bram kembali dari mengantar Margaretha. Lama ia mencariku hingga akhirnya ketemu di tangga tempat kami duduk-duduk berdua. Mereka saling kuperkenalkan satu sama lain. Saat bersalaman mereka saling menatap, lumayan lama. Dehemanku akhirnya menyadarkan mereka. Sepertinya dua cowok ini saling tertarik deh. Wajar saja mereka saling tertarik, sama-sama macho sih. Kemudian kami ngobrol bertiga. Bram dan Irfan saling merespon obrolan masing-masing. Aku hanya tertawa dalam hati melihat tingkah mereka. Seperti orang jatuh cinta deh. Pukul 11 malam Irfan pamit. “Kita perlu istirahat, besok pagi kan ada acara di lapangan Monas,” kata Irfan. Ketika Irfan akan bernjak pergi Bram tanpa malu-malu meminta nomor telepon Irfan.

“Buat apa Bram? Irfan kan di Bandung,” kataku.

“Siapa tau aku maen-maen ke Bandung kan bisa numpang Ji,”

“Maen apa maen,” tanyaku menggoda. Irfan dan Bram pura-pura cuek. Sebelum Irfan cabut meninggalkan kami kupesankan padanya untuk bertemu di Musholla subuh besok. Sepanjang malam menjelang tidur, Bram bertanya-tanya soal Irfan terus padaku. Sepertinya ia sudah menemukan pengganti Andreas. Bram sedang jatuh cinta kayaknya.

“Ji, Ji, kok udah tidur sih? Si Irfan itu bla..bla..bla..,” masih banyak pertanyaan Bram lagi soal Irfan, tapi aku sudah terbuai mimpi.

Bersambung..........

No comments:

Post a Comment